• Kolom
  • Bandung yang Kebarat-Baratan: dari Kolonialisme Belanda sampai Invasi Inggris

Bandung yang Kebarat-Baratan: dari Kolonialisme Belanda sampai Invasi Inggris

Warga Bandung, bahkan sejak era kolonial, dikenal sangat fasih dalam menyerap budaya Barat. Jejak-jejaknya ditemui dalam dunia seni masih sampai hari ini.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Braga Stone dalam salah satu penampilannya di acara besutan Majalah Aktuil. Braga Stone menjadi salah satu aksi fenomenal di Kota Bandung yang memadukan musik rock Barat dengan kecapi. (Foto: koleksi Buyunk Aktuil)

7 Februari 2022


BandungBergerak.id - Artikel ini sebetulnya saya tulis sebagai pengembangan dari tugas saya di kursus Pengantar Kajian Budaya Inter-Asia di Universitas National Yang Ming Chiao Tung, Taiwan semester lalu. Pijakan awalnya tidak begitu rumit sebetulnya. Hanya sekadar ingin mendedah rasa penasaran tentang kenapa anak muda Bandung begitu fasih mengadaptasi budaya barat.

Budaya barat yang saya tuju di sini tentu bukan sekadar budaya populer belaka. Budaya barat yang saya maksud adalah subkultur. Yang kata Dick Hebdige, salah satu terminolognya diidentifikasi sebagai budaya yang berlawanan dengan standar sosial dominan.

Penasaran saya mungkin tidak juga disebut berlebihan. Lonely Planet pada 2017 mendeskripsikan Bandung sebagai kota dari dua kutub yang boleh kita bilang berseberangan: punk and prayer. Saya tidak bilang anak punk tak pernah beribadah, begitu juga sebaliknya, ahli ibadah mungkin juga seorang punk, tapi kira-kira begitulah Lonely Planet menggambarkan majemuknya karakter Bandung sebagai sebuah kota.

Dari sisi pengalaman, saya sendiri cukup banyak bersinggungan dengan pelaku subkultur di Bandung. Tahun 2010, misalnya, kita cukup sering melihat anak muda dengan tampilan Skinhead di perempatan Sultan Agung. Dandanan kepala plontos dengan boots atau jaket parka bisa jadi parameter. Tetapi kefasihan mereka seringkali lebih dari apa yang dipakai.

Sesekali mereka sering menggunakan frasa yang memang digunakan di negara asal pelaku subkulturnya dalam percakapan. Seperti kata "mate" atau "oi!" misalnya. Itu satu contoh.

Contoh lain adalah tentang kemunculan Flower City Casuals yang memberi warna baru dalam kancah suporter sepakbola Bandung, lebih luas lagi Indonesia. Meski sempat penuh drama dan pro-kontra, keberadaan mereka bukan sekadar mempromosikan baju yang berbeda di tribun, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai baru. Total.

Sampai sini, pembaca boleh berpikir ulang tentang contoh yang saya berikan. Tetapi setidaknya itu yang saya tangkap selama bersinggungan dengan rekan-rekan subkultur di Bandung.

Favorit Orang Eropa

Kembali ke tugas, saya mencoba menarik asumsi di atas ke jejak historis dari Kota Bandung dan budaya barat itu sendiri. Kebetulan kelas kami sempat juga mengulas soal hubungan transnasional dengan bacaan tentang opera orang Eropa di koloni Asia Tenggara. Nyambung dikit, sikat aja!

Seperti yang kita ketahui Bandung memang punya pengaruh Eropa yang kuat. Secara kasat mata kita bisa lihat itu dari deretan gedung lama di sepanjang Jalan Asia Afrika. Sejak awal abad ke-20, Bandung telah menjadi episentrum dari pusat hiburan orang Eropa di Hindia Belanda.

Hal ini tentu tidak dibuat tiba-tiba. Dalam "Conflict Within the Prijaji World of the Parahyangan in West Java 1914-1927" yang ditulis Mun Cheong Yong pada 1973, Bandung sebagai pusat kultural setidaknya dipengaruhi juga oleh perpindahan sejumlah kantor pemerintahan Hindia Belanda dari Jakarta ke Bandung sejak 1894.

Selain Perusahaan Kereta Api yang pindah lebih dulu, Departemen Pertahanan yang disusul Departemen Komunikasi Hindia Belanda juga ikut pindah kemudian pada 1917 dan 1923. Pada 1929, sambungan telepon pertama dari Belanda ke Hindia Belanda juga dimulai di kota ini. Sambungan yang dipelopori kontak antara Ratu Emma di Den Haag dengan putrinya Ratu Wilhelmina di Bandung kemudian diabadikan oleh Willy Derby dalam lagu "Halo Bandoeng".

Tidak butuh waktu lama untuk kemudian membuat Bandung sebagai episentrum aktivitas masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Dengan iklimnya yang sejuk dan dianggap lebih higienis dari Jakarta, Bandung mudah memikat siapa saja. Apalagi posisinya yang di tengah dengan akses rel kereta terpadu, menyambungkan pelancong yang datang dari Batavia di sebelah barat dan Tjilatjap di sebelah timur, membuat Bandung mudah digapai dan membuat kota ini jadi kota paling Eropa di Hindia Belanda jika ditilik dari preferensi residensial.

Sebagai perbandingan, Yong mengkomparasi jumlah penduduk Eropa di Bandung dan Batavia dalam sensus penduduk di tahun 1930. Pada masa itu, Batavia memiliki 7,15 persen orang Eropa dari total populasinya sedangkan di Bandung ada 11,8 persen orang Eropa berpadu dengan keberadaan orang Sunda, yang merupakan etnis utama, dan juga masyarakat Tionghoa.

Kosmopolitanisme Bandung

Banyak faktor tadi membuat Bandung dan penduduknya lebih kosmpolit. Ini didukung pula oleh perannya sebagai pusat hiburan, juga pendidikan, di era kolonial. Dalam artikel "Bioskop di Bandung", yang terbit di laman mooibandoeng.com pada 2013, diketahui hanya butuh waktu kurang dari lima tahun setelah di Batavia berdiri bioskop pertama, Bandung mengikutinya dengan mendirikan dua bioskop, yakni Oranje Electro Bioscope dan De Crown pada 1907. Selang setahun, Elita Biograph berdiri menjadi bioskop kelas atas.

Karena flm menjadi jenis hiburan baru yang bersanding dengan tonil yang memang marak di Asia Tenggara kala itu, tidak butuh waktu lama untuk menjadikan Bandung sebagai surga dari tontonan layar lebar. Dengan luas wilayah yang tidak sebesar Batavia, Bandung memiliki setidaknya 20 bioskop selama era kolonial yang dijalankan tiga jaringan bisnis utama, yakni FA Busse dan JFW de Kort, yang orang Eropa, dan satu jaringan bisnis milik pengusaha Tionghoa, Thio Tjoan Tek.

Di sisi lain, pemuda juga jadi elemen penting dari denyut nadi Kota Bandung. Sebagai pusat pendidikan, sejak 1920 di Bandung berdiri Technische Hoogeschool te Bandoeng yang kini berganti nama jadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Satu dekade sebelumnya ada juga sekolah pamong tenar, OSVIA yang merupakan sekolah pamong reorganisasi dari The Hoofdenschoolen yang berdiri pada 1879.

Keberadaan institusi-insitusi pendidikan membuat Bandung sering jadi titik penting banyak perubahan kultural di Hindia Belanda. Menurut Yong, seringkali perubahan itu berpusat di Bandung, namun tak jarang pula, sebagai entitas yang tak pernah terisolasi dan interaksinya dengan lingkup wilayah lain membuat perubahan tersebut berdampak juga pada area sekitar. Dalam bahasa Yong: “Perubahan itu dalam bentuk peningkatan laju westernisasi”.

Dalam hal ini, Helena Spanjaard, seorang pakar sejarah seni Belanda dalam artikelnya berjudul "Bandung, the Laboratory of the West?" (1990) yang dikutip oleh Edwin Jurriens dalam "Mediating the Metropolis", menyebut bahwa Bandung memang sebuah kota kolonial Belanda yang kebarat-baratan. Dalam nafas seni rupa, Bandung punya corak yang berbeda dengan Yogyakarta dan Jakarta. Diskusi soal antagonisme Timur-Barat di ranah seni pada 1950 yang ramai didiskusikan di Yogyakarta dan Jakarta tidak pernah punya gaung di Bandung. Meskipun diskusi tentang otentifikasi penting untuk mendekonstruksi gagasan dan praktik kesenian kolonial dan neolokolonial, komunitas kesenian Bandung punya caranya sendiri dan membuat laboratorium seni dan sosialnya.

Subkultur Anak Muda Bandung 1950

Lima tahun sejak proklamasi dibacakan oleh Sukarno di Jakarta, generasi muda pascaperang punya ingar bingar baru. Rock ‘n roll datang menjelma sebagai panduan yang menghadirkan paket lengkap dalam musik tidak hanya suara, lirik, dan ritme, tetapi juga gaya hidup.

Beda dengan era crooner, Elvis Presley di Amerika memantik anak muda bahwa musik rock datang sebagai pembebasan dari nilai-nilai lama. Promosi rock n roll juga datang secara visual ke banyak belahan negara baru di dunia lewat film. "Rock Around the Clock", film Amerika lansiran 1956 yang dibintangi Bill Halley, seorang rocker pionir, atau "Rebel Without a Cause" pada 1955 yang diperankan oleh James Dean, jadi salah duanya.

Ramai diputar di sejumlah bioskop termasuk Indonesia terutama di kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Medan, film-film seperti ini diadaptasi oleh anak muda Bandung. Apalagi kultur nonton bioskop saat itu sedang tinggi-tingginya.

Mereka nongkrong dengan menggunakan celana jeans ketat (saat itu jeans biru jadi ikon atau dikenal sebagai celana jengki), mengendarai motor, dan rambut tipikal berjambul a la Elvis. Dalam "Popular Music in Southeast Asia: Banal Beats, Muted Histories" (2017), fenomena ini dikenal dengan dengan cross-boy.

Di Bandung, para cross-boy ini membentuk kelompok berdasarkan daerah tempat tinggal. Namanya, lagi-lagi menyerupai nama-nama Barat yang ditampilkan di film.

Robert TS Nio dalam "Mooi Bandoeng" (2014), menyebut beberapa di antaranya. Ada Tiger Mambo, para remaja etnik Ambon Indo-Belanda yang sering nongkrong di ruas Jalan Riau, The Manggo Boys dari jalan Mangga, Buahbatu Boys Club dari Buahbatu, Dollars di Cicadas, dan lain-lain.

Seperti di film, para cross-boys ini juga kerap membuat ulah. Nio mencatat, Pikiran Rakjat pada 10 September 1955 pernah memuat berita keributan antara polisi dengan anggota cross-boys Jalan Progo di bioskop Rivoli saat pemutaran film "A Song to Remember".

Pada paruh kedua dekade 1950, Pikiran Rakjat memang cukup sering memuat tulisan soal ulah para cross-boy Bandung. Arsip Irvan Sjafari di Kompasiana menunjukkan hal itu. Penangkapan anggota Tiger Mambo oleh polisi, misalnya, (22 Oktober 1957), razia cross-boy di Stasiun Bandung (29 Oktober 1957), atau dua anggota crossboy sekolahan yang mengancam seorang guru di Ciamis dengan belati karena habis ditempeleng di sekolah (26 Oktober 1957).

Dampak rock n roll ini kemudian dijawab oleh keterlibatan militer. Masuknya film mulai diseleksi dan di waktu yang tidak jauh berbeda, Presiden Soekarno ikut turun tangan dengan memberangus rock n roll. Pada 1957, Radio Republik Indonesia tidak lagi memutar lagu-lagu rock Barat dan pada 1964, di Bandung, polisi membakar sejumlah rekaman musik rock barat seperti Elvis dan band-band invasi Inggris seperti The Beatles dan The Rolling Stones yang mulai tenar di depan publik.

Namun selain momotoran dan bikin onar, para cross-boy ini juga mengaplikasikan kultur dansa-dansi. Nio menyebut di Bandung sejak tahun 1955 sudah ada beberapa sekolah dansa seperti Kraan di Braga, Volta di Djamudju, dan Sonje di Jalan Puteri.

Musik pengantarnya, menurut Nio, adalah musik-musik rock n roll yang cukup up to date, di dapat dari sejumlah toko rekaman seperti Mikho Record Store di Pasar Baru atau Radio Cine di Braga. Acara hiburan dansa ini sering diselenggarakan di Hotel Preanger, Homann, Restoran Merdeka, atau Grand Hotel Lembang. Tak jarang pesta dansa ini menghadirkan band. Beberapa band pesta era itu adalah The Young Brothers dan The Hot Jumpers yang hijrah ke Belanda pada dekade 1960-an.

Baca Juga: Pegiat Musik Bandung Tuntut Keterbukaan Informasi tentang Konser
Ketika Rupa Bertemu Musik
Mengenal Toleransi dan Keberagaman di Griya Seni Popo Iskandar

Invasi Inggris

Meski dilarang oleh pemerintah dan disebut sebagai "geestelijk afglijding" (jiwa tergerus) oleh Sukarno, pencarian anak muda pada musik rock tak berhenti sampai di situ. Di dekade 1960, saat musik Inggris menancapkan perlawanannya atas dominasi rock n roll Amerika, anak muda Indonesia, termasuk Bandung, juga ikut serta.

Entah dari mana, musik itu diakses terutama oleh mereka yang berasal dari kalangan atas. Dalam wawancara penulis dengan Benny Soebardja, diketahui biasanya mereka mendengarkan musik demikian dari piringan hitam yang dibeli di luar negeri. Namun, karena musik "ngak ngik ngok" dilarang oleh rezim Sukarno, tentu bukan hal yang mudah membuat piringan hitam ini masuk ke Indonesia.

Dari referensi yang eksklusif ini, musik kemudian disebar lewat tongkrongan kota. Muara Rajeun jadi salah satu titik penting karena menjadi tempat bergumul para hipster Kota Kembang era itu, seperti Harry Roesli dan Deddy Sutansjah atau yang kemudian dikenal dengan nama Deddy Stanzah.

Harry Pochang menyebut piringan hitam kaum berpunya ini juga kemudian sering diputar lewat sejumlah radio gelap yang mulai marak. Bongkenk Radio misalnya mengkhususkan diri untuk memutar lagu-lagu dari band Inggris bengal, The Rolling Stones.

Gegap gempita musik barat pecah saat demokrasi terpimpin Sukarno jatuh dan digantikan oleh Orde Baru Suharto yang lebih terbuka pada Barat. Dalam Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010), Aria Wiratama menulis berdirinya Orde Baru Suharto bahkan ditandai dengan meningkatnya konsumsi musik rock Barat oleh anak muda ketimbang praktik ekonomi barat oleh negara.

Di Bandung, kegilaan pada musik Barat diamplifikasi dengan berdirinya majalah Aktuil pada 1967 oleh dua orang hipster Bandung, Denny Sabrie dan Toto Rahardja.

Aktuil di era awal banyak sekali menyajikan referensi tentang musik rock barat yang sedang tenar. Saat orang Indonesia mulai membentuk band, Aktuil lantas membagi porsinya dengan menuangkan banyak halaman untuk band-band lokal, terutama Bandung.

Dalam percakapan WhatsApp penulis dengan komika yang juga mantan jurnalis musik Soleh Solihun, wajar ketika itu Aktuil banyak mengangkat band Bandung. Sebagai media musik terkemuka yang terbit dari Bandung, kedekatan redaksi dengan musisi yang merupakan teman-temannya jadi satu alasan.

Soleh yang skripsinya membahas soal Aktuil menyebut kalau Harry Roesli pernah berujar kalau salah satu keunggulan band-band Bandung kala itu adalah karena kedekatannya dengan Aktuil sehingga sering dipromosikan.

Aktuil memang punya popularitas. Dalam "Genre Publics: Aktuil Magazine and Middle-Class Youth in 1970s Indonesia", Emma Baulch (2016) menulis Aktuil pernah memecahkan rekor penjualan dengan menembus angka 126.000 eksemplar pada 1973 dan 1974. Aktuil juga diakusi sebagai trendsetter musik Barat saat itu dan oleh sejumlah pakar dinilai sebagai periode pertama dari sebaran budaya populer di Bandung.

Kultus Rolling Stones

Ada dua band Inggris yang populer saat itu dan sering dipromosikan oleh Aktuil: The Beatles dan The Rolling Stones, meski Aktuil juga memuat band lain seperti The Who, The Kinks, atau The Small Faces. Namun di Bandung, anak muda lebih fanatik kepada yang nomor dua.

Yapi Tambajong atau yang kita kenal dengan nama pena Remy Sylado dalam Ensiklopedi Musik (1992) menulis Bandung adalah kota yang kesukaannya pada The Rolling Stones paling gila. Entah kenapa, di kota ini The Rolling Stones cukup identik.

Banyak asumsi mengenai alasan mengapa orang Bandung tergila-gila The Rolling Stones. Selain memang sudah kosmopolit dan adapatif pada budaya Barat sejak era Londo, The Rolling Stones juga direplika oleh salah satu legenda musik kota ini, yakni Deddy Stanzah.

Deddy bagi sebagian orang dikenal sebagai "Jagger from Bandung". Ia tidak hanya menyanyikan lagu Rolling Stones di panggung atau beraksi layaknya Mick Jagger, sang vokalis The Rolling Stones, tetapi juga mengadopsi apa yang ditulis media soal sosok Jagger pada kehidupan sehari-hari. Tak ayal, citra bad boy pun hinggap dan memenuhi imajinasi anak muda Bandung pada sosok Jagger dan Stones.

Uniknya, di Bandung, lantas terjadi perubahan makna atas kata Jagger dan Stones itu sendiri. Jagger dimaknai sebagai kata ganti dari preman (Deddy Stanzah juga punya lagu soal preman) dan Stones (dilafalkan “Setun”) menjadi kata ganti dari hal-hal bandel, seperti merokok ganja atau menyuntik morfin. Ini bukan kata saya, tapi kata Remy Sylado.

Stones juga melampaui arti dari The Rolling Stones itu sendiri. Stones jadi serupa garansi atas betapa rock n roll-nya seseorang meski dia tak memainkan atau menyerupai The Rolling Stones. Di deretan ini ada Braga Stone, pengamen tunanetra bernama asli Supeno yang sering tampil di Jalan Braga yang memainkan lagu rock Barat dengan Kecapi. Di albumnya, bahkan dia memainkan The Beatles alih-alih Stones.

Sementara kita mengenal juga Asep Stones. Gitaris asal Jawa Barat yang kini di Eropa dan alih-alih seperti Stones, dia lebih mirip Jimi Hendrix.

Tentang ini, Joyce Liu, profesor saya di kampus menilai kalau Stones di Bandung sudah layak disebut sebagai kultur. “Could we called it Stones Culture? I'm not sure yet!” Tapi ya begitulah anak muda Bandung yang kebarat-baratan sejak dari era kolonial.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//