• Cerita
  • ORANG BANDUNG TERDAHULU #1: Iwa Koesoemasoemantri dan Unpad

ORANG BANDUNG TERDAHULU #1: Iwa Koesoemasoemantri dan Unpad

Penggalan hidup Iwa Koesoemasoemantri penuh dengan dinamika. Pada zaman Belanda ia dituduh revolusioner, pada zaman merdeka dituding komunis.

Iwa Koesoemasoemantri memiliki perhatian besar terhadap pendidikan. Ketika menjadi Menteri Pertahanan, ia memprioritaskan pendidikan bagi tentara. (Sumber Foto: p2k.unkris.ac.id)

Penulis Iman Herdiana13 September 2022


BandungBergerak.idKampus Universitas Padjadjaran (Unpad) telah 65 tahun, 11 September kemarin. Berbicara tentang Unpad tidak lengkap rasanya tanpa menyinggung peran Iwa Koesoemasoemantri, rektor pertama Unpad. Prof Iwa, demikian beberapa orang biasa menyapanya, memiliki rekam jejak yang panjang. Berdirinya kampus Unpad hanya satu penggal dari kisah hidupnya.

Penggalan-penggalan lain dalam hidup Iwa Koesoemasoemantri membentang sejak masa sebelum republik berdiri, zaman Belanda, masa Jepang, hingga kumandang kemerdekaan. Pada masa Belanda ia ditangkap atas tudingan gerakan revolusioner, namun di masa kemerdekaan ia dituding komunis

Iwa Koesoemasoemantri lahir hari Rabu, 30 Mei 1899 di Ciamis, Jawa Barat. Putra sulung keluarga Raden Wiramantri, ini menamatkan Setamat sekolah khusus bumiputra di Ciamis, melanjutkan pendidikan ke Hollandsch Inlandsche School (HIS), kemudian dilanjutkan ke Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung. Di OSVIA Bandung, pendidikannya tidak tamat. Ia memilih masuk ke Sekolah Menengah Hukum (Recht School) di Batavia [Nina Herlina, Meneladani Perjuangan Iwa Kusuma Sumantri (1899-1971), Dipresentasikan dalam acara Seminar 110 Tahun Kebangkitan Nasional pada 8 Mei 2018 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta].

Menurut Nina Herlina, Guru Besar Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Unpad, langkah-langkah Iwa tidak lepas dari dunia pergerakan, di samping tetap mendalami ilmu hukum dan pendidikan. Ia menyelesaikan pendidikan hukum pada 1921, lalu pernah bekerja di sejumlah kantor hukum. 

Salah satu kasus hukum yang mempengaruhi jalan hidup Iwa adalah pengadilan H.O.S. Tjokroaminoto, Ketua Umum Sarekat Islam, di Pengadilan Negeri Jakarta. Kasus-kasus tersebut menginspirasinya untuk sekolah lagi ke Belanda.

Iwa menolak beasiswa dari pemerintah Belanda. Ia sekolah dengan biaya sendiri hingga berhasil meraih gelar master dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, pada 1925.

Selama kuliah di Leiden,  Iwa Koesoemasoemantri aktif di dunia pergerakan nasional melalui organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Laman cagarbudaya.kemdikbud.go.id mencatat, di Belanda, Iwa bergabung dengan Serikat Indonesia (Indonesische Vereeniging), sebuah kelompok nasionalis para intelektual Indonesia.

Iwa menekankan bahwa Indonesia harus bekerja sama, terlepas dari ras, keyakinan, atau kelas sosial, untuk memastikan kemerdekaan dari Belanda; ia menyerukan tentang non-kerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial,” [cagarbudaya.kemdikbud.go.id, diakses Senin (12/9/2022)].

Iwa mengusulkan agar Indonesische Vereeniging diubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Dari Belanda, Iwa ditugaskan oleh PI pergi bersama Semaun ke Moskow, Uni Soviet. Di sana, ia sempat belajar selama setengah tahun dan menikah dengan seorang wanita Ukraina bernama Anna Ivanova; keduanya memiliki seorang putri, bernama Sumira Dingli [cagarbudaya.kemdikbud.go.id, diakses Senin (12/9/2022)].

Menurut Nina Herlina, pascapemberontakan PKI pada 1926-1927, Iwa Kusuma Sumantri kembali ke tanah air dan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Sukarno. Selama berkarier di politik, ia tidak melepas kerjanya di bidang hukum.

Dari Medan ke Penjara, Difitnah Melakukan Kudeta

Iwa memutuskan pindah ke Medan dan membuka kantor pengacara di sana. Klien-kliennya terutama para buruh perkebunan di Deli yang terkena poenale sanctie (hukuman yang dijatuhkan kepada para buruh yang dianggap melanggar kontrak kerja).

Di Medan, kata Nina, Iwa menikah dengan Kuraesin Argawi-nata. Mereka dikaruniai enam anak. Di luar urusan keluarga, Iwa memimpin surat kabar Mata Hari Indonesia dan menayangkan tulisan-tulisannya yang mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tak hanya itu, Iwa menjadi Penasihat Persatuan Sopir dan Pekerja Bengkel (Persatuan Motoris Indonesia) dan Ketua Perkumpulan Pekerja (ORBLOM).  

Pandangan-pandangan politik  Iwa Koesoemasoemantri yang progresif revolusioner dianggap membahayakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada Juli 1929, Nina Herlina mencatat, Iwa ditangkap dan disekap dalam penjara di Medan selama satu tahun, kemudian dipindahkan ke penjara Glodok dan penjara Struis-Wyck di Batavia (Jakarta). Setelah itu Iwa dibuang bersama keluarga ke Banda Neira, Maluku.

Di pengasingan ia bertemu Dr. Cipto Mangunkusumo yang lebih dulu dibuang. Menyusul pula tokoh pergerakan nasional lainnya, yaitu Moh. Hatta dan Sutan Syahrir. Pada 1941 dengan status sebagai tahanan politik, Iwa dipindahkan ke Makasar.

Di masa pemerintahan Jepang, 8 Februari 1943, Iwa kembali ke Jawa, ke kampung halamannya di Ciamis, lalu ke Bandung untuk kemudian bekerja sebagai advokat bersama A. A. Maramis di Jakarta dan membantu Kantor Riset Kaigun Cabang Jakarta yang dipegang Ahmad Subarjo, temannya sewaktu studi di Belanda. 

Nina Herlina mencatat pergerakan Iwa semakin dinamis di masa kemerdekaan, 17 Agustus 1945.  Iwa Koesoemasoemantri diangkat menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan pada Kabinet RI pertama yang dipimpin oleh Sukarno. Aktivitasnya berpolitik tetap aktif, juga turut perang mempertahankan kemerdekaan bersama-sama dengan para pemuda. 

Pada masa perjuangan itulah, tulis Nina,  Iwa Koesoemasoemantri difitnah terlibat dalam “Peristiwa 3 Juli 1946”. Ia dituduh akan menggulingkan pemerintahan yang sah bersama Tan Malaka dan teman-teman lainnya yang tergolong revolusioner.

Iwa ditangkap oleh Pemerintah Sutan Sjahrir dan dipenjarakan selama satu setengah tahun di Jawa Timur, Yogyakarta dan Magelang. Pada 3 Juli 1947, Kabinet Sjahrir jatuh dan digantikan oleh Kabinet Amir Syarifudin.  Iwa Koesoemasoemantri dibebaskan dari penjara. Iwa dan kawan-kawan mendapatkan grasi dari Sukarno, walaupun mereka tidak memintanya.

Ini membuktikan bahwa pemerintah telah menyadari ada pihak yang telah mengambil keputusan yang keliru. Artinya, Iwa Kusuma Sumantri tidak bersalah, ia telah menjadi korban fitnah politik. Hal ini bisa saja terjadi dalam pergolakan politik di republik yang masih sangat muda itu,” terang Nina Herlina

Sewaktu Belanda melancarkan agresi militer 19 Desember 1948 dan menduduki kota Yogyakarta,  Iwa Koesoemasoemantri juga ikut ditangkap bersama-sama dengan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Setelah perjanjian Roem-Royen ditandatangani, maka pemimpin Indonesia yang ditahan oleh Belanda dilepaskan kembali, termasuk Iwa Koesoemasoemantri.

Iwa Koesoemasoemantri diangkat menjadi menteri pertahanan pada masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Menurut Nina, kursi jabatan ini sebelumnya sempat ditawarkan kepada beberapa orang, tetapi mereka menolak karena tidak berani dan kurang merasa tenteram menghadapi Angkatan Darat yang saat itu dalam keadaan tidak stabil.

Nina mencatat banyak terobosan yang dibangun Iwa selama menjadi menteri pertahanan, antara lain memperhatikan pendidikan di kalangan TNI, termasuk mengusulkan agar perwira-perwira TNI diberi pendidikan di luar negeri.

Pada masa menjadi menteri pertahanan inilah, menurut Nina, ada suatu peristiwa yang menyebabkan ia dituduh berpaham komunis. Ini diawali ketika Iwa hendak menghapus salah satu jabatan di tubuh TNI AD. Masyarakat waktu itu memang sangat sensitif dengan isu komunis, sejak terjadinya peristiwa Madiun. Kembali orang mengingat bahwa  Iwa Koesoemasoemantri pernah hidup lama di negeri komunis, Rusia. Padahal waktu itu, Iwa datang ke Rusia sebagai utusan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.

Pemikiran revolusioner yang ada pada diri Iwa, kata Nina, bukan hanya milik komunis, tetapi juga merupakan jiwa perjuangan rakyat yang ingin bebas dari penderitaan penjajahan. Sehingga tuduhan komunis karena Iwa revolusioner tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kalaupun ia tercatat sebagai anggota kehormatan Partai Murba, ini tidak berarti bahwa ia menganut murbaisme ataupun faham komunis,” tulis Nina Herlina.

Pembelaan datang dari Presiden Sukarno yang mengenal Iwa Koesoemasoemantri. Presiden mengadakan rapat di Istana Negara dan meyakinkan hadirin bahwa Iwa Koesoemasoemantri adalah pejuang nasionalis revolusioner, bukan komunis.

Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya pada 1955, Iwa Koesoemasoemantri tidak aktif lagi dalam bidang pemerintahan dan politik. Ia kembali ke daerah asalnya dan ikut aktif pada Badan Musyawarah Sunda.

Namun menurut Nina, Iwa kembali menjadi sasaran fitnah menentang kebijakan pemerintah Presiden Sukarno. Ia pernah ditangkap di Malang, tetapi karena terbukti tidak bersalah maka  Iwa Koesoemasoemantri dibebaskan kembali. Bahkan pemerintah memanggilnya ke Jakarta untuk menjadi anggota Dewan Nasional yang baru dibentuk Presiden Sukarno.  

Baca Juga: Berbincang Sejarah Orang-orang Kiri di Bandung Era 1920-an
Ketika Harry Roesli Membakar Motor Yamaha 100 LS, Garut 1974
BUKU BANDUNG (28): Terusir, Kisah Orang-orang Tergusur di Kota Bandung

Rektor Pertama Unpad

Pada tahun 1958,  Iwa Koesoemasoemantri diangkat menjadi Rektor (Presiden) Pertama Universitas Padjadjaran di Bandung. Sebagaimana gayanya yang revolusioner, selama menjadi rektor (1958-1961) banyak perubahan diadakan, di antaranya, mengganti sistem perpeloncoan dengan dengan masa perkenalan biasa sesuai dengan alam kemerdekaan, mengusulkan diadakannya Undang-Undang Perguruan Tinggi untuk memperbaiki mutu pendidikan.

Menurut Ganjar Kurnia, mantan rektor Unpad, pendirian Unpad tidak lepas dari peran Iwa melalui Badan Musyawarah Sunda yang dipimpinnya. Pada 1956, Badan Musyawarah Sunda mendesak dibangunnya suatu universitas di wilayah Jawa Barat. Keinginan itu disampaikan dalam Kongres Pemuda Sunda.

“Jadi gagasan-gagasan Prof. Iwa, pada akhirnya juga beliau yang menjadi rektor pertama di Unpad. Sekarang namanya diabadikan menjadi nama kampus di Jalan Dipatiukur,” terang Ganjar, dikutip dari laman Unpad.

Tanggal 11 September 1957, Universitas Padjadjaran lahir. Menurut Ganjar Kurnia, pada awal berdiri Unpad hanya ada empat fakultas, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Fakultas Keguruandan Ilmu Pendidikan (FKIP, penjelmaan dari PTPG di Bandung), dan Fakultas Kedokteran.

Nama ‘Padjadjaran’ diambil dari nama Kerajaan Sunda, yaitu Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi atau Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja di Pakuan Padjadjaran (1473 hingga 1513M).

Menteri Perguruan Tinggi

Dalam catatan Nina Herlina, tahun 1961 Iwa diangkat sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Selama menjadi menteri PTIP, ia melakukan peremajaan di kalangan tenaga pengajar, karena pada waktu itu masih banyak rektor dan dosen yang terlalu tua.

Iwa juga melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa tenaga pengajar yang masih berjiwa Belanda yang tidak sesuai dengan alam kemerdekaan. Langkah ini membuat Presiden Sukarno menggesernya menjadi Menteri Negara (1962-1966). 

Sejak 1966,  Iwa Koesoemasoemantri pensiun dari semua jabatan pemerintahan dan aktif menulis sampai akhir hayatnya. Karya-karya yang dipublikasikan berjumlah sembilan buah, antara lain Ilmu Hukum Keadilan, Revolusinalisasi Hukum Indonesia, Sejarah Revolusi Indonesia (Jilid I-III), dan Pemberontakan 30 September.

Dalam kesibukannya menulis, penyakit jantung yang dideritanya kambuh, mengakibatkan pada September 1971, ia dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Setelah beberapa waktu dirawat, pada 27 September 1971 pukul 21.07,  Iwa Koesoemasoemantri wafat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//