• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa di Persimpangan Neoliberalisme Pendidikan, antara Performativitas Gerakan dan Tantangan Perjuangan Substantif

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa di Persimpangan Neoliberalisme Pendidikan, antara Performativitas Gerakan dan Tantangan Perjuangan Substantif

Tulisan "Darurat Aktivisme Borjuis" sempat menjadi bahan perbincangan panas. Apakah mahasiswa, dengan segala romantisasinya, masih relevan dalam peta politik kini?

Cindy Veronica Rohanauli

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Unpad, Ketua Umum LPPMD Unpad 2024

Ilustrasi. Gerakan mahasiswa menghadapi tantangan di era yang dikuasai kapital. (Ilustrator: Zakinah Sang Mando/BandungBergerak)

13 Desember 2024


BandungBergerak.id - 23 Agustus 2024, sehari setelah aksi besar-besaran bertajuk “Peringatan Darurat,” media Project Multatuli menerbitkan opini berjudul "Darurat Aktivisme Borjuis" yang ditulis oleh Abdil Mughis Mudhoffir dan Rafiqa Qurrata A’yun. Publikasi itu seketika menjadi bahan perbincangan hangat. Kritik deras bermunculan, didominasi oleh rasa marah dan kecewa. “Momennya tidak tepat,” begitu komentar yang populer dilontarkan. Tak sedikit yang menilai bahwa tulisan tersebut justru berpotensi mematikan semangat perjuangan masyarakat dalam menghadapi situasi demokrasi yang semakin tergerus.

Dengan nada yang sedikit sinis, “Darurat Aktivisme Borjuis” menguliti pola-pola perlawanan yang dianggap reaktif, moralis, dan performatif. Tulisan tersebut mempertanyakan efektivitas aksi-aksi seperti Peringatan Darurat 2024, yang menurut Mudhoffir dan A’yun hanya akan mengulang kegagalan gerakan serupa seperti Reformasi Dikorupsi 2019—sebuah momentum besar yang tak menghasilkan perubahan struktural. Alih-alih membawa transformasi, massa malah menjadi alat yang dimanfaatkan oleh faksi-faksi oligarki untuk memperluas atau mempertahankan kekuasaan mereka.

Meski “Darurat Aktivisme Borjuis” tidak secara spesifik ditujukan kepada mahasiswa, beberapa poin yang disampaikannya secara tidak langsung menyentuh kondisi aktivisme mahasiswa saat ini. Mahasiswa, yang kerap digambarkan sebagai agent of change, justru semakin sering memperlihatkan karakteristik yang disoroti dalam tulisan tersebut: moralis, reaktif, dan tidak memiliki strategi jangka panjang yang jelas.

Pada titik ini, beberapa pertanyaan mendasar perlu direnungkan: apakah mahasiswa, dengan segala romantisasi perjuangan historisnya, benar-benar masih relevan dalam peta perjuangan politik hari ini? Ketika perjuangan mereka lebih sering terlihat performatif dan elitis, masihkah mereka layak disebut sebagai representasi rakyat? Ataukah, justru mereka menjadi representasi kelas borjuis yang teralienasi dari kebutuhan konkret masyarakat yang seharusnya mereka wakili?

Dilema inilah yang mendasari pentingnya pembacaan ulang terhadap gerakan mahasiswa hari ini. Esai ini akan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tersebut, mencoba memahami apa yang membuat gerakan mahasiswa tampak stagnan, mengurai elemen-elemen yang hilang dalam perjuangan mereka, dan yang terpenting, merumuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembalikan peran mereka sebagai kekuatan perubahan yang autentik, relevan, dan berdampak nyata.

Aktivisme Borjuis Mahasiswa di Bawah Bayang Neoliberalisme

Sebagaimana dijelaskan oleh Abdil Mughis Mudhoffir dalam esainya yang lain, “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?”, aktivisme borjuis merujuk pada pola gerakan yang mencerminkan kepentingan kelas menengah ke atas. Ia hadir dalam bentuk yang simbolis, moralistik, dan spontan—menonjolkan citra heroisme tetapi sering kali tanpa strategi jangka panjang yang jelas. Pola ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, tetapi juga di banyak negara Asia Tenggara, sebagaimana diungkapkan oleh studi Kevin Hewison dan Garry Rodan. Mengutip mereka, Mudhoffir menunjukkan bahwa aktivisme borjuis ini lahir dari dua kondisi struktural utama: pertama, dominasi kapitalisme yang mengatur ekonomi-politik dan kontrol terhadap institusi publik; kedua, absennya politik berbasis kelas yang merupakan warisan Perang Dingin.

Pola serupa terlihat pada gerakan mahasiswa hari ini, yang sering kali lebih fokus pada isu-isu nasional dibandingkan persoalan kampus yang langsung menyentuh kehidupan mereka sehari-hari. Di Universitas Padjadjaran (Unpad), misalnya, isu-isu krusial seperti kenaikan UKT, komersialisasi ruang publik kampus, pasal karet yang membatasi kebebasan akademik, hingga penanganan kasus kekerasan seksual sering kali hanya menjadi agenda sampingan. Padahal, dampak dari isu-isu ini sangat nyata bagi mahasiswa, baik secara material maupun psikologis.

Selain itu, ketika mahasiswa mencoba merespons isu nasional, proses konsolidasi yang dilakukan pun tak jarang mendadak dan tergesa-gesa. Diskusi yang seharusnya menjadi ruang untuk menyerap aspirasi mahasiswa justru terlihat seperti formalitas belaka. Akibatnya, partisipasi mahasiswa dalam gerakan ini lebih menyerupai pemenuhan target eksistensi—sekadar menunjukkan bahwa "gerakan masih ada"—alih-alih sebuah upaya serius untuk membangun perlawanan yang solid dan terorganisir. Hingga akhirnya, turun ke jalan, atau tampil vokal di media sosial dianggap cukup untuk merepresentasikan perlawanan. Namun, semua ini dilakukan tanpa landasan politik yang kokoh atau arah strategis yang jelas.

Ketika menyaksikan pola-pola ini, penting untuk melihat gambaran yang lebih besar tentang sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Neoliberalisme, sebagai kerangka struktural yang mendasari banyak perubahan dalam sistem ini, memegang peran sentral dalam membentuk realitas tersebut. David Harvey, dalam A Brief History of Neoliberalism (2007), menjelaskan bagaimana neoliberalisme menekankan deregulasi, privatisasi, dan pengurangan peran negara. Dalam konteks pendidikan tinggi, prinsip-prinsip ini telah mengubah universitas menjadi entitas komersial. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai hak atau arena pengembangan kritis, melainkan sebagai komoditas yang dijual dengan harga tinggi kepada mereka yang mampu membelinya.

Dampaknya terlihat nyata: kenaikan biaya kuliah, komersialisasi fasilitas kampus, hingga kebijakan-kebijakan yang membatasi kebebasan akademik. Per Mei 2024, misalnya, tercatat 10 perguruan tinggi negeri—kebanyakan berstatus PTN-BH—menaikkan UKT untuk semua jalur. Di Universitas Indonesia, biaya kuliah untuk program studi seperti pendidikan dokter atau farmasi bisa mencapai 20 juta rupiah per semester, dengan uang pangkal hingga 161 juta rupiah. Di Unpad, tren serupa terlihat, dengan semakin menyempitnya jalur masuk nasional yang lebih terjangkau. Pendidikan tinggi, alih-alih menjadi ruang inklusi, justru malah semakin eksklusif, membatasi akses bagi mereka dari kalangan menengah ke bawah.

Pada kenyataannya, eksklusivitas ini berdampak langsung pada komposisi dan pola gerakan mahasiswa. Mereka yang aktif dalam gerakan kemungkinan besar berasal dari kalangan menengah atas. Pendidikan neoliberal yang mereka jalani membentuk mereka menjadi human capital, yakni individu yang dilatih untuk menjadi modal bagi industri. Fokus pada "investasi diri," seperti mengikuti pelatihan, membangun jejaring, atau menambah sertifikasi, menjadi prioritas utama, menggantikan semangat kolektivitas. Representasi rakyat kecil yang sering digaungkan dalam narasi mereka pun menjadi semu dan kepentingan rakyat kecil sering kali hanya menjadi narasi simbolis untuk memperkuat eksistensi diri.

Akhirnya, gerakan mahasiswa terjebak dalam performativitas kosong. Turun ke jalan, berteriak lantang, atau unggahan heroik di media sosial menjadi panggung eksistensi, bukan alat perubahan struktural. Tanpa landasan politik yang kokoh dan strategi jangka panjang, aksi-aksi ini hanya menciptakan ilusi perlawanan—sebuah pertunjukan tanpa dampak nyata. Sementara itu, akar permasalahan tetap tak tersentuh: bagaimana sistem pendidikan tinggi yang dikendalikan neoliberalisme terus menindas mereka yang sebenarnya paling membutuhkan perjuangan.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Rasa Malu dan Mitos Pemerkosaan yang Melingkupi Tubuh Perempuan Membuat Proses Keadilan Menjadi Semakin Rumit
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mendekonstruksi Wacana Kesehatan Mental di Media Sosial Milik Pemerintah
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kliktivisme, Sebuah Demonstrasi Gaya Baru

Dari Romantisme Menuju Realisme

Mahasiswa sering kali dianggap sebagai pusat dari perubahan sosial, sebuah narasi romantis yang telah lama melekat dalam sejarah perjuangan politik Indonesia. Namun, dalam konteks neoliberalisme pendidikan tinggi, peran ini tidak lagi relevan untuk diidealkan secara utuh. Romantisasi ini justru melanggengkan pola gerakan yang elitis, performatif, dan simbolis—gerakan yang cenderung menjauhkan mahasiswa dari kebutuhan konkret masyarakat yang lebih luas. Sebagai kelompok yang, secara struktural, berada dalam posisi rentan namun masih memiliki akses terhadap pengetahuan dan jejaring, mahasiswa bukanlah agen perubahan utama, melainkan katalisator—pemantik yang berpotensi memobilisasi kekuatan sosial untuk menciptakan perubahan.

Perubahan yang nyata hanya mungkin terjadi jika mahasiswa mampu melepaskan diri dari romantisme elitis dan performatif ini, menggantinya dengan fokus pada akar persoalan yang konkret. Pendekatan berbasis komunitas menjadi kunci, didukung keberanian untuk menghadapi isu-isu kampus yang lebih substansial, seperti mahalnya biaya kuliah, kebijakan yang membatasi kebebasan akademik, atau eksploitasi fasilitas kampus. Mahasiswa juga perlu melampaui logika kompetisi individu yang diciptakan oleh neoliberalisme, membangun solidaritas kolektif yang menghubungkan perjuangan mereka dengan kelompok-kelompok terdampak lainnya.

Dalam konteks ini, peran mahasiswa tidak lagi sebagai pahlawan atau representasi rakyat, melainkan sebagai penghubung dan pemantik. Mahasiswa harus mampu membuka ruang dialog, solidaritas, dan konsolidasi—membangun aliansi strategis dengan kelompok-kelompok yang paling terdampak oleh ketimpangan struktural. Dengan demikian, gerakan mahasiswa dapat melampaui performativitas dan menjadi bagian integral dari perjuangan kolektif untuk menantang sistem yang tidak adil. Alih-alih terjebak dalam nostalgia sejarah atau narasi heroisme palsu, mereka dapat benar-benar menyentuh kebutuhan konkret masyarakat, sekaligus mendekonstruksi peran elitis yang selama ini terlanjur diagungkan.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//