• Kolom
  • SURAT DARI TAIWAN #4: Transportasi Publik di Hsinchu, dari Halte Plang hingga Bus 5608 yang Garang

SURAT DARI TAIWAN #4: Transportasi Publik di Hsinchu, dari Halte Plang hingga Bus 5608 yang Garang

Mungkin untuk kota seperti Bandung, keberadaan halte eksotis yang pembangunannya tidak murah bukanlah inti. Ada opsi sederhana seperti halte plang di Taiwan.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Bus menjadi transportasi publik utama di Taiwan. Lokasi pemberhentian bus diatur sesuai jadwal. Tidak ada halte yang memakan tempat. (Sumber Foto: Irfan Muhammad)

20 Mei 2022


BandungBergerak.idSaat saya mulai mencoba rutin menulis kolom buat BandungBergerak.id, saya mencoba konsisten untuk menulis tema tentang subkultur. Tetapi saya akui saja kalau menulis tema ini secara berkala membutuhkan sebuah energi yang besar. Lalu bung Jok —pimpinan Bandung Bergerak— menawarkan saya untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya saat berada di Taiwan. Mungkin ini memang tidak seberat menulis tema subkultur empat kali dalam sebulan. Cuma tetap saja saya tak langsung mengiyakan.

Saya sepakat dengan bung Jok bahwa menulis pengalaman pribadi dan menjadikan kolom BandungBergerak sebagai diary pekananan mungkin tidak akan begitu menjadi beban. Toh saya rutin menulis juga di Instagram saya yang terkoneksi dengan Facebook. Hanya jujur saja, saya khawatir terjebak pada membandingkan kondisi dua negara yang sejatinya tak bisa begitu saja dibandingkan satu sama lain. Saya enggan membawa “ide dari negara maju” dan seolah melihat Indonesia sebagai “negara berkembang”. Hal yang mungkin sering menjebak diaspora Indonesia dan membelenggunya dalam kepongahan, dengan menyebut Indonesia sebagai Indon atau Negara Wakanda, misalnya. Padahal dalam beberapa hal, negara yang ditinggali juga tidak lebih baik dari Indonesia, meski tak menutup mata ada juga yang lebih baik tentunya.

Menurut saya, kita tidak serta merta bisa merasa lebih maju karena tinggal di luar negeri. Karena hidup di alam kapitalisme mana pun, kita toh tetap sama-sama harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Selain itu ada banyak aspek baik kultural, demografi, geografi, komposisi penduduk, dan lain-lain, yang membuat satu negara tak bisa disamakan dengan yang lain begitu saja. Saya hanya ingin terus melatih diri, untuk apa yang Pram bilang: adil sejak dalam pikiran.

Tapi okelah saya hendak mencoba. Kali ini saya akan membahas tentang bus sebagai alat transportasi publik di kota kecil yang tak sebesar Jakarta.

Bahasan ini terilhami dari hadirnya banyak berita tentang Trans Metro Pasundan di linimasa media sosial saya. Bus yang pengoperasiannya seperti Trans Jakarta di ibu kota ini (dengan titik pengangkutan yang sudah ditentukan dan cara membayar menggunakan kartu tap) mendapat banyak ancaman dari para sopir angkot dan preman yang merasa jatah rejekinya dijarah kemajuan.

Saya paham ini sangat kompleks. Di satu sisi, perlu ada solusi bagi para sopir angkot yang selama ini sudah banyak digerus oleh perkembangan transportasi publik. Tapi di sisi lain, keberadaan bus seperti Trans Metro Pasundan ini tentu akan sangat membantu mobilitas masyarakat yang kebanyakan tinggal di kabupaten Bandung dan harus ke Kota Bandung tiap hari untuk bekerja.

Tak perlu jauh membandingkan ke Taiwan, tempat saya bermukim sekarang. Dulu, waktu rumah saya masih di Tangerang dan bekerja di Jakarta saja, transportasi publik seperti ini menjadi andalan. Meskipun ada macet dan jarak dari rumah ke halte yang lumayan, tetap saja Trans Metro seperti ini jadi pilihan. Sementara di Jakarta sendiri, Pemerintah Provinsinya secara bertahap mereduksi alat transportasi publik yang sebelumnya ada. Kopaja yang unitnya kebanyakan sudah reot, perlahan ditiadakan. Di zaman Anies Baswedan, angkot mulai beralih menjadi Jaklingko yang punya sistem pembayaran berbeda. Lama memang, tapi bisa.

Bagian dalam bus di Taiwan. Bus menjadi transportasi publik utama di negeri tetangga Tiongkok ini. (Sumber Foto: Irfan Muhammad)
Bagian dalam bus di Taiwan. Bus menjadi transportasi publik utama di negeri tetangga Tiongkok ini. (Sumber Foto: Irfan Muhammad)

Lalu bagaimana dengan bus sebagai alat Transportasi Publik di Hsinchu, tempat saya tinggal? Sebelumnya saya mungkin hendak memberi gambaran bagaimana kota ini. Hsinchu, punya jarak sekitar satu jam setengah lewat tol menggunakan bus dari ibu kota Taipei. Jika dibanding dengan Taipei, Hsinchu lebih ke kota kecil yang mungkin kita tidak akan menemukan ruas jalan selebar Soekarno-Hatta di Bandung. Kota pendidikan dengan dua universitas top 5 di Taiwan (dan 50 besar di Asia) ini lebih mirip Cimahi atau Bandung Kota yang ruas jalannya relatif kecil. Seperti banyak kota di Asia, motor masih menjadi moda transportasi andalan publik Taiwan, begitu juga di Hsinchu. Selain itu, barulah bus dalam kota. Jumlah pastinya mungkin butuh riset, tapi itu kiranya pantauan saya.

Banyak dari teman-teman Indonesia di Taiwan sering mengeluhkan lamanya menunggu bus di Hsinchu. Kadang bisa sampai 30 menit. Memang, kalau dibandingkan dengan di Taipei, frekuensi bus di sini tidak sesering itu. Tetapi bagi saya, yang biasa mengandalkan moda transportasi ini selama enam tahun bolak balik Jakarta-Tangerang, menunggu bus di Hsinchu masihlah terbilang biasa. Karena banyak juga kelebihannya. Di sini akan sangat jarang kita tidak dapat tempat duduk. Selain itu, kita akan lebih aman dari risiko kena denda parkir karena saya sering banget lihat motor diangkut cuma karena tidak parkir sesuai garis yang ditentukan.

Taiwan mungkin tidak memiliki masalah berarti dalam mentransisikan moda transportasi bus metro ini karena dia sepertinya tidak pernah punya sejarah angkot. Tapi hal lain yang saya catat dari perkembangan transportasi publik di kota kecil seperti Hsinchu, adalah perlunya memanfaatkan ruang lebih kepada fungsi dan peruntukannya daripada sekadar mengkopi apa yang ada di kota besar.

Jika di Taipei atau Jakarta, halte atau tempat menunggu bus dibuat dengan bangunan fisik yang tentunya akan memakan tempat, di Hsinchu semua itu tidak akan kita temukan. Di kota kecil seperti Hsinchu, kita hanya perlu jeli menemukan plang yang berarti tempat menunggu bus. Biasanya di plang itu akan tertera bus apa saja yang lewat di jalan tersebut dan jam berapa saja operasionalnya.

Seketika saya jadi ingat waktu saya masih jadi wartawan di Bandung. Kala itu, Wali Kota Bandung yang masih dijabat oleh Ridwan Kamil, membuat sejumlah halte unik berbentuk kapsul di sejumlah titik di Kota Bandung sebagai tempat naik turun penumpang Trans Metro Bandung. Sekarang saya tidak tahu kabar halte-halte kapsul itu dan apakah Trans Metro Bandung sudah jadi moda transportasi andalan yang menggantikan atau paling tidak jadi opsi lain dari kendaraan pribadi misalnya. Tetapi melihat kesederhanaan “halte” di sini, saya jadi berpikir, mungkin untuk kota seperti Bandung, keberadaan halte eksotis yang tentu pembangunannya tidak murah bukanlah inti. Karena ada opsi sederhana yang tetap fungsional: Memberi kepastian titik naik-turun dengan jam operasional yang jelas tanpa perlu adanya bangunan fisik.

Memang kalau hari hujan, karena ketiadaan halte fisik, kami akan kehujanan. Tapi apalah guna membawa payung? Lagi pula kami masih bisa berteduh di bangunan sekitar selama bisa memastikan kapan bus akan datang. Dengan halte plang ini, saya lihat Hsinchu juga tidak kehabisan tempat yang dimakan oleh bangunan fisik. Trotoar tetap lega.

Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #1: Puasa Pertama di Negeri Formosa
SURAT DARI TAIWAN #2: Menjadi Muslim yang Minoritas
SURAT DARI TAIWAN #3: Bau Parutan Keju, Cimahi, dan Lebaran di Negeri Orang

Halte bus di Taiwan cukup dengan plang. Tidak ada halte fisik yang memakan tempat. Penumpang mengandalkan jadwal bus yang akurat. (Sumber Foto: Irfan Muhammad)
Halte bus di Taiwan cukup dengan plang. Tidak ada halte fisik yang memakan tempat. Penumpang mengandalkan jadwal bus yang akurat. (Sumber Foto: Irfan Muhammad)

Bukan Tanpa Cacat

Namun tentu saja tidak ada yang sempurna. Sistem transportasi di Hsinchu juga masih menemui banyak kendala. Misalnya, ketersediaan bus untuk beberapa rute yang sangat-sangat jarang. Bus nomor 2 dengan rute Stasiun Hsinchu ke kampus saya, National Yang Ming Chiao Tung University misalnya, hanya ada dua jam sekali. Alhasil kalau saya sedang di kampus dan perlu buru-buru ke stasiun, saya harus jalan kaki sekira 20 menit untuk mencapai jalan besar tempat banyak bus lain yang menuju stasiun lewat. Ada juga bus-bus seperti nomor 3 dan 52 yang sebetulnya lewat di depan apartemen saya, tapi selama enam bulan saya di sini, mungkin tidak lebih dari 20 kali saya melihatnya. Sangking jarangnya.

Lalu apakah karena saya tinggal di Taiwan dengan sistem transportasi publik yang relatif lebih maju attitude pengemudinya juga beradab? Oh tentu tidak. Taiwan punya masalah dengan attitude pengemudi. Sering terjadi kecelakaan di sini. Di salah satu grup orang asing di Taiwan, seorang anggota yang berasal dari negara Eropa bahkan merasa lebih merasa aman saat karantina daripada harus jalan-jalan di sekitar Kaohsiung, kota tempat ia tinggal. “Dua kali saya hampir ditabrak,” katanya.

Di bus, ada satu trayek dengan nomor 5608 yang saya tandai karena banyak dari sopir-sopirnya cenderung temperamen. Padahal harga sekali naiknya lebih mahal dari bus lain yang menuju stasiun. Jika bus lain ongkosnya 15 NTD (Rp 7.000-an), naik 5608 ini akan menghabiskan 22 NTD (Rp 10.000-an). Bus ini punya rute panjang. Dari Stasiun Hsinchu di Kota Hsinchu sampai ke Zhudong di Kabupaten Hsinchu. Beberapa armadanya armada lama. Tapi tentunya ini tidak boleh jadi sebab ia ugal-ugalan dan galak.

Suatu kali pernah saya hendak ke Stasiun. Bersama saya, tiga mahasiswi asing berbahasa Prancis dari Tsing Hua University, kampus tetangga, yang ikut antre. Cukup lama kami menunggu bus hingga datanglah si 5608 ini. Kami naik. Satu per satu kami tap kartu ke mesin. Sayang, satu dari tiga mahasiswa asing ini kehabisan saldo di kartunya. Mesin memberi notifikasi dalam bahasa Mandarin. Tapi tentu kami, para orang Asing tidak mengerti. Cuma, alih-alih memberi tahu dengan baik dan memberi opsi bahwa bisa membayar cash dengan uang pas, si sopir malah teriak “No money!”. Mahasiswi itu kaget dan sempat bingung hingga akhirnya ia sadar kalau ia bisa membayar dengan uang koin.

Di awal saya ke sini, pernah juga di tikungan, sopir bus 5608 melaju kencang. Pas di belokan itu ada seorang anak sekolah, mungkin SD yang hendak menyebrang. Kalau tidak dihalangi oleh sepasang kakek nenek yang menunggu di pinggir, pasti anak itu sudah tertabrak. Saya menggigit bibir saja. Takut kalau kejadiannya di depan mata. Sialan memang.

Istri saya malah punya pengalaman lain. Waktu itu ia hendak berangkat kerja. Biasanya ia akan naik bus nomor 1, tapi karena sudah mepet, 5608 yang kebetulan punya rute searah pun jadilah. Tapi dasar sial, di pagi hari itu, bus 5608 yang baru datang di halte tempat istri menunggu dan menurunkan penumpang, malah langsung tancap gas tanpa menghiraukan antrean yang hendak naik. Tancap gas langsung kencang yang membuat para calon penumpang kaget dan ada di antaranya yang setengah berlari, hendak mengejar. Entah apa yang ada di kepala si sopir saat itu.

Dari situ kami berpikir, sistem transportasi publik di Hsinchu ini nyaris sempurna. Asal tidak ada 5608.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//