• Cerita
  • ORANG BANDUNG TERDAHULU #4: Maestro Karawitan Sunda, Tan Deseng

ORANG BANDUNG TERDAHULU #4: Maestro Karawitan Sunda, Tan Deseng

Tan Deseng mengajarkan seni tradisi Sunda kepada siapa pun, termasuk kepada warga keturunan Tionghoa. Ada pembauran melalui seni tradisi.

Tan Deseng dalam program Belajar Bersama Maestro (BBM) di Bandung, 2015. (Foto: Kemendikbud RI)*

Penulis Iman Herdiana26 April 2023


BandungBergerak.idLazimnya orang hanya menyukai kesenian yang berkaitan dengan suku atau budaya sendiri. Berbeda halnya dengan Tan Deseng, tokoh berdarah Tionghoa yang mencintai seni karawitan Sunda. Tan Deseng meninggal di Bandung dalam usia 80 tahun 6 November 2022 lalu.

Nama Tan Deseng akan tetap dikenang sebagai maestro kesenian Sunda. Baginya, tanah Sunda adalah kampung halamannya dan di tempat kelahirannya ini ia merasa sebagai orang Sunda.

Lingkungan anu mawa urang jadi identitas anu khusus, di mana tumpah darah kuring, ti lahir, balita dugi ayeuna sepuh, nya kejo di Sunda jeung cai di Sunda nu jadi getih daging kuring,” kata pria yang lahir di kawasan Pasar Baru, Kota Bandung, 22 Agustus 1942, itu, dikutip dari Jurnal Untirta, “Tan Deseng Tokoh Seni Sunda pada Masyarakat Tionghoa di Wilayah Kota Bandung” yang ditulis Asep Wasta dan Henri Nusantara dari FKIP Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya dan FPSD UPI Bandung, diakses Selasa (11/4/2023).

Kepakaran Tan Deseng di bidang seni karawitan Sunda membuatnya kerap menjadi tujuan bagi generasi muda untuk menimba ilmu. Dilansir dari laman Kemendikbud, Tan Deseng terpilih menjadi seniman yang menyelenggarakan program Belajar Bersama Maestro (BBM).

Kegiatan BBM dimulai di kediaman Tan Deseng, Komplek Taman Holis, Kota Bandung, 26 Juni 2015. Tan Deseng didampingi pengajar lainnya, Boy Worang, dan Oza K Sunarya (putra Tan Deseng).

Pelajaran yang dibahas antara lain soal titilaras atau tangga nada. Menurut Tan Deseng, titilaras Indonesia adalah satu-satunya di dunia. “(Titilaras) Ini milik kita. Musik adalah identitas bangsa. Nenek moyang kita memiliki titiraras (tangga nada) yang mandiri,” tutur Tan Deseng.

Tan Deseng juga menjelaskan pengertian karawitan, gending, kecapi, dan sebagainya. “Karawitan itu merupakan alatnya gamelan yang terdiri dari stereo musik, perkusi, alat gesek, gendang, rebak, kecapi,” tuturnya.

Selanjutnya ia menjelaskan soal birama. Tan Deseng memberi contoh memainkan alat musik sambil bernyanyi dengan beberapa kali menghentakkan kaki dan menyanyikan not.

“Kita patut bangga mempunyai skala dan tangga nada yang mandiri, bangsa kita memiliki skill yang cukup hebat. Semoga pelajaran ini bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi kita semua,” kata Tan Deseng.

Tan Deseng Mengajarkan Lagu Buhun

Selain membahas teori, para peserta BBM juga diajarkan praktik bermusik oleh Tan Deseng. Lagu yang diajarkan termasuk buhun, berjudul Layar Putri.

“Kami memilih lagu ini, karena kami berharap anak muda dapat mengembangkan lagu buhun (jaman dahulu). Lagu dulu bisa dibuat masa kini sesuai dengan generasi baru,” ungkap Oza K Sunarya, putra Tan Deseng.

Para peserta BBM didominasi anak muda yang berasal dari luar Pulau Jawa. Pada ujung BBM, Tan Deseng dan anak cucunya berkolaborasi bersama peserta untuk memainkan lagu berjudul Aki-Aki yang diciptakan Tan Deseng.

“Saya harap peserta bisa bermain musik Sunda sesuai dengan bakat dan keinginannya, tidak dipaksakan. Karena ini program Belajar Bersama Maestro, jadi saya juga belajar dari kalian semua. Bukan hanya kalian yang belajar dari saya,” tutur Tan Deseng.

Baca Juga: ORANG BANDUNG TERDAHULU #1: Iwa Koesoemasoemantri dan Unpad
ORANG BANDUNG TERDAHULU #2: Mukti Mukti dan Tema-tema Orang Pinggiran
ORANG BANDUNG TERDAHULU #3: Ahmad Taufik “Ate”, Sekali Lagi

Pembauran dengan Musik Tradisi Sunda

Asep Wasta dan Henri Nusantara dalam jurnal ilmiahnya melihat Tan Deseng lebih dari seniman karawitan Sunda. Melalui seni tradisi, Tan Deseng disebut sebagai tokoh pembauran.

“(Tan Deseng) seorang etnis Tionghoa yang sangat mencintai budaya Sunda sebagai tanah tempat kelahiranya, kita sudah sepantasnya meneladani jejak langkahnya,” tulis Asep Wasta dan Henri Nusantara.   

Menurut kedua peneliti itu, melalui seni tradisi yang digelutinya Tan De Seng mengajarkan seni Sunda kepada para muridnya untuk mendapat pengalaman empiris supaya lebih mengenal lagi tanah tempat hidupnya sekarang ini. Di antara murid Tan, tak sedikit warga keturunan Tionghoa yang belajar.

“Pemilik Sanggar Seni Sunda Pasundan Asih ini mengajarkan kesenian Sunda kepada 400 orang murid, yang hampir seluruhnya warga keturunan Tionghoa,” terang Asep Wasta dan Henri Nusantara.

Kedua peneliti membeberkan jenis musik tradisi Sunda yang dikuasai Tan Deseng, yakni alat musik diatonis seperti kecapi. Tan juga mahir memainkan degung, suling, kliningan. Tak hanya itu, Tan Deseng juga menguasai tembang Cianjuran serta beberapa tarian khas Jawa Barat. Ia fasih mengalunkan kawih Sunda. Karya kawihnya banyak disimpannya dalam bentuk rekaman kaset.

Menurut kedua peneliti, kepiawaian Tan De Seng dalam olah seni Sunda sudah banyak mendapat pengakuan masyarakat di dalam dan luar negeri. Tahun 1990-an khalayak China dan Jepang pernah menyaksikan Tan Deseng dan beberapa anggota keluarganya memainkan seni tradisional Sunda.

Disebutkan pula bahwa Tan Deseng menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh kesenian Sunda lainnya yang memperluas wawasan dan pengetahuannya tentang seluk beluk seni tradisi Sunda umumnya. Tan Deseng sempat bermain dan memproduksi album rekaman dengan pesinden lagu-lagu Sunda yang termasyhur pada zamannya, seperti Titin Fatimah, Upit Sarimanah, dan Tati Saleh.

Peran Tan De Seng pada pelestarian seni Sunda mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah Jawa Barat tahun 2004. Tahun 2008 mendapat penghargaan dari pemerintah, hingga di panggil Presiden Soesilo Bambang Yudoyono ke Istana Negara. Sebagai Maestro seni budaya yang melestarikan seni tradisi dari Jawa Barat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//