Masyarakat Adat Sunda Mengarungi Arus Budaya Globalisasi
Sunda bukan sekadar suku, melainkan jati diri dari sistem budaya lokal yang eksis di tengah derasnya globalisasi. Hal ini dipahami betul oleh Masyarakat Adat Sunda.
Penulis Bani Hakiki27 Juli 2022
BandungBergerak.id - Kota Bandung merupakan salah satu pusat kebudayaan terbesar di Tanah Pasundan dengan berbagai dinamika yang terus berubah seiring zaman. Meskipun begitu, terdapat jati diri yang tak pernah hilang, yakni warisan budaya Sunda, budaya lokal yang terdiri dari suku, etnis, tata bahasa ataupun sastra.
Warisan luhur Sunda tidak semata-mata eksis hingga hari ini, melainkan hasil tempaan oleh sekelompok agen kebudayaan yang menyebut dirinya sebagai Masyarakat Adat Sunda. Di dalamnya terdiri dari orang Sunda atau manusia Sunda. Bagi mereka, Sunda lebih dekat dengan sebuah cara berkehidupan (nyunda) dan kepercayaan atau sebuah cara berkomunikasi dengan para pendahulunya, bahkan dengan suatu hal yang mereka sebut Sang Hyang (Tuhan).
Secara antropologi, orang atau suku Sunda adalah mereka yang secara turun temurun menggunakan bahasa serta dialek Sunda sebagai bahasa ibu seperti yang dipaparkan Harjoso dalam buku Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Letak geografis penyebaran Sunda berada di sepanjang Jawa Barat dan Banten yang dikenal dengan Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Mereka juga sering kali disebut sebagai “orang gunung” karena ruang hidupnya yang mayoritas dikelilingi pegunungan jika dipandang dari kaca mata kultural ekologis.
Salah satu pusat kebudayaan Sunda yang masih menjaga budaya lokalnya secara turun-temurun adalah suku Baduy di provinsi Banten. Dalam jurnal penelitian yang ditulis Masykur Wahid dari IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, dijelaskan Baduy merupakan sebutan populer orang lain terhadap masyarakat Desa Kanekes Banten.
Pada jurnal berjudul “Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten” yang diakses secara online, Rabu (27/7/2022), Masykur Wahid menjelaskan masyarakat Baduy bertempat tinggal di tanah adat (ulayat) di daerah pedesaan di antara perbukitan dan pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Yakni, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.
Letak Desa Kanekes sekitar 17 kilometer sebelah selatan kota Kecamatan Leuwidamar. Sekitar 38 kilometer sebelah selatan kota Kabupaten Lebak. Sekitar 65 kilometer sebelah selatan Ibukota Propinsi Banten. Dan, sekitar 172 kilometer sebelah barat Ibukota Jakarta.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001, luas desa ini kira-kira 5.101,85 hektar. Luasnya terdiri dari pemukiman masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan lindung mutlak (taneuh larangan) seluas 3.000 hektar. Luasnya di antara desa-desa di wilayah Propinsi Banten, Desa Kanekes adalah wilayah pedesaan yang terluas.
Penduduk masyarakat Baduy berjumlah 10.879 jiwa, laki-laki 5.465 jiwa dan perempuan 5.414, berdasarkan Data Sensus Penduduk Desa Kanekes tanggal 28 Pebruari 2008. Dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk sangat pesat sebesar 1.79 persen per tahun. Seiring pertumbuhan warga yang pesat, perubahan lahan tempat tinggal (teritorial) pun terus menerus berkembang meluas.
Dalam Peraturan Daerah No. 23 Tahun 2001 berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat tinggal warga, secara administratif masyarakat Baduy dibagi menjadi dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam yang berjumlah 1.053 jiwa menempati tanah yang didiami tiga kampung: Cikeusik, Cikertawa dan Cibeo.
Masyarakat Baduy Luar yang berjumlah 9.826 jiwa menempati tanah yang didiami 57 kampung dan 5 babakan (pemekaran kampung). Pada tahun sebelumnya, 2003 diketahui bahwa masyarakat Baduy Luar hanya memiliki 45 kampung dan 6 babakan.
Sebutan Baduy pada masyarakat Baduy terdiri dari beberapa versi. Menurut beberapa studi, kata Masykur Wahid, istilah Baduy muncul sesudah agama Islam masuk ke daerah Banten utara pada abad ke-16, sekitar tahun 1522-1526 (Garna, 1987: 36).
Studi lain, Masykur Wahid menulis pada tahun 1822 C.L. Blume menerangkan bahwa masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad ke-17, dan sejalan pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam (Garna, 1993b: 144; Permana, 2006: 26).
Masykur Wahid lalu mengulas analisa yang disampaikan Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, bahwa Baduy adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat pe-muja-an nenek moyang, bukan Hindu atau Budha.
Kabuyutan di Desa Kanekes dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Dari sinilah, masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah Sunda Wiwitan, Sunda Pertama (1986: 4-5; Permana, 2006: 5 27).
“Hal itu menjelaskan juga bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa ditemukan di dalam diri masyarakat Baduy sendiri yang kukuh melestarikan alam lindung pegunungan Kendeng sebelum ekspedisi Islam datang mengubah kepercayaan mereka,” demikian menurut Masykur Wahid, yang diakses Selasa (26/7/2022).
Masyarakat Adat Sunda di Bandung
Di tengah perubahan zaman akibat globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi digital, masih ada sekelompok kecil di Kota Bandung yang tetap mempertahankan budaya lokalnya, budaya Sunda. Mereka menyebut diri komunitas Masyarakat Adat Sunda.
Bandungbergerak.id berkesempatan berbincang dan mengikuti kegiatan salah satu tokoh Masyarakat Adat Sunda di Bandung, yakni Ginanjar Akil yang akrab dengan sapaan Mang Gingin. Jaro Manik – begitulah sebutan atau gelar yang disandang Ginanjar Akil – yang bermakna sang pembaca mantra atau pemimpin upacara adat.
“Kalau masyarakat umum memandang eksistensi kami, cara kita beribadah, kemunculan upacara-upacara (kesundaan) sebagai Masyarakat Adat Sunda. Sebenarnya ini bukan kebaruan, karena sejatinya bentuk kepercayaan kami sudah hadir jauh sebelum kemunculan bangsa asing,” tutur Ginanjar Akil, di kediamannya, Jalan DR. Curie, Bandung, beberapa waktu lalu.
Masyarakat Adat Sunda berpegang teguh pada nilai-nilai yang menghargai dan adaptif dengan alam, khususnya yang berada di sekitar mereka. Konsep sosial-budaya tersebut dilanggengkan sebagai sebuah tatanan adat istiadat yang secara umum bertujuan menjaga keseimbangan alam dengan tingkah pola kehidupan manusia. Mereka percaya bahwa keseimbangan inilah yang bakal melahirkan berkah untuk kedua belah pihak.
Menurut Mang Gingin, aturan adat yang mereka jalani tidak memandang agama atau kepercayaan apa pun. Karena pada hakekatnya berbagai ajaran itu mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Namun, adat bukan kearifan lokal semata, melainkan sebuah instrumen penjaga lingkungan bersifat spiritual yang secara praktis bisa diterapkan oleh masyarakat pada umumnya.
Terdapat sistem kepercayaan Masyarakat Adat Sunda yang sifatnya mengikat dan terstruktur hubungan antara dunia nyata dan tidak nyata. Praktiknya dibagi oleh batasan lingkungan alam berupa tanah yang disucikan seperti kabuyutan, lahan yang boleh digarap atau dimanfaatkan tapi tidak boleh didirikan tempat tinggal, dan yang dibolehkan keduanya. Ketiga lahan ini dikategorikan sesuai kondisi lingkungan dan kepercayaan adat yang dianut.
Sistem kepercayaan yang mengikat telah melahirkan pandangan bahwa keberadaan alam bukanlah bahan eksploitasi. Upaya ini dinilai dapat menjaga keseimbangan antara jaga alit (diri manusia) dengan jagat ageung (alam dan isinya). Maka dari itu, Masyarakat Adat Sunda memaknai bumi sebagai tempat tinggal sekaligus kitab atau pedoman hidup yang dapat diakses oleh seluruh umat manusia.
“Semua yang ada di alam bisa kita pelajari sendiri dengan cara, kalau orang Sunda sering nyebutnya istilah nyorangan (menyendiri). Artinya, kalau kita mau belajar, jawabannya ada pada diri kita sendiri. Kode-kodenya ada di sekitar kita (alam), semuanya perlu keseimbangan, tinggal kita yang berkomunikasi,” imbuh mang Ginin.
Lebih jauh lagi, tatanan yang dianut manusia Sunda bersifat religius dan menaruh kodrat manusia sebagai makhluk suci yang berasal dari kahiyang (alam kesucian). Kata Sunda sendiri memiliki makna bersih, suci, indah, atau baik. Jadi, manusia Sunda merupakan pengelola dan penyempurna alam beserta isinya.
Baca Juga: Wajah Seniman Bandung di Hutan Kota Babakan Siliwangi
Lirik Lagu Malaria Harry Roesli, Musik Protes yang masih Relevan
Tersisihnya Budaya Lokal karena Globalisasi
Komunikasi Membaca Alam
Pada dasarnya, pemahaman atau perspektif Masyarakat Adat Sunda dirangkum dari kebiasaan lama orang Sunda sebagai masyarakat peladang atau agraris. Lingkungan alam bukanlah sesuatu yang harus ditundukkan, melainkan penting untuk dihormati, dipelihara, dan dirawat. Hubungannya timbal balik, mereka percaya bahwa dengan merawat alam maka alam sendiri akan membentuk mentalitas mereka sebagai manusia.
Kesadaran manusia Sunda dalam mengelola dan menjaga alam diungkapkan dalam beberapa bentuk upacara, peribahasa, nasihat, dan tradisi lisan memori secara kolektif (Uga) baik yang tersirat jelas maupun berbentuk simbol. Mereka juga menggunakan peristilahan nama-nama alam yang dipahami “karakter” dari masing-masing unsur alam tertentu.
Tradisi kepercayaan dan kedekatan Masyarakat Adat Sunda dengan alam bisa dilihat dari pemaknaan sesajen dan benda-benda yang digunakan untuk dalam setiap upacara adat atau peribadahan mereka. Penggunaan sesajen tidak melambangkan ketuhanan atau hanya sebatas persembahan, tapi sebagai medium komunikasi dan sastra yang dianggap bisa menanggulangi atau menangkal berbagai permasalahan.
Mang Gingin memaparkan bahwa pemakaian sesajen itu sering kali disalahartikan oleh segelintir kelompok dengan kepercayaan lain. Baginya, pandangan seperti ini lahir dari penerapan ilmu yang diskriminatif di sektor pendidikan negara yang seakan dengan sengaja meruntuhkan nilai-nilai luhur sesungguhnya dari berbagai bangsa dan suku di Indonesia.
“Biasanya cara kita dibilang istilahnya musrik, menyembah berhala padahal tidak. Sajen ini sebagai bentuk sastra. Kalau biasanya punya kitab dengan tulisan lisan, kita (manusia Sunda) berdoa menggunakan media hasil-hasil yang diberikan alam yang sehari-hari bisa kita manfaatkan. Ini mah lambang saja, jampinya tetap kepada karuhun atau Tuhan,” paparnya.
Keterikatan Manusia Sunda dengan alam sekitar seolah memposisikan manusia yang tunduk terhadap alam. Cara ini merupakan konsep yang lazim dalam mentalitas leluhur bangsa Indonesia sebagai petani. Hal seperti demikian juga terungkap dalam cerita-cerita rakyat, peribahasa, dan perumpamaan yang sarat dengan tuntunan hidup.
Artinya, Masyarakat Adat Sunda tidak memandang alam dari sisi ekonomisnya saja, tapi juga melambangkan etika dan estetika kehidupan. Alam dijadikan dan dimaknai sebagai tempat refleksi perilaku manusia dalam bentuk bahasa perbandingan ataupun metafora. Melalui cara pandang inilah mereka dapat mengetahui kekayaan flora dan fauna lingkungan alam di Tatar Sunda.
Beberapa praktiknya seperti yang diterapkan dalam upacara Ngertakeun Bumi Lamba dan tumpekan. Ngertakeun Bumi Lamba adalah sebuah upacara sebagai bentuk bersyukur manusia Sunda terhadap Gunung Lembang (Jayagiri, Tangkubanparahu) atas karunia alam yang diberikan dan biasa dilakukan setiap bulan Juni. Sementara itu, tumpekan adalah upacara ibadah rutin yang dilakukan setiap hari Sabtu.
“Kapan kita bisa tahu kapan waktu menanam yang baik, bagaimana kita bisa panen ladang tanpa musim hujan, dan lain-lain kalau kita tidak paham bagaimana alam bekerja. Seperti tumpekan, setiap hari di mana Saturnus mencapai rotasi ring sempurnanya menyambut hari matahari (Minggu),” ujar Gin Gin, dalam bahasa Sunda.
Warisan dari Leluhur: Sunda Wiwitan
Mayoritas Masyarakat Adat Sunda menganut kepercayaan animisme yang memuja arwah nenek moyang yang dikenal Sunda Wiwitan.
Dalam sebuah kitab kuno, Sanghyang Siksakandang Karesian (Koprak 630), kepercayaan ini berisi ajaran agama, moral, aturan, dan yang terpenting pelajaran budi pekerti. Pada praktik tertentu, Sunda Wiwitan juga dapat dikategorikan ke dalam kepecayaan monoteisme yang memiliki Tuhan tunggal tanpa wujud.
Menurut sistem kepercayaannya, masyarakat adat Sunda beribadah kepada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) sebagai puncak kekuasaan tertinggi. Ada pula beberapa sebutan lainnya seperti Batara Tunggal (Tuhan yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib).
Mang Gingin menjelaskan, bentuk Tuhan tidak tergambarkan dalam wujud yang gamblang dan bukan sebuah perdebatan dalam proses menekuni kepercayaanya. Begitu pun dengan penyebutannya yang digunakan sesuai situasi yang sedang dijalankan. Keberadaannya bisa ditelusuri melalui teks ataupun bukti-bukti yang menguatkan dari pengalaman masing-masing penganutnya.
“Tuhan itu sesuatu yang hanya kita rasakan oleh diri sendiri, karena agama itu soal vibration, getaran yang kita rasakan dalam diri dengan cara yang berbeda-beda. Dalam upacara kita biasa menyebutnya Ahung, diambil dari suara dan getaran pertama yang kita dengar ketika bral (lahir), seperti suara dengung,” jelasnya.
Sunda Wiwitan telah mengalami beberapa perubahan bentuk nonkrusial dari abad ke abad. Hal ini didorong dengan masuknya kebudayaan asing, seperti agama Hindu dan Islam yang memengaruhi perubahan tersebut dalam batas tertentu. Dalam naskah kuno Carita Parhyangan, kepercayaan ini juga disebut dengan ajaran Jati Sunda.
Menurut Masykur Wahid, agama Sunda Wiwitan hingga kini hidup lestari dan damai di tengah-tengah hutan tua lebat, hulu sungai dan puncak gunung Kendeng Banten Selatan. Sunda Wiwitan adalah agama masyarakat Baduy yang menghormati roh karuhun, nenek moyang (Permana, 2006: 37).
Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam Carita Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda. Naseni, seorang kokolot Kampung Cikeusik, menjelaskan bahwa “kepercayaan animisme masyarakat Baduy telah dimasuki unsur-unsur agama Hindu dan agama Islam”.
Pada tahun 1907, menurut laporan Controller Afdeeling, di wilayah Lebak terdapat komunitas masyarakat beragama Hindu sebanyak 40 keluarga (Ekadjati, 1995: 72).
Sedangkan, Islam pertama dikenal oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang lebih 300 tahun silam. Kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat Baduy di kampung Cikakal Girang.
Masykur Wahid menyimpulkan, Sunda Wiwitan merupakan pencampuran antara Islam dan Hindu yang dianut oleh masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Banten Selatan. Meskipun umat Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci, akan tetapi ajaran-ajarannya terjelma dalam tapa, bekerja sehari-hari di ladang. Pemahaman ajaran-ajaran agama itu langsung dipraktikkan di dalam interaksi umat dengan alamnya.
Hal ini yang dikatakan oleh James Frezer bahwa agama Sunda Wiwitan mengekspresikan makna-makna simbolik di dalam relasi-relasi sosialbudaya dan kosmologi alam Baduy. Keimanannya kepada Allah hanya terlihat di dalam pengucapan kalimat syahadat, namun mereka melakukan praktik ritual keagamaan dengan berpedoman pada pikukuh, aturan adat, dan ketaatan kepada buyut, pantangan. Keimanan seperti itu merupakan semangat untuk menjaga hutan, sungai dan gunung hidup harmoni. Seperti, tindakan mereka melaksanakan ritual ibadah pe-muja-an di Sasaka Domas, tanah suci Baduy.
“Religi ini [Sunda Wiwitan] memberikan pandangan hidup kepada umatnya supaya hidup sederhana dan menerima apa adanya, hanya untuk dapat bekerja di ladang, menanam padi, dengan damai dan sejahtera. Pandangan hidup ini mengkonstruksi pribadi-pribadi Baduy yang taat menjaga alam lindung Kanekes. Di samping itu, menciptakan agama ini tetap lestari secara turun temurun dengan penganut yang semakin bertambah,” tulis Masykur Wahid.
Generasi Sunda Hari Ini
Komunitas Masyarakat Adat Sunda memiliki misi lainnya seperti mengembalikan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya tanpa memandang suku, ras, dan agama tanpa sifat egosentris. Mereka menilai, hari telah terjadi ekspansi kebudayaan asing (globalisasi) di Tatar Sunda maupun Indonesia. Hal ini membuat lunturnya budaya lokal dan nilai-nilai luhur di dalamnya, yang seharusnya menjadi landasan utama dalam kehidupan bernegara.
Mang Gingin merasa prihatin dengan istilah Sunda yang masih terus dikerdilkan setelah sejumlah pergantian orde dan rezim. Ia beranggapan bahwa ada berbagai pembatasan yang sengaja dilakukan pihak tertentu untuk menggantikan budaya luhur dengan budaya modern seiring derasnya arus globalisasi yang menghantam budaya-budaya lokal. Keadaan seperti ini dicontohkan dalam aktivitas masyarakat sehari-hari yang semakin konsumtif dan terjadi sederet eksploitasi alam di bumi pertiwi.
Fenomena degradasi tradisi dan budaya juga terjadi di banyak masyarakat adat lainnya. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan sudah sepatutnya melakukan reorientasi, revitalisasi, dan reaktualisasi agar nilai-nilai luhur tidak hilang ditelan zaman. Corongnya bisa bisa melalui berbagai sektor, baik sosialisasi kebudayaan maupun di terapkan di sistem pendidikan paling dasar.
Namun di sisi lain, mang Gingin melihat ada sebuah regenerasi yang semakin kuat di kalangan pemuda Sunda hari ini yang mulai muncul ke permukaan. Hal tersebut didorong oleh faktor-faktor penyelewengan pada sederet agama yang semakin tidak relevan dengan zaman. Ia berharap kemunculan generasi baru ini dapat membatasi diri dari sifat radikalisme dan menjaga keharmonian komunikasi baik sesama manusia maupun alam.
“Kita lupa, cara pandang kita terhadap orang asing dibentuk sedemikian rupa. Banyak dari kita yang memandang orang asing selalu benar, seakan-akan mereka tahu segalanya. Sudah waktunya generasi (manusia Sunda) baru muncul dengan ide dan gagasan baru yang bisa mengingatkan kembali nilai-nilai luhur,” ungkapnya.