Kisah Seniman Bengal Harry Roesli Dibukukan, Hasil Penjualannya untuk Anak Jalanan
Selain dikenal seniman bengal, Harry Roesli memiliki kepedulian sosial. Sikap ini tercermin dari kepeduliannya terhadap nasib anak-anak jalanan.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri12 Juli 2021
BandungBergerak.id - Djauhar Zaharsjah Fachruddin Roesli atau lebih dikenal Harry Roesli, seorang musikus paket paket lengkap. Karya-karya almarhum mewarnai blantika musik kontemporer tanah air. Pelesetannya yang tajam sarat kritik sosial sempat membuat berang penguasa.
Harry Roesli lahir dari ayahnya yang petinggi militer dan ibunya seorang dokter. Dari empat bersaudara hanya Harry Roesli yang memilih menjadi seniman, ketiga kakaknya berprofesi sebagai dokter. Nama Roesli sendiri warisan dari Marah Roesli, pujangga Minangkabau yang tak lain kakeknya.
Idhar Resmadi, penulis sekaligus pengajar, merangkum kisah hidup seniman eksentrik tersebut Harry Roesli lewat buku setebal 380 halaman berjudul Harry Roesli Si Bengal dari Bandung.
Melalui buku ini, Idhar menawarkan sebongkah gagasan-gagasan Harry Roesli mengenai karya, sikap politik, dan kondisi sosial di masa kehidupan sang seniman. Buku ini telah beredar untuk umum sejak Kamis, 1 Juli 2021.
Di masa hidupnya, Harry Roesli—meninggal pada umur 53 tahun pada 11 Desember 2004—dikenal seniman bengal. Bengal pada ketidakadilan penguasa masa itu sehingga melahirkan karya-karya kritis.
Salah satu kritik tajamnya berupa pelesetan Garuda Pancasila yang sempat membuatnya berurusan dengan polisi. Lewat lagu pelesetan itu, ia menyebut “Rakyat adil makmurnya kapan... Pribadi bangsaku tidak maju-maju”.
Idhar Resmadi mengatakan di akun Instagramnya bahwa Harry Roesli merupakan salah satu maestro musik di Indonesia. Album-albumnya seperti Philosophy Gang (1973), Titik Api (1976), Rock Opera Ken Arok (1977), dan lain-lain menjadi tonggak penting di lanskap musik Indonesia.
"Secara musikal, Harry memang tampak tak punya batasan. Dirinya terus mendobrak dan berinovasi melalui berbagai genre musik, dari rock progresif, bossa nova, balada, pop, hingga musik elektronik. Dia menjadi pendobrak pada masanya sehingga dijuluki “Si Bengal”," kata Idhar.
Kepada Bandungbergerak.id, Idhar mengungkap latar belakang penerbitan bukunya yang berawal dari seleksi pengajuan hibah fasilitas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Kemendikbud) kategori dokumentasi budaya maestro. “Awalnya mah cuma iseng ikutan sayembara Kemendikbud,” ujar Idhar, melalui sambungan telepon.
Bagi Idhar, Harry Roesli adalah figur inspiratif. Melalui musik dan gagasannya yang progresif, Harry Roesli mampu mencatat semangat zaman di masa itu. Idhar menyebut Harry Roesli sebagai musisi lintas batas. “Harry Roesli adalah seniman yang multitalenta, eksentrik, kritis, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi,” katanya.
Sikap tersebut tercermin dari kepedulian Harry Roesli terhadap nasib anak-anak jalanan. Harry Roesli merelakan ruang tamu rumahnya di huni banyak anak jalan. Di sana ia memberikan pendidikan melalui kesenian. Aktivitasnya bersama anak jalanan membuatnya dijuluki bapak dari banyak anak-anak jalanan di Kota Bandung.
Baca Juga: Anak-anak Kota Bandung Rentan Terpapar Covid-19
Pagebluk Covid-19, Semakin Banyak Anak dan Perempuan Bandung Alami Kekerasan
Minim Dokumentasi Harry Roesli
Buku Harry Roesli Si Bengal dari Bandung dibuat dengan teknik penelitian studi arsip. Bahan bakarnya terdiri lebih dari seratus rilisan pers dan tiga buah jurnal. Pengerjaan buku ini selesai dalam waktu empat bulan.
Meski dikerjakan dengan waktu yang relatif singkat, Idhar mengaku sempat terkendala akses mendapatkan bahan-bahan buku. Menurutnya, dokumentasi kegiatan Harry Roesli sangat minim.
“Susah cari bahannya sih. Jadi selama empat bulan itu kerja simultan, mengumpulkan arsip dan menuliskannya. Saat itu minim kesadaran dokumentasi. Pihak keluarga juga bisa dibilang dokumentasinya kurang,” ujar Idhar Resmadi.
Penulis buku Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya, itu mengaku terbantu dengan dokumentasi majalah Aktuil yang cukup banyak melaporkan kegiatan almarhum selama hidupnya. Ada juga arsip dari Irama Nusantara, Museum Musik Indonesia, dan La Munai Records.
Idhar berharap bukunya turut menambah literatur seni dan gagasan Harry Roesli bagi generasi terkini. Buku yang dicetak sebanyak 500 eksemplar ini hanya dapat dimiliki masyarakat umum sebanyak 250 eksemplar dengan harga 125.000 rupiah. Separuhnya akan dihibahkan ke perpustakaan dan komunitas. Seluruh hasil penjualan buku akan didonasikan kepada anak-anak jalanan yang terdampak pandemi Covid-19.
“Karena ini tuh dana hibah ya. Saya merasa diamanati oleh masyarakat. Juga saya berharap buku ini bisa memiliki spirit sosial yang selaras dengan gagasannya beliau (Harry Roesli), jadi sudah sepatutnya saya kembalikan juga untuk kepentingan rakyat terutama anak jalanan yang juga terdampak pandemi Covid-19 ini,” tutup Idhar.
View this post on Instagram
Pukulan Pagebluk
Rumah Musik Harry Roesli (RMHR) telah berdiri sejak 1998. Berdirinya RMHR adalah kepanjangan tangan dari Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang juga digagas almarhum.
Menurut Layala Roesli, putra Harry Roesli sekaligus pengelola RMHR, saat ini jumlah anak asuh berlatar belakang anak jalan di RMHR hanya tersisa sembilan orang. Semenjak pagebluk mereka harus kembali ke jalanan.
“Sebetulnya sebelum pandemi Alhamdulillah sudah banyak anak binaan kami yang berhenti ke jalan (mengamen). Semenjak pandemi sisa sembilan orang dan sekarang semuanya kembali turun ke jalan,” ujar pria yang akrab disapa Yala, melalui sambungan telepon.
Pandemi Covid-19 bikin RMHR mati segan hidup tak mampu. Kegiatan belajar-mengajar tetap digelar meski dengan keterbatasan. Minimnya sarana penunjang produksi virtual membuat RMHR tak bisa menggelar kursus ataupun pertunjukkan daring.
Bahkan di tengah gelombang pandemi tahun kedua ini, aktivitas RMHR ditutup untuk sementara waktu karena pihak keluarga yang terdiri dari istri dan anak dari almarhum Harry Roesli sedang menjalani isolasi mandiri karena Covid-19.
“Selama pandemi ini rasanya serba salah. Kursus dan pertunjukkan sebelumnya masih jalan, sempat mencoba online namun fasilitas jauh dari harapan,” sambung Yala.
Yala mewakili keluarga sekaligus keluarga besar RMHR sangat mengapresiasi terbitnya buku Harry Reosli Si Bengal dari Bandung. Ia berharap buku tersebut bisa memperkenalkan kembali figur serta gagasan sang ayah kepada masyarakat luas.
“Saya sangat mengapreasi, ya. Agak miris sebetulnya, bisa dibilang kita bangsa yang suka melupakan sejarah. Harapannya buku ini bisa memperkenalkan kembali figur Harry Roesli terutama spiritnya. Umumnya bagi masyarakat luas, khususnya bagi generasi muda saat ini,” ujar Yala.
Pagebluk Covid-19 yang hingga kini belum terkendali membuat Yala khawatir atas nasib anak-anak jalanan. Meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berdampak pada melonjaknya jumlah anak jalanan di Kota Bandung.
Di saat yang sama, Yala juga berterimakasih atas niat baik Idar Resmadi yang akan mendonasikan 100 persen dari penjualan buku kepada anak jalanan. Ia berharap banyak orang lebih peduli dengan nasib anak jalanan dengan begitu lonjakan jumlah anak jalan dapat tertanggulangi.
“Jujur saya merasa sangat terbantu. Meski semua juga sulit (terdampak) bukan berarti menghalangi niat baik kita untuk peduli. Justru di saat yang sulit seperti ini kita harus budayakan kembali gotongroyong,” ujar Yala.
RMHR, kata Yala, siap menyalurkan bantuan tersebut kepada anak jalanan. Bantuan ini nantinya bukan dalam bentuk uang tunai, melainkan akan dialokasikan untuk kegiatan pembinaan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain untuk menunjang kreativitas dan produktivitas anak jalanan, seperti pelatihan musik.
“Saya pribadi jujur kurang suka bila diberikan dalam bentuk uang tunai. Karena kita juga gak tau pandemi ini sampai kapan. Jadi harapan saya, donasi ini bisa kasarnya mah diputerin-lah. Rencananya untuk kelanjutan program pembinaan dan juga mendukung anak jalanan untuk membuat konten yang bisa dimonetisasi,” tutup Yala.
Ia berharap, akan semakin banyak lagi pihak-pihak yang peduli pada nasib anak-anak jalanan. “Meski sulit bukan berarti menghalangi kita untuk peduli. Kita harus budayakan kembali gotongroyong,” ujarnya.