ORANG BANDUNG TERDAHULU #2: Mukti Mukti dan Tema-tema Orang Pinggiran
Mukti Mukti meninggal Senin, 15 Agustus 2022 lalu. Namun syair lagunya masih akan terus bersuara melalui jejak-jejak digital.
Penulis Iman Herdiana30 September 2022
BandungBergerak.id - Setahun setelah reformasi, situasi sosial politik di Indonesia sedang panas-panasnya. Mukti Mukti tampil di Aula Fakultas Sastra Unpad, Bandung, dengan gitarnya membawakan lagu soal jus alpukat. Pada kesempatan berbeda, ia getol membicarakan tanah dan nasib petani. Tema-tema ini juga banyak ditemukan pada syair-syair lagunya.
Mukti Mukti meninggal Senin, 15 Agustus 2022 lalu. Namun syair lagunya masih akan bisa ditemui pada jejak-jejak digital. Mukti masih akan terus menyuarakan masalah tanah untuk petani. Baginya, petani tanpa tanah ibarat gitaris kehilangan gitarnya.
Mukti adalah musikus sekaligus aktivis yang sadar bahwa petani, rakyat kecil, orang pinggiran harus dibela. Mukti juga dikenal sebagai seorang teman yang bersahaja, ceria, dan penuh humor.
Kesan itulah yang dialami Reita Ariyanti, pemilik penerbit buku SvaTantra. Rere, demikian ia biasa disapa, mengenal Mukti Mukti sejak masih kuliah ketika penyanyi balada itu melantunkan lagu jus alpukat pada tahun 1999 itu.
“Siapa sih orang ini? Nyanyi kok sembarangan gitu, tapi enakeun juga,” kenang perempuan yang akrab disapa Rere, mengenang awal mengenal Mukti, saat dihubungi BandungBergerak.id, Rabu (28/9/2022).
Mukti Mukti kuliah di Fakultas Sastra Unpad dalam kurun waktu 1980-an. Adanya jarak yang cukup panjang antara pertama kali Rere melihatnya bernyanyi menandakan pergaulan Mukti yang luas dengan segala angkatan.
Mukti merupakan teman satu angkatan Hawe Setiawan yang kuliah di Unpad tahun 1986-an. Hawe menamatkan kuliahnya selama 8 tahun di Fikom Unpad. Sementara Mukti di Fakultas Sastra. Tapi Hawe dan Mukti sama-sama aktif di Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF), Unpad.
Mukti dan teman-temannya biasa bercengkerama atau bermain gitar di halaman Fakultas Sastra Unpad tak jauh dari GSSTF. Saat bernyanyi dengan gitarnya, Mukti selalu menghadap ke ruang terbuka.
“Saya ikut menikmatinya dari kejauhan, di sekitar GSSTF,” cerita Hawe Setiawan yang kini dosen sastra di Fakultas Sastra Unpas, Bandung.
Rere juga mengenal Mukti melalui teman-temannya yang lebih dulu aktif di GSSTF. Suatu waktu ia bersama teman-temannya harus mencari data ke Badega di suatu desa. Mukti menyertai mereka.
“Di perjalanan saya duduk bersebelahan dengan Mukti, dan dia mulai membicarakan permasalahan tanah, petani, dan negara. Cukup mengagetkan bagi saya, karena apalah saya ini, dari mulai berusaha memahami omongannya pun sudah ga mampu,” cerita Rere.
Perjalanan sampai di Badega. Mukti mulai berteriak-teriak memanggil nama orang-orang, padahal desa pun belum terlihat. Tingkah Mukti membuat teman-temannya tertawa. Mereka menduga Mukti sedang lapar.
Tetapi di desa tersebut Mukti membuka mata dan telinga Rere bahwa ada hal-hal yang selama ini belum ia ketahui. Warga bernama Suhdin, temannya Mukti, bercerita pada masa Orde Baru ia disiksa dalam tahanan, disundut rokok di perut, di lengan, dipukuli.
Kekerasan harus diterima Suhdin karena ia berusaha mempertahankan tanah garapannya, hidupnya. Pada masa Orde Baru banyak petani yang hidup menderita demi tanah garapannya.
“Perjalanan yang lumayan bikin shock. Dan saya sadar, Mukti tidak seperti kebanyakan orang lain pada umumnya, dan saya senang sekali berkesempatan kenal dengan dia,” cerita Rere.
Bagi Rere, Mukti seperti kakak sendiri. Kakak yang bandel, keras kepala, tapi penuh sayang, dan ngangenin.
“Dia itu teman bertengkar, orang yang bisa saya tanyai segala hal, yang bisa saya mintai pendapatnya. Karena dia punya sudut pandang yang kerap lain, dan saya sering kali sih setuju dengan pandangan dia. Walau saya suka gengsi mengakui,” cerita Rere seraya tertawa.
Tahun 2009 Rere bekerja di sebuah penerbitan di Jakarta. Mukti mengontaknya bahwa dia akan ke Matraman untuk sebuah peluncuran buku. Mukti meminta Rere datang. Rere pun meminta izin ke atasan untuk menghadiri acara tersebut.
Pada kesempatan lain, Mukti meminta Rere menemaninya untuk tampil di Goethe Haus. Sejak itu Rere sering menyertai penampilan Mukti. Kepada orang-orang, Mukti berkata bahwa Rere adalah manajernya.
“Karena dia mah ga bisa dicegah, dan saya anaknya nurut aja. Ya sudahlah, saya managernya pun tersebar ke mana-mana. Padahal, kalau dipikir-pikir, saya yang diurus sama dia sebenarnya,” lanjut Rere.
Menitip Mati
Hawe Setiawan mengenal Mukti sebagai sosok yang konsisten di jalurnya: musik dan aktivisme. Aktivitas Mukti di bidang seni musik sama giatnya dengan kegiatan dia di pergerakan mahasiswa dan pemuda Bandung.
Semua itu tercermin dari lagu-lagu ciptaannya dan kemudian dinyanyikannya. Hawe paling terkesan dengan lagu Menitip Mati. Lagu ini semakin terngiang-ngiang di saat pelantunnya telah pergi.
“Kita yang masih bertahan, berdiri menatap matahari menitip mati, melumat sepi, esok hari revolusi,” demikian lirik Menitip Mati dari Mukti Mukti, Hawe menghafalnya di luar kepala.
Melalui aktivisme dan lagu-lagu baladanya, Mukti Mukti menyuarakan banyak hal tentang kemanusiaan, petani yang kehilangan tanah, nelayan tidak melaut, penderitaan nelayan, ketimpangan sosial, penyerobotan tanah, kedaulatan petani, kedaulatan orang terhadap tanahnya, rakusnya kekuasaan, lingkungan atau alam.
Mukti Mukti juga menggarap lagu-lagu patriotisme, misalnya pada lagu untuk Nelson Mandela, revolusioner antirasisme Afrika Selatan. Ada juga syair yang bersifat personal seperti Maisaroh, kemudian lagu yang sangat lokal tentang kehidupan di Bandung atau tatar Sunda sebagaimana tercermin pada lagu Cijerah yang syairnya dibikin penyair Matdon.
Soal kedaulatan tanah bagi petani telah dilantunkan Mukti selagi ia masih aktif di kampusnya tahun 80-an. Menurut Hawe Setiawan, Mukti bersama teman-temannya telah lebih dulu menyuarakan pentingnya reforma agraria jauh sebelum pemilik kebijakan politik hari ini menyadari pentingnya reforma agraria di bidang pertanahan.
Lirik-lirik yang dilantunkan Mukti Mukti umumnya mengandung nilai sastra yang kuat. Ini tidak lepas dari latar belakang pendidikan Mukti dan pergaulannya yang luas. Beberapa lagunya, misalnya, hasil kolaborasi dengan dosen hukum penggemar seni, Miranda Risang Ayu. Banyak penulis atau seniman yang karyanya dimusikalisasi oleh Mukti.
Belakangan, Mukti menggubah sejumlah lagu dari berapa sajak Ajip Rosidi dengan iringan piano. Alat musik ini dipilih karena Mukti sadar kondisi fisiknya tidak lagi memungkinkan untuk bernyanyi sambil memainkan gitar. Piano membuatnya bisa duduk, iringan gitar ia serahkan pada Mufid Sururi dan Trisno Yuwono sebagai rekan kolaborasinya.
Luasnya pergaulan Mukti terlihat saat ia wafat. Hadirin yang melayat ke rumah duka di Jalan Batu Permata I No.11D, Margacinta, Bandung, maupun saat mengantar ke permakaman di Sumedang, sangat beragam; mulai aktivis, sastrawan, penulis, seniman, jurnalis. Mereka mengantar pria bernama asli Hidayat Mukti bin Kayat Suseta kelahiran Bandung, 15 Oktober 1968.
“Dari situ saja kelihatan betapa luasnya jejaring silaturahmi mukti. Itu terlihat juga di karyanya,” kata Hawe.
Baca Juga: ORANG BANDUNG TERDAHULU #1: Iwa Koesoemasoemantri dan Unpad
Lirik Lagu Malaria Harry Roesli, Musik Protes yang masih Relevan
Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata
View this post on Instagram
Konsisten Menyuarakan Orang Pinggiran
Gaya bermusik Mukti menjadi acuan bagi musikus Bandung lainnya, salah satunya Adew Habtsa. Sama seperti Mukti, Adew juga menggeluti musik balada dengan gitarnya. Bagi Adew, Mukti adalah seniman balada yang secara tidak langsung memantiknya untuk tampil berani.
Adew banyak belajar dari aksi panggung Mukti Mukti. Di atas panggung, Mukti Mukti berani menyuarakan kerisauannya. Satu pengalaman paling berkesan yang dialami Adew ketika Mukti pernah meminjamkan gitarnya. Jika cocok, Adew boleh membeli gitar tersebut.
Ada kebersahajaan yang kuat pada diri Mukti. Awalnya Adew mengira seorang musikus adalah artis yang punya massa dan penggemarnya yang militan, dengan pergaulan yang meluas. Namun Mukti justru menunjukkan hal sebaliknya.
“Begitu membumi, mengajak saya untuk menggarap sebuah lagu, merekamnya, di tempat beliau biasanya beraktivitas. Sungguh satu pengalaman berharga, hingga bisa satu rekaman bareng,” kata Adew.
Dari pengamatannya terhadap Mukti, Adew mengatakan bahwa menjadi musikus tidak harus tampil berkelompok, tidak juga harus disokong kualitas sound system yang dahsyat beserta tata panggung yang wah dan kerumunan yang ingar-bingar.
“Setelah melihat penampilan beliau, sudut pandang baru tercipta yakni setiap tempat bisa menjadi panggung, apa pun situasi, dan kondisinya. Sebab saya merasakan bahwa memang beliau tidak melulu sedang berindah-indah dengan nyanyian, tapi benar-benar hendak menyampaikan kegelisahannya, gugatannya, pembelaannya, tak terkecuali didasari cinta pada alam, sesama dan rakyat segala kalangan, segala peran sosial,” ungkap Adew.
Bagi Adew, Mukti merupakan musikus balada yang kecintaannya pada kemanusiaan begitu besar. Sikap ini terpancar dari gerak dan lantunan nada yang kerap ia bawakan. Mukti mengajarkan bahwa pemusik balada adalah orang yang mesti banyak mengenal masyarakat dengan segala persoalannya, bukan malah ingin masyarakat yang ramai-ramai mengenalnya.
“Jadi dari almarhum Mukti-Mukti, saya peroleh; berbuat saja dulu untuk kebaikan masyarakat sesuai dengan apa yang kita bisa, lalu setelah itu bernyanyilah, sebagai doa syukur tak terhingga,” ucap Adew.
Hal serupa disampaikan Hawe Setiawan. Antara kurun 80-an sampai 2022 Mukti konsisten dengan musik baladanya. Dia bermusik bukan untuk industri, melainkan sebagai ekspresi hidupnya.
Mukti memilih bermusik dengan cara berjalan di pinggiran, malipir. Mukti bukan tipe musikus yang masuk ke gelanggan entertainment. “Mukti bukan tipe itu. Dia seorang musisi yang sanggup menyusuri jalan di pinggir, menyatu dengan masyarkaat,” kata Hawe.
Mukti bisa saja memilih jalan gemerlap sebagai seorang artis. Dia memiliki kemampuan untuk itu. Namun Hawe melihat jalan pinggiran yang dipilih Mukti terkait dengan pandangan hidup dan pendirian politiknya. Jalan ini ia tempuh sejak dulu dan tak pernah dia tinggalkan.
“Kita justru kehilangan ketika setelah dia pergi, kita kehilangan figur seniman yang sanggup menempuh jalan sunyi, bukan jalan yang bertabur gemerlap, kita makin kehilangan sosok seniman seperti itu,” katanya.
Suatu waktu, Mukti pernah mengunjungi Hawe di tempat penerbitan Majalah Cupumanik di Jalan Kliningan. Mukti datang menenteng gitar, mengenakan kaos putih dan celana panjang warna cokelat yang biasa ia kenakan ke mana-mana termasuk ketika manggung.
Hawe dan Mukti ngobrol ngalor-ngidul tentang musik, khususnya tentang jasa-jasa musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata (RMAK) di bidang musik. Peneliti musik Abizar Algifari Saiful menjelaskan, Machjar Angga Kusumadinata merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan kesenian di Jawa Barat, khususnya karawitan (musik) Sunda. Salah satu esai Machjar Angga Koesoemadinata berjudul Elmoening Kawih Soenda diterbitkan oleh majalah Poesaka Sunda, Java-Institut, Juli 1927.
“Sebagai musikolog Sunda, banyak tulisannya yang memberikan sumbangan pengetahuan penting bagi teori karawitan Sunda. Jaap Kunst, seorang etnomusikolog dari Belanda, kala melakukan penelitian musik dan menyusun buku Music in Java (1937), banyak berdiskusi serta bertukar pikiran dengan RMAK mengenai kesenian (musik) yang ada di Jawa Barat,” terang Abizar [BandungBergerak.id, Abizar Algifari Saiful, 18 Mei 2021].
Di balik kepribadiannya yang humoris dan nyeleneh, Mukti tidak main-main dalam berkarya. Dengan mempelajari RMAK, kata Hawe, Mukti amat serius dalam bermusik sampai harus menggalinya ke akar tradisi musik Sunda di masa lalu.
Di samping itu, pribadi Mukti begitu hangat. Kapan pun bertemu Mukti, Hawe merasa tidak berjarak.
“Ketemu Mukti kita tidak merasa terasing. Kan ada teman yang sekian lama tak ketemu kita merasa terasing. Di Mukti tidak. Lama tidak bertemu lagi tetap merasa akrab,” katanya.
Rere juga mengalami hal serupa dengan Hawe, bahwa dalam lagu-lagu Mukti ada kehangatan, cinta, harapan. Tetapi Mukti juga menyuarakan ketidakadilan, memberi ruang pada orang-orang yang terpinggirkan.
“Jangan biarkan anak kita tak memahami matahari, mengenali nyanyian burung, menari dengan ikan-ikan, jangan sampai anak kita tak punya apa-apa,” kata Rere.