Lirik Lagu Malaria Harry Roesli, Musik Protes yang masih Relevan
Lagu Malaria Harry Roesli mengibaratkan rakyat kecil seperti nyamuk yang bisa ditepuk. Tetapi nyamuk bisa mengigit dan menyebarkan virus.
Penulis Iman Herdiana25 Juli 2022
BandungBergerak.id - Sejarah mencatat awal kemuculan musik sekitar 100.000 tahun lalu, demikian ditulis RA Fitri, yang tersimpan di sistem arsip digital unpas.ac.id (2019), diakses Senin (25/7/2022). Dan 100.000 tahun kemudian, tokoh yang dikenal seniman bengal Harry Roesli meluncurkan album protes Philosophy Gang dengan kelompok musiknya, The Gang of Harry Roesli.
RA Fitri menyebut, album yang terbit 1973 itu tidak pernah dirilis secara resmi di Indonesia lantaran konten lirik yang terkandung di dalamnya memiliki muatan sindiran terhadap pemerintah Orde Baru yang berkuasa secara otoriter saat itu.
“Untuk menghindari penangkapan oleh aparat, Harry Roesli dan kawan-kawan membuat keseluruhan lagu dalam album ini menggunakan lirik dalam bahasa Inggris,” kata RA Fitri.
Almbum Philosophy Gang, kata RA Fitri, terdiri dari 7 track, salah satu track berjudul “Malaria”. Lagu “Malaria” disinyalir merupakan sindiran terhadap rakyat kecil yang tiada daya sama sekali. Bagi Harry Roesli, rakyat kecil dalam lagu Malaria ibarat nyamuk yang sekali tebas langsung mati terkapar.
“Namun nyamuk itu adalah nyamuk malaria yang mampu menyebar virus mematikan dalam arti sebenarnya,” katanya.
RA Fitri lantas mengutip keterangan dari seniman Bandung kontemporer, Herry Sutresna atau Ucok personel kelompok rap Homicide. Dalam blog pribadinya, kata RA Fitri, Ucok memasukkan lagu “Malaria” ke dalam kategori “10 Lagu Protes Lokal Terbaik versi Ucok Homicide”.
“Secara kasat telinga, lagu ini [Malaria] murni sebuah sindiran terhadap rakyat kecil. Namun lagu ini memiliki gaya bahasa (diksi) bersifat sarkasme yang padat makna dan perlu dilakukan analisis lebih mendalam untuk mengungkap wacana yang terkandung dalam setiap baitnya,” papar RA Fitri.
Lirik Lagu Malaria
Seperai tempat tidurmu putih
Itu tandanya kau bersedih
Mengapa tidak kau tiduri
Kau hanya terus menangis
[chorus]
Apakah kau seekor monyet
Yang hanya dapat bergaya
Kosong sudah hidup ini
Bila kau hanya bicara
Guling bantalmu kan bertanya
Apa yang kau pikirkan nona?
Kau hanya bawa air mata
Dan tertawa yang kau paksa
[chorus]
Lantai kamarmu kan berkata
Mengapa nona pengecut?
Lanjutkan saja hidup ini
Sebagai nyamuk malaria
Sebagai nyamuk malaria
Sebagai nyamuk malaria
Kita bisa menginterprestasikan lirik-lirik lagu Malaria secara bebas, sebagaimana yang dianalisa RA Fitri dengan pendekatan alanisis wacana. Lirik ini bisa dibilang sama dengan situasi ketika rakyat terlelap dengan kondisi yang membelit hidupnya yang hanya bisa bersedih, menangis atau tertawa dipaksakan, tanpa berusaha mengubah keadaan tersebut.
Seprei, guling bantal, lantai kamar pun bertanya-tanya pada rakyat yang bisa jadi metafora dari si nona, apakah dia monyet atau pengecut? Lagu Malaria diakhiri ajakan untuk melanjutkan hidup sebagai nyamuk yang bisa menggigit dan menyebarkan virus.
Lagu Malaria memang diciptakan di zaman Orde Baru, era ketika kritik dilarang dan protes rakyat akan berhadapan dengan senjata dan penjara. Kini zaman Orde Baru sudah jauh berlalu, walaupun sikap-sikap penyelenggara negara yang represif masih kerap muncul baik dalam wujud kekerasan fisik maupun melalui regulasi.
Banyaknya kasus penggusuran menunjukkan masih langgengnya sikap represif aparatur negara. Begitu juga kekerasan terhadap para demonstran yang melancarkan kritik. Ada juga bentuk represi dalam bentuk regulasi, antara lain, bertebarannya pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi yang ada pada UU ITE maupun di RKUHP yang hingga kini draft resminya tertutup rapat.
The Gang of Harry Roesli merupakan kelompok musik yang dibentuk di tengah kekuasaan yang menutup pintu kritik. Kelompok ini beranggotakan Harry Roesli (vocal, bass), Albert Warnerin (guitar), Indra Rivai (piano, keyboard), Harry Pochang (harmonica), Janto Soedjono (drum), serta Dadang Latiev (acoustic guitar).
Selain lagu Malaria, album The Gang of Harry Roesli, Philosophy Gang, terdiri dari lagu “Peacock Dog” yang menganalogikan tentang Indonesia. Bahwa Indonesia adalah negara yang “cantik seperti merak” namun juga “bebal seperti anjing”. Terdapat pula lagu instrumental-funk berdurasi 8 menit dengan pola permainan repetitif berjudul “Don’t Talk about Freedom”.
Album “Philosophy Gang” memadukan musik progressive rock dengan blues, funk, R&B, bahkan jazz. Album ini beredar dalam format piringan hitam 12 inch. Album “Philosophy Gang” direkam di Musica Studios, Jakarta, namun dirilis di Singapore oleh label bernama Lion Records.
Cover album menampilkan karikatur wanita tanpa busana, juga menjadi faktor album ini tidak pernah secara resmi rilis di Indonesia. Lima tahun kemudian (1975) kelompok musik ini bubar.
Baca Juga: Kisah Seniman Bengal Harry Roesli Dibukukan, Hasil Penjualannya untuk Anak Jalanan
Ketika Harry Roesli Membakar Motor Yamaha 100 LS
Bandung yang Kebarat-Baratan: dari Kolonialisme Belanda sampai Invasi Inggris
Musik Protes Harry Roesli
RA Fitri menyatakan, musik digunakan sebagai sarana penyampaian pesan yang digunakan untuk banyak kepentingan, mulai dari upacara ritual atau upacara adat, menyatakan perasaan cinta, hingga mengalami transformasi menjadi sebuah komoditas yang dikomersialisasikan kepada khalayak.
Lagu protes, menurutnya, adalah lagu yang bertemakan tentang pembangkangan atau pemberontakan terhadap suatu hal atau orang. Sasaran dari lagu protes ini biasanya adalah aparat pemerintah yang dikenal memiliki citra negatif di tengah masyarakat.
RA Fitri kemudian mencatat persinggungan musik dengan penguasa. Ini misalnya terjadi di era perkembangan musik pop di Indonesia yang diawali pada era 1960-an yang ditandai dengan kemunculan beberapa artis seperti Koes Plus, Dara Puspita, Sam Saimun, Bing Slamet, Titiek Puspa, Lilis Suryani, Tetty Kadi, dan lain-lain.
Bersamaan dalam era tersebut, Presiden Sukarno memberikan larangan untuk memainkan ataupun menyerap musik-musik barat yang pada era tersebut disebut sebagai “musik ngak-ngik-ngok” guna melestarikan dan mempertahankan rasa nasionalisme pada tanah air. Tidak jarang pula, artis-artis yang berkarier di era itu merasa terhambat kreativitasnya dalam berkarya akibat dari larangan penguasa.
Orde Lama tumbang, Orde Baru berdiri. RA Fitri mencatat, di era 1970-an dan setelahnya, para musikus diperbolehkan menyerap informasi dan inspirasi terkait proses berkarya mereka dari musik-musik barat.
Di era yang sama pula, musik rock mengalami kejayaan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia dengan kehadiran Shark Move, Benny Soebardja, God Bless, Panbers, serta The Gang of Harry Roesli.
“Melalui musik pula tidak sedikit para musisi di Indonesia yang kemudian menjadikan musik sebagai media untuk menyuarakan pikirannya yang tidak hanya melulu tentang cinta, tetapi juga tentang kritik berupa sindiran ataupun protes terhadap pemerintah. Iwan Fals adalah salah satu musisi legendaris Indonesia yang dengan lantang menyuarakan kritik terhadap pemerintah (khususnya pada era Orde Baru) melalui lagu-lagunya yang tentu masih banyak didengar dan dikenang hingga hari ini,” tulis RA Fitri.
Biografi Harry Roesli
Harry Roesli merupakan sosok eksentrik dengan penampilan khasnya, berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong, dan biasa berpakaian serba hitam. Sepanjang hidupnya, ia dikenal turut melahirkan budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif dan konsisten memancarkan kritik sosial secara lugas.
Pemilik nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli, ini lahir di Bandung, 10 September 1951 – meninggal di Jakarta, 11 Desember 2004 pada umur 53 tahun. Seniman berdarah Minangkabau ini cucu pujangga Marah Roesli.
Dia anak bungsu dari empat bersaudara, ayahnya bernama Mayjen (pur) Roeshan Roesli. Istri Harry Roesli bernama Kania Perdani Handiman dan dua anak kembarnya bernama Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana.
Di tengah kesibukannya bermain musik, dia mendirikan kelompok teater Ken Arok, 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain, Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Belanda. [kebudayaan.kemdikbud.go.id, diakses 25 Juli 2022]
Pada 1981, ia meraih gelar doktor musik. Selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, ia aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.
Kegiatan lainnya ialah membuat aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.
Harry Roesli banyak banyak menelurkan karya, di antaranya: “Musik Rumah Sakit” ( 1979 dan 1980 di Jakarta), “Parenthese”, “Musik Sikat Gigi” (1982 di Jakarta), Opera Ikan Asin, dan Opera Kecoa. [repositori.kemdikbud.go.id, diakses 25 Juli 2022]
Karya Harry Roesli
- Membentuk band yang bernama Gang of Harry (1970)
- Teater Ken Arok (1973)
- Depot Kreasi Seni Bandung
- Suara Ibu Perduli (1998)
- Philosophy Gang, album musik, 1971
- Titik Api, album musik, 1976
- Jika Hari Tak Berangin, album music
- Tiga Bendera, album music
- Gadis Plastik, album music
- Daun album musik
- LTO, album musik
- Ken Arok, album musik
- Musik Rumah Sakit (1979 di Bandung dan 1980 di Jakarta)
- Asmat Dream single
Album Musik Cuaca Buruk
- White Gold
- Parenthese
- Musik Sikat Gigi (1982 di Jakarta)
- DKSB album musik
- Si Cantik album music
- Opera Ikan Asin
- Opera Kecoa
- Opera Tusuk Gigi (1997 di Bandung).