Ketika Harry Roesli Membakar Motor Yamaha 100 LS, Garut 1974
Pada 13 Mei 1974, Harry Roesli cs unjuk gigi di Garut. Harry berangkat terpisah dari gangnya: pakai mobil BMW 2000 bareng pacar dan supir.
Ojel Sansan Yusandi
Penulis buku Bandoeng Waktoe Itoe, pegiat Klab Belajar Merdeka, dan Veskil
20 Juli 2022
BandungBergerak.id - “Saya kagumi dua benda di dunia ini: lem dan upil! Coba saja perhatikan. Lem itu kok bisa menyatukan dua benda. Dua benda yang tak sama kok bisa nyatu, gitu! Upil juga, coba kalau kita ngupil, lantas kita perhatikan, aneh, nggak tahu kenapa, kok bentuknya itu begitu, muskil!” ungkap Harry Roesli pada Aktuil.
Sejak kemunculan bareng gangnya, Harry Roesli memang sudah aneh sendiri. Dengan memakai nama The Gang of Harry Roesli, pada Juni 1973, ia bersama kawan-kawan merilis album Philosophy Gang lewat Lion Records, label asal Singapura. Kanal yang menghubungkan mereka dengan Singapura adalah koneksi ayah Harry Roesli di negara tetangga tersebut. Dari Singapura, ratusan piringan hitam Philosophy Gang dikirim ke Bandung. Saat manggung di bazaar-bazaar, piringan hitam album ini mereka bagi-bagikan. Sementara, radio macam Oz kerap menyetel album ini, terutama lagu “Malaria”.
Musik Harry Roesli and the gang memang lain dari musik yang lazim dimainkan saat itu. Harry Roesli berkata pada Aktuil (edisi 126, 1973, hal. 11) bahwa musiknya merupakan perkawinan antara jazz dan rock. Ia akui bahwa sebelumnya orang-orang meragukan adanya sintesis antara jazz dan rock. “Sebetulnya jazz dan rock mempunyai rahim kelahiran dinamik, saling mengisi, di mana jazz punya kejutan improvisasi, dan rock mempunyai daya rhythm section, pengaruh dari rhythm and blues. Selain itu jazz dan rock masih berhubungan atau satu dimensi walaupun berlainan unsur. Orang tidak sadar bahwa unsur itu lama-kelamaan akan bercampur karena saling imbas-mengimbas. Dan ketika disenyawakan terjadilah surprise baru yang kita kenal sebagai jazz rock,” ungkapnya.
Bareng Harry Pochang (eks Jack C’Lons), Albert Warnerin (eks The Adventures), Indra Rivai (eks Diablo dan Savoy Rhytym), Janto (eks Diablo dan Shark Move), dan drumer yang masih cabutan, Harry menawarkan pilihan lain. Tak cuma lewat musik, namun juga lewat lirik yang nyeleneh, “antilogika”, dan penuh kejutan. Terhadap jalan pikiran Harry Roesli, Remy Sylado sebagai wartawan Aktuil menulis, “Itulah ekspresi dari antilogikanya Harry Roesli yang bilang tidak suka berfilsafat, suka bikin sajak (sebelum tulis-tulis lagu), tapi tidak pernah baca sajak orang lain. Yang tidak mengagumi siapa-siapa jika dia anggap karya orang lain itu bisa disamainya. Dia tidak kagumi Rendra juga tidak kagumi Remy Sylado,” tulis Aktuil edisi 146, 1974, hal. 45.
Dan Harry Roesli tidak bicara, dia menyanyi, dengan musik elektrik yang tidak gegap gempita, dengan suara yang entah yang harus dibilangnya kalau suara itu kadang-kadang keluarnya ngebass, kadang lantang, kadang tinggi melengking untuk kemudian meringkik-ringkik nyaring. Dia memang paling seneng bermain-main dengan variasi volume suara dengan mulutnya atau dengan istilah kerennya: improvisasi!
Dan liriknya, ya ampun, nomor satu dah untuk urusan lirik-lirik yang nyentrik. Tak banyak yang berbuat seperti ini. Liriknya adalah cap dagang yang dengan mudah mencirikan Harry Roesli yang boleh dianggap merupakan ciri manifestasi dari logikanya, angan-angannya, sikap berpikir dan ide-idenya. Harry memang freak!
Baca Juga: Kisah Seniman Bengal Harry Roesli Dibukukan, Hasil Penjualannya untuk Anak Jalanan
Agar Musik Klasik Indonesia tak Terpinggirkan
BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
Harry Roesli cs di Garut
Pada 13 Mei 1974, Harry Roesli cs unjuk gigi di Garut. Harry berangkat terpisah dari gangnya: pakai mobil BMW 2000 bareng pacar dan supir, sedangkan anak-anak lainnya pakai mobil Toyota serta minibus. Mereka ditempatkan di penginapan Cipanas, Garut, sebelum mentas. Setiba di penginapan pun Harry pergi menyendiri, terpisah dari yang lain. “Dia berada di luar lingkaran tapi sekian pikulan tanggung jawab yang seolah-olah seluruhnya ditangani sendiri.”
Ditemani Albert (gitar), Janto Sudjono (drum), Agustin (gitar), Janto (flute, nyanyi), dan Indra (organ), Harry naik panggung sambil menenteng bas. Mentasnya ini bukan sekadar konser perpaduan musik Barat dengan gendang pencak Sunda, tapi juga pentas teater yang dibumbui atraksi kesurupan dan kebakaran. Teater tanpa kata ini memang bukan ide orisinal Harry, melainkan diilhami dari drama yang ditampilkan anak-anak ITB sebelumnya.
Dengan garapan yang mengekploitasi teknik elektrik dalam latar belakang suara dan sistem pencahayaan yang cukup lengkap dengan spotlight dan strobonya, tulis Aktuil (146, 1974, hal. 46) yang meliputnya, manusia bertopeng hitam dengan kerudung kain kafan muncul di panggung. Lalu, tetiba meluncur motor Yamaha 100, yang mesinnya tak bisa dihidupkan, dengan pengendara berhelm ke tengah panggung, menabrak makhluk bersepeda mini dan terguling-guling di tengah panggung. Sementara, Harry Roesli bersama pemain yang puluhan itu terus asyik bermain. Sebagian pemain tampak trance di tengah vokal latar yang berteriak dan merintih, ditingkahi raungan-raungan gitar serta permainan cahaya yang menimbulkan suasana magis mencekam. Riuh penonton menggemuruh dari adegan ke adegan.
Lalu tibalah saatnya para pemain menyalakan kembang api. Belum semuanya kembang api dinyalakan, satu percikan api dari kembang api jatuh mengenai genangan bensin dari motor yang tergelepar di panggung. Api pun menyala dan membesar hingga membakar badan motor. Beberap detik berlalu, para penonton dan pemain belum sadar. Setelah barisan depan menyadari, juga Harry Roesli, apa yang sedang terjadi, baru para pemain yang sebelumnya sedang “kesurupan” mengamankan alat-alat musik dan menjauhkannya dari kobaran api, sementara penonton mulai panik dan berdesak-desakan keluar gedung. Tak lama, alat pemadam api berhasil disemprotkan hingga api padam, sekaligus mengakhiri dengan paksa jalanannya opera yang belum tuntas ini.
Di panggung Harry segera menenangkan pemilik motor yang jadi korban dan ingin minta ganti rugi. Sebagai anak pejabat yang berada, Harry segera mengabulkannya. Tampangnya pucat namun masih berwibawa. Segera ia menyodorkan cek sejumlah 260 ribu rupiah kepada si pemilik motor. Sebelum pulang ke Bandung, ia sempat menawarkan motor Yamaha korban kebakaran itu sebesar 150 ribu kepada anak-anak lain.
Setahun kemudian, Harry Roesli cs membikin pementasan Rock Opera Ken Arok di Gedung Merdeka Bandung pada 12 April 1975 dengan karcis seharga 500 dan 1.000 perak dan terjual habis!