• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kliktivisme, Sebuah Demonstrasi Gaya Baru

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kliktivisme, Sebuah Demonstrasi Gaya Baru

Kliktivisme, aktivisme di media sosial, justru bisa dikawinkan dengan aktivisme tradisional dengan ciri khas demonstrasi jalanan. Tagar Peringatan Darurat buktinya.

Eky Zupaldry

Mahasiswa Sarjana Filsafat Keilahian Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.

Ilustrasi. Aktivitas manusia dengan gawainya di era teknologi digital. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

10 Desember 2024


BandungBergerak.id - Disadari atau tidak, selain memiliki algoritma njlimet pada dirinya sendiri, media sosial (medsos) sebenarnya juga merupakan algoritma tersendiri yang memengaruhi kehidupan manusia. Gejala ini telah mewabah di seluruh dunia. Alhasil, batas antara mayantara (dunia maya) dan dunia nyata menjadi keruh. Keduanya telah bercampur aduk, tak lagi tersibak seperti air dan minyak dalam botol.

Kompleksitas medsos berhasil mengubah gerak dan orientasi manusia dalam setiap sendi pengalamannya bereksistensi, termasuk berpolitik dan berdemokrasi. Sebagai bagian dari negara yang menempati posisi keempat dari “lima negara pengguna medsos terbanyak di dunia”, maka manusia Indonesia memiliki peran ganda, yakni sebagai warga negara (citizen) dan warganet (netizen).

Awalnya, yang ada hanya peran pertama itu saja. Namun, sejak yang kedua timbul, maka ia merasuki yang pertama. Kedua peran tersebut saling berkaitkelindan, sehingga muskil untuk mengabaikan fungsi medsos dalam gonjang-ganjing gejolak politik Indonesia.

Dirty Vote dan “Peringatan Darurat” sebagai Contoh

Sebagai contoh, mari kilas balik ke Dirty Vote. Kendati tidak membuat paslon 02 gagal memenangkan Pilpres, film dokumenter ini nyatanya berhasil memecah keheningan masa tenang Pilpres. Di sana-sini mungkin ada pro dan kontra terhadap (orang-orang yang mengerjakan) film tersebut. Perdebatan makin memanas, kala terdeteksi fakta bahwa ketiga pakar hukum tata negara yang menjadi presenternya, ternyata memiliki relasi dekat dengan cawapres 03. Namun, mustahil menampik kenyataan bahwa banyak orang menjadi lebih sensitif terhadap rekam jejak para paslon serta dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 justru setelah menonton film itu.

Masih segar pula dalam ingatan, ketika gambar Garuda Pancasila dengan latar belakang biru tua dan tulisan “Peringatan Darurat” memenuhi linimasa beragam medsos. Berbagai kalangan mengunggahnya, tak terkecuali tokoh-tokoh politik, rohaniawan, akademisi, hingga para artis dan influencers. Unggahan yang disertai tagar #KawalDemokrasi dan #KawalPutusanMK itu hendak menghantam hasil rapat kerja Badan Legislasi DPR RI yang malah mengamini putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), padahal putusan terkait syarat ambang batas usia pengusungan calon kepala daerah tersebut berpotensi menguntungkan (lagi) pihak—kalau tidak boleh disebut keluarga—tertentu.

Kliktivisme dan Kritik Atasnya 

Dua fenomena di atas adalah bentuk dari aktivisme daring atau yang sekarang populer disebut “kliktivisme” (aktivisme digital). Kliktivisme merupakan aktivitas daring, yang dimediasi melalui teknologi digital, dalam rangka mempromosikan gerakan sosial. Dalam penelitian Jordana J. George dan Dorothy E. Leidner (2019) disebutkan, dahulu orang berbondong-bondong menjadi aktivis dengan cara berdemonstrasi secara langsung di lapangan dan melakukan beragam aksi di sana; atau dengan menulis surat kepada perwakilan pemerintah. Namun, George dan Dorothy menilai bahwa cukup sulit, bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk menggerakkan massa secara konsisten. Padahal, hanya gerakan yang paling besar dan paling banyak didukunglah yang dapat berkembang dan menciptakan impak. Itulah sebabnya, ketika medsos hadir dan mulai populer, kliktivisme muncul dan memberikan dampak yang luas serta berjangka panjang dibanding aktivisme tradisional. 

Meski berdampak positif, nyatanya kliktivisme tak luput dari kritik. Para kliktivis sering dianggap FOMO (Fear of Missing Out, takut ketinggalan tren) atau ikut-ikutan belaka. Menurut para pengkritik itu, mereka hanya klak-klik tanpa tahu apa yang di-klik dan kebermanfaatannya. Lebih jauh, para kliktivis juga dituduh tidak berusaha memperdalam pengetahuan mengenai isu yang tengah mereka gaungkan lewat akun medsosnya masing-masing. Kritik lain yang tidak kalah menohok ialah anggapan bahwa aktivitas para kliktivis sebenarnya tidak lebih dari slacktivisme (slacker = pemalas, activism = aktivisme). Dalam bahasa para pengkritik tersebut, para kliktivis ini hanyalah orang-orang malas yang dengan sengaja melakukan aktivisme digital untuk sekadar terlihat keren, lalu merasa telah berkontribusi besar dalam menyuarakan isu-isu termutakhir. Yang aneh, tetapi menarik untuk dicermati ialah, berdasarkan kedua tuduhan itu, para pengkritik itu menyimpulkan bahwa aktivisme tradisional jauh lebih baik dibanding kliktivisme.

Saya tidak menyangkal bahwa salah satu atau kedua tuduhan itu bisa saja benar. Namun, generalisasi terhadap semua kliktivis adalah sebuah sikap yang patut disayangkan. Dua contoh yang sudah saya kemukakan di atas adalah bukti bahwa tidak semua kliktivis itu FOMO. Lalu, tidak pula semua kliktivisme pasti slacktivisme, kecuali kita benar-benar haqqul yaqin bahwa semua kliktivis dalam kedua peristiwa yang saya sebutkan di atas (termasuk para akademisi) minim pengetahuan akan isu yang mereka unggah di medsos.

Lebih jauh, kesimpulan itu dapat dipertanyakan ulang. Benarkah hanya para kliktivis yang dapat dikategorikan sebagai pendemo yang tidak tahu apa yang tengah didemokan? Apakah keadekuatan pengetahuan dari mereka yang turun langsung berdemo di jalan benar-benar dapat dijamin?

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Dampak Media Sosial untuk Generasi Z dan Alpha, Memangnya Berbahaya?
MAHASISWA BERSUARA: Naiknya Satu Persen PPN yang Membuat Masyarakat Kelas Menengah Miskin
MAHASISWA BERSUARA: Karena Suporter Fomo Menjadi Makanan Kapitalis Sepak Bola (Indonesia)

Mengharmonikan Kliktivisme dan Aktivisme Tradisional 

Di tengah kegalauan dalam mengamati situasi politik dan demokrasi Indonesia, kliktivisme justru—setidaknya bagi saya—bak oasis yang ditiupi angin sepoi-sepoi. Kliktivisme menawarkan sebuah “gaya” baru bagi para partisipan atau mereka yang (ingin) terlibat berdemonstrasi terhadap kebijakan-kebijakan publik sebagai bagian dari nawaitu untuk memperjuangkan hak-hak individu sebagai warga negara maupun hak-hak mereka yang lebih rentan tertindas. 

Bukannya aktivisme tradisional tidak lagi diperlukan. Namun, kita perlu melongok ke zaman yang makin berkembang dan telah menghasilkan kliktivisme ini sebagai salah satu produknya. Saya mengiakan bahwa aktivisme tradisional dengan terjun ke lapangan untuk berdemo tidak mungkin tergantikan begitu saja oleh kliktivisme. Malah, saya yakin bahwa sedari awal para kliktivis tidak berintensi untuk menggantikan aktivisme tradisional tersebut. 

Kecuali terbukti bahwa semua kliktivis ternyata mengharapkan yang terakhir itu, maka kliktivisme justru perlu diintegrasikan secara harmoni dengan aktivisme tradisional. Demonstrasi yang berkesinambungan dengan tagar #KawalDemokrasi dan #KawalPutusanMK beberapa waktu lalu dapat menjadi bukti bahwa perbedaan kliktivisme dan aktivisme tradisional tidak perlu dipertajam menjadi pertentangan. 

Contoh lain, ada “Kamisan Date” yang belum lama ini viral. Istilah tersebut mengacu pada keberadaan pasangan-pasangan kekasih yang mengikuti agenda Aksi Kamisan dan memostingnya di medsos. Fenomena tersebut pun tidak luput dari bulan-bulanan pengkritik untuk disindir. Namun, ada juga pihak yang beropini bahwa itu dapat menjadi “pintu masuk” bagi orang-orang, khususnya orang-orang muda, yang sama sekali tidak mengetahui Aksi Kamisan. 

Betapa pun, manusia adalah makhluk yang terbatas dan dibatasi. Kita senantiasa berbenturan dengan ruang, waktu, kesempatan, kondisi kebertubuhan, memori, hingga keterampilan teknis. Di sinilah kliktivisme berperan krusial. Mereka yang mungkin tidak bisa secara langsung terlibat karena keterbatasan-keterbatasan itu, dapat berpartisipasi secara aktif melalui aktivitas post, like, and share. 

Kliktivisme sebagai bagian dari digitalisasi dapat menjangkau yang jauh dan makin menguatkan yang dekat. Dengan akses tak terbatas—selama sumber daya terpenuhi—atas mayantara, maka medium untuk “membangkang” terhadap kesewenang-wenangan penguasa makin lebih luas. 

Sama seperti penguasa yang mulai menyadari bahwa dunia digital adalah salah satu aspek yang perlu dikuasai dan dikontrol (dengan cara memperbaiki citra diri melalui unggahan-unggahan di medsos pribadi maupun melalui jasa sewa buzzer), kliktivisme menjadi pertanda bahwa manusia Indonesia juga sadar kalau dunia digital merupakan ruang untuk bersuara. 

Sambil merengkuh kedua kritik terhadap kliktivisme, saya merujuk kepada pendapat F. Budi Hardiman, salah seorang guru besar filsafat dari Universitas Pelita Harapan Jakarta. Menurutnya, homo sapiens telah bertransformasi menjadi homo digitalis. Manusia tengah berada dalam revolusi digital dan acap kali tanpa pikir-pikir sekadar klik belaka. Manusia bereksistensi dengan prinsip, seperti judul buku Hardiman, “Aku Klik, maka Aku Ada” [Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital, p. 15. Penerbit PT Kanisius].

Dalam hemat saya, kondisi kondisi gemar-mengklik-tanpa-pikir-panjang ini adalah bagian dari keterbatasan manusia juga. Oleh karenanya, justru para kliktivis yang masih FOMO itu, semestinya tidak ditodong dengan tuduhan yang membabi-buta. Setidak-tidaknya, masih ada hal baik yang dapat dipelajari dari keberadaan mereka; setidak-tidaknya mereka pun subjek yang berpotensi juga.

Mereka perlu diapresiasi dan difasilitasi agar dapat memperdalam pengetahuannya terhadap diskursus yang tengah diperjuangkan. Pertanyaannya ialah beranikah kita mengambil peran dalam hal ini?

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara lainnya dalam tautan berikut

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//