• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mendekonstruksi Wacana Kesehatan Mental di Media Sosial Milik Pemerintah

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mendekonstruksi Wacana Kesehatan Mental di Media Sosial Milik Pemerintah

Individualisasi wacana depresi yang disodorkan pemerintah telah mengabaikan fakta bahwa sebagian besar kasus depresi tidak berasal dari kondisi biologis.

Muhammad Andi Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Ilustrasi. Kesehatan mental memerlukan perhatian serius dari individu maupun negara. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

11 Desember 2024


BandungBergerak.idCara pemerintah memikirkan dan mengomunikasikan depresi mencerminkan bagaimana mereka memperlakukannya. Dengan kata lain, selain fakta bahwa informasi yang mereka sampaikan bersifat otoritatif dan karenanya cenderung dipercayai begitu saja oleh masyarakat, wacana yang mereka bangun merefleksikan agenda dan kepentingan mereka seputar depresi, termasuk ke mana dan seberapa besar sumber daya yang dialokasikan (atau tidak dialokasikan sama sekali) untuk menanggulanginya (Entman & Usher, 2018; Limenih dkk., 2024). Hal ini mengindikasikan bahwa informasi otoritatif mereka bukanlah deskripsi pasif yang netral dan bebas nilai, melainkan hasil memilah-milah mana yang dianggap sesuai dengan agenda mereka. Sisanya tidak dipublikasikan dan tetap disimpan di belakang layar, menciptakan suatu rezim kebenaran yang membentuk cara masyarakat memahami dan menyikapi depresi. 

Berdasarkan konsepsi tersebut, esai ini menyelidiki bagaimana Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), yang merepresentasikan pemerintah dalam urusan kesehatan (mental), membingkai depresi di platform X (dulunya Twitter). Saya memilih media sosial karena belakangan ini kampanye isu kesehatan mental semakin terpusat di dunia maya. Sementara itu, platform X diambil karena mereka membatasi jumlah karakter per cuitan (tweet) hanya sebanyak 280 karakter, yang secara tidak langsung “memaksa” pemerintah untuk sangat selektif dalam menyusun isi kontennya—apalagi isu depresi begitu kompleks dan penuh istilah medis. Saya berpendapat bahwa, terlepas dari nilai-nilai yang mereka klaim, pemerintah cenderung mengatribusikan tanggung jawab atas depresi kepada individu yang mengalaminya—atau disebut “individualisasi”—dan dengan cara ini malah berisiko memperburuk masalah pada tingkat populasi. Untuk menunjang argumen ini, saya akan terlebih dulu meninjau wacana yang dibangun oleh pemerintah mengenai depresi, kemudian dilanjutkan analisis kritis tentang mengapa wacana tersebut dapat melanggengkan hambatan struktural dalam mengatasi depresi sebagai krisis kesehatan masyarakat. 

Dalam sebuah unggahan bersama WHO Indonesia, pemerintah membingkai depresi sebagai “a society-wide issue” (Kemenkes RI).[1] Mereka melaporkan bahwa “angka depresi dan bunuh diri pada remaja meningkat hingga 200 persen di Indonesia” (Kemenkes RI).[2] Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena depresi tidak sama dengan kesedihan yang dialami seseorang dari waktu ke waktu dalam hidupnya. Alih-alih, depresi adalah “sebuah penyakit [mental] yang ditandai dengan rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang disukai” (Kemenkes RI).[3] Dalam serangkaian cuitan tahun 2017, mereka mencatat bahwa depresi merupakan faktor tunggal di balik pengajuan cuti oleh 10 persen pekerja dan hilangnya rata-rata 36 hari kerja. Pada tahap akut, depresi dikatakan dapat mengakibatkan beberapa penyakit fisik kronis, di antaranya “arthritis, kanker, diabetes, [penyakit] jantung, hipertensi, penyakit saraf atau penyakit paru kronik” (Kemenkes RI).[4] Yang paling mengkhawatirkan, pemerintah mengungkapkan bahwa “depresi yang berlarut-larut dapat mengantarkan pada tindakan bunuh diri” (Kemenkes RI).[5]

Sekilas, kita dapat melihat bahwa pemerintah sebenarnya mengidentifikasi depresi sebagai masalah yang sangat serius. Sayangnya, keprihatinan yang besar ini tidak diterjemahkan ke dalam narasi yang kongruen. Di satu sisi, mereka mengakui bahwa depresi merupakan “a society-wide issue that requires society-wide solutions”, tetapi di sisi lain diagnosis penyebab dan solusi yang mereka tawarkan sangat individualis. Dalam sebuah cuitan mengenai angka depresi dan bunuh diri pada remaja yang terus meningkat, mereka secara eksplisit menyatakan bahwa “penyebabnya sebagian besar [adalah] masalah ketidakmampuan mengendalikan perilaku dan mengelola emosi” (Kemenkes RI).[6] Frasa “sebagian besar” mengindikasikan bahwa kegagalan dalam mengontrol emosi dan perilaku bukan sekadar pengecualian yang jarang terjadi, melainkan memang menjadi alasan utama di balik mayoritas kasus depresi dan bunuh diri pada remaja. 

Dengan memusatkan faktor penyebab depresi kepada individu, solusi yang ditawarkan juga bernada sama. Mereka secara keseluruhan mendorong individu untuk proaktif dan tidak larut dalam kemurungan ketika mengalami depresi, misalnya dengan “curhat” kepada orang terpercaya dan menerapkan gaya hidup sehat (makan makanan bergizi seimbang, berolahraga secara teratur, istirahat yang cukup, hindari alkohol dan narkoba, dan seterusnya). Bahkan otak pun dibuka sebagai tempat baru untuk mengatur diri sendiri, menuturkan bahwa “kondisi di luar tubuh manusia tidak bisa dikontrol, tapi di dalam otak dapat dikontrol” (Kemenkes RI).[7] Asumsinya, individu dapat mengubah perasaan mereka dengan mengubah tindakan dan kebiasaan mereka (Orphanidou & Kadianaki, 2021). Tidak ditemukan atribusi tanggung jawab pada faktor-faktor struktural, juga tidak dijumpai unggahan mengenai reformasi keluarga, politik, atau ekonomi. Mereka dengan yakin menggemakan bahwa “sehat jiwa dimulai dari diri sendiri” (Kemenkes RI).[8]

Bagaimanapun, individualisasi seperti itu tidak berarti peran negara hilang sama sekali. Apa yang terjadi adalah sebuah cara memerintah (baru) di mana individu dan populasi diatur berdasarkan etika, nilai-nilai, dan perilaku pribadi—atau disebut “etopolitik” (ethopolitics) oleh Nikolas Rose. Dalam konteks ini, negara tidak lagi memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan, misalnya melalui jaminan hak penderita depresi untuk memperoleh layanan negara yang memadai dan terjangkau, tetapi—seperti dalam banyak masalah lainnya—lebih berperan sebagai fasilitator, motivator, dan animator (Rose, 2001). Mereka menginstrumentalisasi kecemasan dan harapan individu atas nasib biologis mereka sendiri untuk memastikan kesehatan populasi. Dengan membentuk ketakutan akan depresi dan keinginan untuk sehat, individu diharapkan dapat mengelola diri dan memonitor kesehatannya sendiri. Tidak kalah pentingnya, keinginan yang semakin besar untuk sehat ini dieksploitasi dan dikapitalisasi oleh strategi baru periklanan dan pemasaran di pasar kesehatan—obat-obatan tanpa resep, asuransi kesehatan swasta, makanan “sehat”, vitamin, suplemen makanan, dan berbagai macam terapi  kesehatan (Rose & Miller, 1992). Kesehatan secara harfiah (semakin) mahal.

Upaya menanggulangi masalah depresi dengan terlalu mengandalkan kekuatan individu dan lingkaran sosial mereka sedikitnya tidak realistis; peran negara tetap tidak dapat digantikan untuk menangani depresi secara makrostruktural. Lebih buruknya, individualisasi seperti itu berisiko memperparah masalah depresi dengan meningkatkan stigma dan ketidakberdayaan individu dalam menghadapinya, karena mereka memikul beban yang jauh lebih besar dari yang seharusnya (Orphanidou & Kadianaki, 2021; Zhang dkk., 2021). Mereka kemungkinan besar merasa dihakimi secara keras oleh orang lain dan bahkan oleh dirinya sendiri karena “gagal” menjaga kesehatan dan menjadi versi optimal dari diri mereka sendiri. Perasaan ini menciptakan dikotomisasi antara “saya yang gagal menjaga kesehatan sehingga depresi” dan “orang lain yang berhasil menjaga kesehatannya sehingga tidak depresi”, menjadikan penderita lebih mungkin merasa pantas menderita (Hurt, 2007; Neitzke, 2016).

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kliktivisme, Sebuah Demonstrasi Gaya Baru
MAHASISWA BERSUARA: Dampak Media Sosial untuk Generasi Z dan Alpha, Memangnya Berbahaya?

Di atas segalanya, entah disengaja atau tidak, individualisasi masalah depresi dapat dilihat sebagai pengalihan perhatian. Narasi seperti ini menutupi cara-cara di mana depresi terkait erat dengan kemiskinan, upah rendah, ketidaksetaraan sosial-ekonomi, ketidakpastian pekerjaan, jam kerja panjang (sering kali tanpa jadwal yang pasti), dan pemangkasan pengeluaran sosial (Neitzke, 2016; Walker, 2008, hlm. 135). Demikian pula, hal itu menyembunyikan bagaimana depresi sering kali disebabkan oleh penggusuran permukiman, sengketa tanah, persekusi, pengucilan, polusi—singkatnya, kekerasan struktural yang mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat (Burte & Kamath, 2023; Farmer, 1996). Ini merupakan temuan meresahkan karena, ketika isu-isu tersebut tidak diangkat, tindakan pasif negara seolah dilegitimasi dan dengan demikian mengikis peluang dilakukannya perubahan struktural di bidang sosial, ekonomi, dan politik (Brijnath & Antoniades, 2016; Zhang dkk., 2016; Zhang & Jin, 2015). Tanpa mengubah status quo, ketidakadilan yang ada di dalamnya terus direproduksi.

Analisis di atas tidak dimaksudkan untuk menyangkal semua yang telah diungkapkan oleh pemerintah (dalam konteks ini, Kemenkes RI). Konten-konten mereka mudah dicerna, profesional, informatif, dan penuh kasih sayang terhadap orang depresi. Jelas pula mereka tidak salah ketika berusaha meningkatkan literasi kesehatan mental yang berfokus pada individu. Tidak ada yang melarang siapa pun yang ingin menjadikan orang lain lebih baik dan lebih sehat. Hanya saja, kita mengharapkan lebih. Pemerintah boleh mendorong individu untuk menerapkan gaya hidup sehat dan mengingatkan masyarakat agar saling menjaga satu sama lain, tetapi psikolog, psikiater, dan konten kreator swadaya (self-help) juga melakukan semua itu. Bahkan terus terang, untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pribadi, orang lebih suka menonton kanal YouTube dari psikolog atau psikiater yang merangkap menjadi konten kreator daripada membuka akun media sosial pemerintah. 

Ketika masyarakat mengikuti akun pemerintah, mereka senang apabila diingatkan untuk bergegas datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) jika merasa depresi, tetapi lebih penting lagi mereka ingin mendengar apakah fasyankes tersebut terjangkau dan memadai, apakah ada kebijakan yang tersedia untuk mengatasi faktor penentu kesehatan mereka pada tingkat struktural, dan apakah pajak yang mereka bayarkan telah digunakan sebaik mungkin untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan mereka. Meskipun pengingat untuk beristirahat sangat berharga, hal ini tidak berarti banyak bagi mereka yang terjebak dalam jam kerja panjang demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dorongan agar mencari bantuan memang bernilai untuk mereka yang mengalami depresi kronis, tetapi nilainya lenyap jika mereka tidak mampu membayar konseling atau menghadapi daftar tunggu yang panjang akibat, katakanlah, menggunakan BPJS kesehatan. Intinya, masyarakat tidak (hanya) meminta nasihat kesehatan dari pemerintah; sebaliknya, mereka mengharapkan reformasi struktural yang nyata. Selama individu hidup dalam masyarakat yang sarat ketidakadilan sosial, bahkan jika hari ini depresi mereka “sembuh”, mereka akan selalu rentan mengalami depresi—lagi dan lagi (Brown, 2019; Hidaka, 2012).

Pada akhirnya, individualisasi wacana depresi secara fundamental mengabaikan fakta bahwa sebagian besar kasus depresi tidak berasal dari kondisi biologis (seperti ketidakseimbangan neurotransmiter di dalam otak dan warisan genetis) ataupun kondisi psikologis (seperti pola pikir dan kebiasaan yang buruk), tetapi lebih merupakan respons kolektif atas ketidakadilan sosial yang direproduksi dan dipacu oleh tatanan sosial-politik yang ada. Atas dasar itu, saya mengusulkan agar pemerintah memperhitungkan berbagai determinan depresi dan mempresentasikannya secara seimbang kepada publik—bahkan jika itu berarti harus mengakui kelalaian mereka sendiri sebagai otoritas, baik intra maupun lintas institusi. Kita harus menciptakan paradigma baru bahwa tindakan terus terang pemerintah tentang kegagalan atau kesalahan mereka sendiri bukanlah sebuah kelemahan, melainkan bentuk transparansi dan tanggung jawab mereka atas mandat masyarakat yang mereka pikul. Tanpa pergeseran wacana dari kerangka individual ke pendekatan berbasis hak atas kesehatan, kampanye pemerintah mengenai depresi tidak ada bedanya dengan—dan tidak lebih baik daripada—narasi industri swadaya pada umumnya.

 

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara lMahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//