• Cerita
  • ORANG BANDUNG TERDAHULU #3: Ahmad Taufik “Ate”, Sekali Lagi

ORANG BANDUNG TERDAHULU #3: Ahmad Taufik “Ate”, Sekali Lagi

Di Jalan Morse 12, Bandung, Ahmad Taufik (Ate) dan rekannya menerbitkan Majalah Independen sebagai upaya melawan kediktatoran rezim Suharto.

Jurnalis Ahmad Taufik (kiri), lahir 12 Juli 1965 dan meninggal 23 Maret 2017. (Sumber Foto: Repro dari Peringatan Wafatnya Ahmad Taufik di Kaka Kafe, Bandung, 26 Maret 2022)

Penulis Delpedro Marhaen14 Oktober 2022


BandungBergerak.idDi mana ada ketidakadilan, di situ ada Ahmad Taufik. Begitulah orang banyak mengenal sosok jurnalis sekaligus aktivis perawakan Arab yang akrab disapa “Ate” ini. Ate memilih jalan melawan segala ketidakadilan melalui tulisan-tulisan tajamnya, bahkan hingga tutup usia pada 23 Maret 2017.

Di pertengahan bulan Maret lalu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim menceritakan kenangannya bersama Ate. Sasmito mengenal jurnalis kelahiran 12 Juli 1965 itu sebagai sosok sederhana dan tidak mau ambil pusing, bahkan untuk urusan tidur sekalipun. Kesibukan Ate yang banyak bertemu dan mengurusi orang hingga jarang pulang ke rumah membuatnya kerap tidur di mana saja, di tempat yang bahkan jauh dari kata nyaman.

Ate memang dikenal sederhana. Ia gemar menggunakan kendaraan umum dan berjalan kaki. Ia biasa berjalan kaki dari sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, dan ke Kafe Kaka, tempat yang selalu ia kunjungi untuk membuka laptop pada paruh terakhir hidupnya.

A Fauzi Yahya, teman Ate yang bekerja sebagai dokter spesialis jantung di RS Borromeus, Bandung, pernah diajak Ate berjalan kaki ke Gunung Tangkubanparahu. Perjalanan ini benar-benar dilakukan dengan jalan kaki, tanpa mengeluh.

Sasmito sendiri mengenal Ate sejak duduk di bangku kuliah ketika ia sedang membuat skripsi tentang AJI. Sasmito banyak berdiskusi dengan Ate untuk keperluan informasi seputar skripsinya. Sebagai jurnalis senior dan pendiri AJI, Ate dikenal ramah dan dekat dengan para jurnalis muda pada saat itu. Ate juga kerap ditemui Sasmito dalam beberapa kesempatan unjuk rasa.

Semasa menjalani kehidupan di Bandung, Ate aktif memperjuangkan berbagai hak kaum miskin yang tertindas. Sejak masih kuliah, ia sudah aktif di organisasi kemahasiswaan hingga menjadi ketua senat fakultas hukum Universitas Islam Bandung. Ate juga aktif di berbagai kelompok perjuangan rakyat, seperti Komite Solidaritas untuk Rakyat Badega dan Komite Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia di Bandung.

Karier di bidang jurnalistiknya dimulai sebagai pers mahasiswa. Ia mulai menulis berbagai artikel untuk surat kabar, tabloid, dan majalah pada 1985. Lalu melanjutkan karier jurnalistik di Majalah Bulanan Generasi Muda Islam, Estafet. Di saat yang sama ia juga bekerja pada Majalah Berita Islam Dua Mingguan Kiblat dan tabloid Mingguan Eksponen (1986-1989). Kemudian ia bekerja untuk Majalah Berita Mingguan Tempo (1989-1994).

Dua hal yang lekat dengan Ate; semangat independen dan kepeduliannya terhadap kaum yang terpinggirkan.

Mendirikan Aliansi Jurnalis Independen 

Pada 21 Juni 1994, rezim Suharto membredel sejumlah media massa yang dianggap mengancam karena pemberitaannya yang kritis terhadap penguasa. Tindakan sewenang-wenang itu sontak memicu solidaritas dan perlawanan dari para wartawan di sejumlah kota. Mereka kemudian berkumpul mendeklarasikan menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.

Kelahiran AJI dimotori oleh sejumlah aktivis Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI). Sebagai wartawan Tempo biro Bandung, Ate sangat lekat dengan terbitan majalah FOWI, serta turut andil dalam pendirian AJI. Ate terpilih menjadi presidium AJI pertama untuk tahun 1994-1995.

Di Jalan Morse 12, Bandung, Ate dan rekan-rekannya menerbitkan sebuah majalah alternatif berjudul “Independent” sebagai upaya melawan kediktatoran rezim Suharto. Keberanian itu menuntut biaya mahal. Pada Maret 1995, bersama dua rekannya,

Eko Maryadi alias Item, dan Danang Kukuh Wardoyo, Ate dijebloskan ke penjara karena menerbitkan majalah tanpa memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari pemerintahan Suharto. Sejak itu AJI dicap sebagai organisasi terlarang.

Aktivis AJI lainnya yang bekerja di media pun dibatasi ruang geraknya. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak memberikan pembelaan apa pun, maklum saja organisasi profesi wartawan tersebut memiliki kedekatan dengan rezim Suharto. Bahkan mereka bersama Pejabat Departemen Penerangan tidak segan-segan menekan para pemimpin redaksi agar tidak mempekerjakan aktivis AJI di medianya.

Bersamaan dengan ketidakberpihakan PWI itu, Ate menarik garis. Ia tidak mengakui Hari Pers Nasional 1993 yang jatuh pada tanggal 9 Februari, tepat pada hari lahirnya PWI. Ate kemudian menggagas ditetapkanya hari pers pada 23 September, bertepatan dengan lahirnya Undang-Undang Pers yang berpihak pada kebebasan berekspresi.

Peran Ate begitu luar biasa bagi kemerdekaan pers di Indonesia. Ia tidak hanya melawan pengekangan yang dilakukan rezim Orde Baru, tetapi juga turut memperhatikan nasib dan kesejahteraan para wartawan, termasuk para kontributor. Ate juga sangat dekat dengan pers mahasiswa, kedekatanya terlihat ketika Ate banyak diminta untuk mengajar soal jurnalistik untuk para mahasiswa.

Dari Penjara ke Penjara

Ate berulang kali berurusan dengan hukum, selain karena ia seorang pengacara, juga karena tulisannya yang kerap membuat siapa pun yang kepentingannya terganggu akan gusar. Dari Suharto hingga Tomy Winata adalah orang yang merasakan ketajaman dan kejujuran tulisan Ate. Kendati demikian, Ate tetap bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya ini adalah bentuk keberpihakan kepada publik, ia berkata: “Memberitakan informasi apa adanya adalah kewajiban saya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi itu.”

Ate dipenjara sebanyak dua kali. Pertama, pada rezim Orde Baru Suharto karena aktivitas pers dan politiknya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukumnya 2 tahun 8 bulan penjara. Ate dianggap menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada pemerintahan Orde Baru.

Kedua, Ate dilaporkan oleh pengusaha Tomy Winata dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menduga adanya keterlibatan Tomy Winata dalam kebakaran di Pasar Tekstil Tanah Abang, Jakarta, dalam majalah Tempo dengan tajuk “Ada Tomy di Tenabang”. Tomy yang geram lantaran disebut sebagai sosok pemulung besar di balik peristiwa kebakaran tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus Ate bersalah dan harus membayar ganti rugi immateriil sebesar Rp 500 juta.

Ate melawan tuduhan itu. Ia mengatakan pemberitaan di majalah Tempo tersebut ditujukan untuk kepentingan publik, agar tidak ada pedagang yang dirugikan lagi akibat kebakaran yang terjadi. Sebab pembangunan kembali sebuah pasar yang terbakar, berdasarkan pengalaman para pedagang, tak berpihak pada mereka tetapi berpihak kepada pemilik modal dan uang.

Hari-hari Ate di dalam penjara dilalui dengan menulis. Jejak kehidupan Ate semasa di balik teralis besi dituangkan dalam catatan hariannya yang dituliskan di atas lembar kayu. Dalam penggalan catatan harianya, Ate berkata:  “Lho.. apa masih ada kemanusiaan di negeri ini? Kemanusiaan adalah kata yang menjadi hiasan yang dirapal saat upacara saja kan? Omong kosong, Memang omong kosong.”

Ate juga menyelesaikan satu naskah buku berjudul “Bisnis Seks di Balik Jeruji” ketika dipenjara di Lapas Cipinang. Ate membongkar boroknya dunia bisnis gelap di penjara, ia melihat banyaknya kezaliman di dalam penjara. Dalam tulisanya, Ate menggugat: “Penjara bukan lagi hotel prodeo, tapi menjadi lahan bisnis. Segala taktik licik pun dipraktikkan dalam setiap proses hukum, mulai dari penangkapan, penempatan dalam ruang tahanan sampai pembebasan.”

Baca Juga: ORANG BANDUNG TERDAHULU #1: Iwa Koesoemasoemantri dan Unpad
ORANG BANDUNG TERDAHULU #2: Mukti Mukti dan Tema-tema Orang Pinggiran

Ate dan Lingkungan

Pergaulan Ate yang luas dan lintas generasi membuatnya dikenal dekat oleh kalangan aktivis lingkungan hidup seperti Walhi Jabar. Pada acara Memperingati Haul Pertama Ahmad Taufik (Jurnalis & Advokat) di Kafe Kaka, Bandung, 15 April 2018, Direktur Walhi Jabar Dadan Ramdan mengatakan Ate sebagai pejuang lingkungan.

“Tahun 2005 waktu ke Walhi dan saya masih relawan, Ate mendukung gerakan Kawasan Bandung Utara. Saya ngobrol dan menimba pengalaman. Apa yang saya lakukan hari ini tak lepas dari pengalaman beliau yang disampaikan kepada saya waktu itu,” ujar Dadan.

Kawasan Bandung Utara sejak dulu dikhawatirkan menjadi sumber bencana khususnya bagi Kota Bandung. Kini kekhawatiran itu terbukti seiring gencarnya pembangunan di sana. Banjir Pagarsih yang menghanyutkan mobil dan banjir lumpur di kawasan Cicaheum diduga kuat akibat gundulnya Bandung utara.

Aktivitas Ate lainnya di bidang lingkungan, kata Dadan, terjadi dalam gerakan mempertahankan Babakan Siliwangi Bandung sebagai hutan kota pada 2012. Saat itu, Ate menjadi salah satu yang terdepan mendukung satu-satunya hutan kota yang tersisa di Bandung dan terancam komersialisasi. Namun Ate tidak mau menonjolkan perannya.

“AT menyarankan kepada saya untuk melakukan upaya membangun gerakan warganya. Jadi bukan Walhi-nya yang muncul, tapi warganya,” tutur Dadan.

Mimpi Yayasan Ate

Peraih Mochtar Lubis Award 2011 ini telah banyak mengajarkan kita soal “berjihad” dengan pena dan membela siapa pun mereka yang rentan serta terpinggirkan. Penting untuk mengetahui dan memperdalam kembali warisan yang telah ditinggalkan oleh Ate agar tidak terhapus oleh zaman. Putra Bungsu Ate, Khatami Aji mengungkapkan mimpi besarnya untuk mendirikan sebuah Yayasan Ahmad Taufik.

“Aji baru tahu siapa Ahmad Taufik itu ketika setelah meninggal. Jadi penting dan perlu untuk mengetahui dan mengenal Ahmad Taufik lebih dalam untuk membagi kepada khalayak umum,” ungkap Aji pada pertengahan tahun 2022.

Aji berharap agar nantinya ada tempat bagi siapa pun yang ingin melihat napak tilas Ate bagi kemerdekaan pers dan keberpihakannya pada mereka yang tertindas. Tempat ini nantinya jadi makna bagi anak muda dan mahasiswa untuk belajar dan mencari ilmu. Tempat mengenal Ahmad Taufik sebagai jurnalis hingga menuju kemerdekaan pers yang hakiki.

“Ahmad Taufik milik mereka semua yang rentan,” ujarnya.

Ate memang sudah tidak ada. Selepas ini hanya ada orang-orang yang mengabadikan sekaligus memaknai nilai dan perjuangannya; untuk melawan halimun yang hendak mencekik kebebasan pers serta segala penindasan dan kezaliman, dengan seberani-beraninya, sehebat-hebatnya. Ahmad “Ate” Taufik, sekali lagi!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//