• Kolom
  • SURAT DARI TAIWAN #5: Musik yang Mempertemukan

SURAT DARI TAIWAN #5: Musik yang Mempertemukan

Musik menjadi jembatan penghubung tonggak-tonggak penting dalam hidup saya. Di Taiwan, oleh musik, saya dipertemukan dengan banyak kawan baru.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Penulis (kanan) berfoto bersama Yoli, seorang pekerja migran asal Kendal, Jawa Tengah, yang sudah lebih dulu menceburkan diri ke dalam kolektif punk lokal di Taiwan. (Foto: dokumentasi Irfan Muhammad)

25 Mei 2022


BandungBergerak.id - Saya berterima kasih banyak pada musik. Saya tidak pernah menyangka hal yang saya sukai sejak kecil ini mampu menjadi syariat untuk saya melangkah jauh, memasuki banyak pintu, dan membuka banyak pertemanan baru. Ini bukan tentang apa saya alami di Taiwan saja. Ini tentang pengalaman menyenangkan di Batukaras, pengalaman bekerja sebagai jurnalis profesional, hingga bertemu pasangan hidup. Semua dimediasi oleh musik. Terdengar hiperbolik mungkin, tapi itulah adanya.

Saya ingat betul, tes pertama saya saat mengikuti seleksi masuk jadi wartawan Pikiran Rakyat Bandung adalah menulis satu artikel dua halaman dengan tema musik. Tema ini tidak dipilih sendiri tetapi diundi lewat sebuah mangkuk besar berisi kertas-kertas kecil yang digulung. Selain musik, di dalamnya mungkin ada tema politik, ekonomi, olahraga, dan lain sebagainya.  

Undian diambil setelah proses wawancara selesai. Saat itu yang mewawancarai saya ada tiga orang redaktur, yakni Kang Rahim Asyik, Kang Erwin Kustiman, dan Kang Zaky Yamani. Kang Zaky masih menjabat sebagai redaktur Khazanah. Ia banyak melontarkan pertanyaan pada saya (lagi-lagi) soal music, mengingat saya sempat menjadi wartawan musik di Gigsplay.com sejak zaman kuliah dan menulis musik sebagai desk sekunder di koran pertama saya, Bandung Ekspres.

Saat mengambil undian, saya agak tegang juga. Khawatir dapat tema yang enggak saya banget, seperti ekonomi atau olahraga. Tahunya, pas diambil, eh tema musik yang kena. Kaget juga kok bisa pas. Alhamdulillah.

Saat bertugas sebagai reporter di Batukaras, musik juga menjadi penghubung saya dengan teman-teman lokal. Ada tiga hal yang menurut saya digandrungi oleh anak-anak muda di sana dan lalu menghubungkan mereka dengan para turis pendatang. Selain musik, ya selancar dan miras (minuman keras).

Saya tidak bisa selancar. Berenang pun sungkan. Minuman keras juga tidak. Jadi ya saya masuk lewat musik. Dari situlah persaudaraan saya terjalin dengan mereka, bahkan sampai hari ini, menjadikan Batukaras sebagai salah satu tempat tugas paling berkesan sepanjang hidup.

Apakah saya musisi? Sayangnya bukan. Pernah saya bikin satu dua band dan merilis mini album, tapi saya tidak pernah merasa diri layak disebut sebagai musisi. Saya tidak bisa bermain instrumen dengan benar, tidak juga bernyanyi dengan baik.

Saya lebih senang menyebut saya orang yang antusias pada musik. Menikmati musik dari seluk-beluk di belakangnya, sejarah subkulturnya, dan bergaul dengan kancahnya. Itulah mengapa saya selalu berusaha berbaur. Tidak hanya di Bandung atau Jakarta, atau Batukaras dan Cianjur, tetapi juga saat mendapatkan kesempatan ke luar negeri seperti Singapura, Nepal, dan kini Taiwan.

Penulis (berdiri paling kiri) berfoto bersama para pelaku kolektif musik di Taiwan. Musik menjadi bahasa yang mempertemukan anak-anak muda dari berbagai latar belakang. (Foto: dokumentasi Irfan Muhammad)
Penulis (berdiri paling kiri) berfoto bersama para pelaku kolektif musik di Taiwan. Musik menjadi bahasa yang mempertemukan anak-anak muda dari berbagai latar belakang. (Foto: dokumentasi Irfan Muhammad)

Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #4: Transportasi Publik di Hsinchu, dari Halte Plang hingga Bus 5608 yang Garang
SURAT DARI TAIWAN #3: Bau Parutan Keju, Cimahi, dan Lebaran di Negeri Orang
SURAT DARI TAIWAN #2: Menjadi Muslim yang Minoritas

Musik di Taiwan

Tentang musik Taiwan ini ada menariknya juga. Dulu, saya tidak tahu apa-apa tentang musik di sini. Yang saya tahu mungkin sebatas boyband F4 yang fenomenal itu. Selebihnya, jika bicara musik alternatif atau indiepop yang saya suka, Asia Timur lebih banyak diwakili oleh Jepang. Nyaris tidak ada suara lain yang terdengar dari negara lain di kawasan tersebut. Namun saat saya datang pertama kali ke negara ini, saya segera tahu bahwa ternyata saya salah besar.

Dari sebuah toko rekaman kecil di sudut kota Taipei, saya mendapatkan banyak rekomendasi musik alternatif dari Pulau Formosa ini. Di antaranya Boyz and Girl dan Iruka Police. Saya bawa CD-nya dan mengulik lebih dalam, membaca banyak literasi berbahasa Inggris tentangnya, dan menjalin pertemanan dengan banyak pelakunya melalui internet. Label Chiching Records bahkan mengirimkan beberapa katalognya buat saya. Dan ketika saya pindah ke Taiwan, kami bertemu in person dan menjadi teman baik sampai hari ini. Lagi-lagi musik jadi medium.

Tak ada yang menyangka memang kalau akhirnya saya memilih jalan untuk pindah ke sini. Meneruskan studi atas dorongan Wahyudi Akmaliyah, seorang peneliti LIPI (sekarang BRIN) yang membaca buku saya, Bandung Pop Darlings, dan juga dukungan dari teman-teman di Irama Nusantara. Semua saling terkait dengan musik.

Di sini, lagi-lagi musik jadi bahasa saya. Perlu diingat, Taiwan bukanlah negara seperti Singapura dengan penduduknya yang fasih berbahasa Inggris. Dan saya datang tanpa bisa berbahasa Mandarin. Sama sekali. Namun toh saya tetap bisa terhubung dengan mereka karena musik. Saya datangi perhelatan-perhelatan gigs di sini, memperkenalkan diri, menyatakan ketertarikan dengan kancah mereka, dan menjalin pertemanan nyata. Lain waktu mereka akan mengundang saya lagi ke perhelatannya yang lain.

Saya jadi ingat juga perbincangan saya dengan Chef Andrea, chef asal Italia di tempat saya kerja paruh waktu. Ia lama di Inggris. Lebih dari 10 tahun. Itu juga yang membuat aksen Inggrisnya lebih terdengar Cockney. Di sela-sela istirahat kerja, saya bertanya tentang aksennya dan kesukaan orang Itali pada sepakbola. Anehnya, Chef asal Milan ini mengaku tak begitu menyukai sepakbola. “I like music more,” kata dia.

Dari situ, masuklah saya ke perbincangan soal musik. Dia dan saya ternyata punya kesukaan pada jenis musik yang sama: pop dari Inggris. Jadilah kami berbagi referensi, dari Blur sampai Primal Scream.

“Kamu lahir 1990-an kan? Wajar kamu suka Blur karena tahun 2000-an mereka merilis “Song 2” yang diputar dimana-mana. Tapi kalau kamu suka Primal Scream, The Stone Roses, hmm nampaknya selera yang aneh buat anak muda,” komentar dia sambil mengernyitkan dahi.

Saya balas saja sambil tertawa: “Musik itu wawasan Chef, bukan tentang hidup di zaman yang mana.”

Dia juga tertawa,

Nice taste!,” komentarnya.

Lagi-lagi karena musik kami jadi lebih akrab.

Musik sering menjadi bahasa universal yang sanggup mempertemukan orang dengan beragam latar belakang berbeda. (Foto: dokumentasi Irfan Muhammad)
Musik sering menjadi bahasa universal yang sanggup mempertemukan orang dengan beragam latar belakang berbeda. (Foto: dokumentasi Irfan Muhammad)

Pengalaman Yoli

Pengalaman serupa juga dialami oleh Yoli, seorang pekerja migran asal Kendal, Jawa Tengah. Saya bertemu dia di gigs punk yang dihelat kolektif punk Taiwan di salah satu kolong jembatan di Taipei. Dari awal saya sudah mengira kalau cowok dengan perawakan sedang ini adalah orang Indonesia. Selain dari mukanya, juga dari topi yang ia kenakan: AK47, band punk legendaris dari Semarang. Namun saya tak berani menegur, takut salah, karena saya lihat dia asyik bermain dengan beberapa punk lokal.

Tahunya, Awen, seorang punk lokal yang saya kenal lewat aktivitas bersama Pekerja Migran Indonesia (PMI) beberapa bulan sebelumnya, yang juga menginisiasi acara di kolong jembatan ini, memperkenalkan saya pada Yoli.

You’re countrymen!” katanya sambil memboyong Yoli pada saya.

Dari situlah saya dan Yoli berbincang banyak hal.

Cerita Yoli jauh lebih menarik. Dia sudah dua setengah tahun di Taiwan. Pindah ke sini karena bekerja. Punk, buat dia bukan hal baru. Sejak di Indonesia, dia sudah sering menginisiasi gigs lokal di Kendal dan berjejaring dengan komunitas punk lain tidak hanya di dalam, tetapi juga di luar negeri. Tak heran ketika pindah ke Taiwan, ia, seperti saya, sudah mengenal atau paling tidak mudah untuk berbaur dengan kawan-kawan punk lainnya.

Uniknya, Yoli tidak bisa berbahasa Mandarin atau juga Inggris. Namun dia sudah mengenal kolektif ini lebih lama dari saya (tentu saja), suka ikut nongkrong, dan mengikuti kegiatan-kegiatan bersama lainnya. Ya, saya heran,

“Terus gimana komunikasinya?” tanya saya.

“Ya karena sama-sama punk, nyambung-nyambung aja,” balas Yoli sekenanya.

Ah, musik memang mempertemukan!

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//