SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Rasa Malu dan Mitos Pemerkosaan yang Melingkupi Tubuh Perempuan Membuat Proses Keadilan Menjadi Semakin Rumit
Mitos pemerkosaan telah mengakar dalam sistem hukum kita. Penyelidik tidak hanya menyalahkan korban kekerasan seksual, tetapi juga meragukan kesaksian mereka.
Aubrey Kandelila Fanani
Mahasiswa S2 program Kajian Budaya Inter-Asia, Universitas National Yang-Ming Chiao Tung , Taiwan.
12 Desember 2024
BandungBergerak.id - Meski Indonesia kini telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan setelah melewati banyak kontroversi, namun tampaknya keadilan untuk para korban masih harus melalui jalan terjal. Bukan hanya karena penerapannya yang belum merata, tetapi juga karena saat menghadapi kasus hukum, masyarakat Indonesia lebih memilih penyelesaian secara kekeluargaan dibandingkan dengan jalur formal. Pendekatan kekeluargaan ini umum digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan.
Jika penyelesaian secara kekeluargaan ini dipandang sebagai bagian dari keadilan restoratif, seharusnya penyelesaian kekeluargaan bisa berfungsi sebagai alternatif dari keadilan retributif. Tujuannya adalah untuk mengatasi kerugian yang disebabkan oleh kejahatan dengan mempertemukan korban, pelaku, dan masyarakat untuk memulihkan keharmonisan, di mana pelaku harus bertanggung jawab, sekaligus mendorong pembelajaran dan perilaku yang taat hukum [Heath-Thornton, D. "restorative justice." Encyclopedia Britannica, June 10, 2023...].
Di Indonesia, dasar hukum untuk keadilan restoratif ini relatif baru. Ada dua regulasi utama mengatur keadilan restoratif di tahap prapenuntutan: Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol Nomor 8/2021) dan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja Nomor 15/2020). [Moh Alfarizqy, Nurul Fitri Ramadhani, and Rahma Sekar Andini, “5 ahli jelaskan apa itu ‘restorative justice’ dan penerapannya di Indonesia,” The Conversation, December 20, 2023, http://theconversation.com/5-ahli-jelaskan-apa-itu-restorative-justice-dan-penerapannya-di-indonesia-218925] Masalahnya kedua regulasi ini hanya memandang keadilan restoratif sebagai sarana untuk mengakhiri proses pidana atau memperoleh kompensasi bagi korban melalui penyelesaian non-litigasi [Moh Alfarizqy, Nurul Fitri Ramadhani, and Rahma Sekar Andini, “5 ahli jelaskan apa itu ‘restorative justice’ dan penerapannya di Indonesia,” The Conversation, December 20, 2023].
Nyatanya, tidak semua kasus dapat menggunakan keadilan restoratif. Misalnya dalam kasus kekerasan seksual, penerapan penyelesaian secara kekeluargaan menjadi sangat bermasalah dan memberikan ketidakadilan bagi korban. Sering kali pelaku, keluarga pelaku, pihak berwenang, bahkan keluarga korban menekan korban untuk menerima kesepakatan rekonsiliasi tanpa adanya hukuman bagi pelaku. Penyelesaian secara sepihak ini telah mengabaikan hak korban, serta trauma dan perjuangan yang mereka lakukan dalam upaya mencari keadilan. Korban dipaksa untuk tetap diam, karena pengalaman mereka dianggap membawa aib bagi keluarga.
Ini terjadi karena adanya ketimpangan dari relasi kuasa dan gender. Pelaku dapat menyalahgunakan pengetahuan, sumber daya ekonomi, atau status sosial mereka untuk mengontrol korban agar tetap diam dan menerima jalan damai tersebut.
Tidak hanya perkara relasi kuasa, tetapi rasa malu dan juga mitos pemerkosaan yang melingkupi tubuh perempuan semakin mempersulit penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual, yang berujung pada reviktimisasi korban. Pada akhirnya korban harus berjuang sendirian demi mendapatkan keadilan bagi dirinya.
Rasa Malu dan Mitos Pemerkosaan
Dinamika kekuasaan dalam lembaga sosial, interpretasi agama, politik praktis, dan sistem peradilan sangat terkait dalam membangun pengetahuan yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat dalam masyarakat. Pengetahuan ini beroperasi bahkan dalam unit masyarakat terkecil: keluarga. Salah satu metode untuk mengendalikan tubuh perempuan adalah melalui penanaman rasa malu.
Dalam Putih, L. Ayu Saraswati menunjukkan bahwa rasa malu bertindak sebagai instrumen kepatuhan afektif, yang memaksa individu untuk menyesuaikan diri dengan norma dominan mengenai warna kulit, ras, kewarganegaraan, dan gender. Rasa malu dapat menciptakan kerentanannya emosional, yang mendorong individu untuk terus-menerus memantau dan memperbaiki kekurangan yang dirasakan [L. Ayu Saraswati, Putih: warna kulit, ras, dan kecantikan di Indonesia transnasional. Diterjemahkan oleh Ninus D. Andarnuswari, trans. Ninus D. Andarnuswari, Cetakan kedua (Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2019), 197].
Rasa malu juga berfungsi sebagai teknik kontrol untuk membatasi gerak perempuan. Ketika mereka mengalami kekerasan seksual, misalnya, mereka sering kali tak mau bersuara karena takut akan membawa rasa malu pada diri dan keluarga mereka. Akibatnya, mereka akan menyimpan pengalaman pahit itu dan bahkan bisa menyalahkan diri mereka sendiri atas apa yang terjadi.
Rasa malu telah membebankan tanggung jawab moral kepada perempuan untuk mematuhi standar sosial dengan mengatur tubuh mereka atas nama kesalehan, keamanan, dan kesopanan moral. Maka tak heran eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan dapat terjadi secara terus menerus dan setiap terjadi kekerasan seksual, pelaku, aparat, dan masyarakat akan sangat mudah untuk menyalahkan korban karena penampilan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan standar sosial.
Ketika rasa malu dipadukan dengan mitos pemerkosaan (rape myth) hal itu menciptakan tabu terhadap pengalaman sebagai korban kekerasan seksual. Mitos pemerkosaan (rape myth) adalah kepercayaan yang bias, salah, dan stereotip tentang pemerkosaan, korban, dan pelaku sehingga menciptakan keadaan yang tidak aman bagi korban. Pihak-pihak yang mempercayai mitos ini akan membebankan tanggung jawab atas kejadian kekerasan seksual tersebut pada korban, bukan pada pelaku, dan berujung korban diperlakukan secara tidak adil dan disalahkan atas kejahatan yang tidak mereka perbuat. [Martha R Burt, “Cultural Myths and Supports for Rape,” ...February 1980].
Mitos pemerkosaan ini tampaknya telah mengakar dalam sistem hukum, medis, pendidikan, dan bantuan publik. Penerimaan terhadap mitos pemerkosaan ini juga memengaruhi standar yang digunakan dalam penyelidikan dalam sistem peradilan pidana. Akibatnya, penyelidik tidak hanya menyalahkan korban atas apa yang terjadi pada mereka, tetapi juga meragukan kesaksian mereka karena mereka percaya bahwa perempuan cenderung berbohong tentang kekerasan seksual yang mereka alami.
Kepercayaan bahwa perempuan adalah akar dari terjadinya pelecehan seksual, dipadukan dengan pandangan tubuh perempuan sebagai simbol kesucian sosial [Komnas Perempuan. Risalah Kebijakan Kekerasan Seksual: Stigma yang Menghambat Akses pada Pelayanan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2019], dan dengan sistem pelaporan yang kompleks telah menciptakan lingkaran setan bagi korban. Korban sering kali merasa tidak aman, tidak dipercaya, dan tidak didukung sepanjang proses mereka mencari keadilan. Mereka juga sering kali dipaksa untuk tetap diam dan tidak berbicara tentang pengalaman mereka tersebut.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mendekonstruksi Wacana Kesehatan Mental di Media Sosial Milik Pemerintah
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kliktivisme, Sebuah Demonstrasi Gaya Baru
Dilema Sistem Peradilan
Sebenarnya masyarakat Indonesia sudah lama menggunakan penyelesaian secara kekeluargaan untuk menangani kasus-kasus kriminal. Pilihan masyarakat untuk menggunakan penyelesaian secara kekeluargaan dibandingkan menempuh jalur hukum formal mencerminkan kurangnya kepercayaan pada lembaga hukum Indonesia. Data dari Indeks Akses terhadap Keadilan 2019 di Indonesia menunjukkan bahwa 38 persen orang Indonesia dengan masalah hukum memilih untuk tidak mengambil tindakan apa pun, karena takut melaporkan masalah mereka malah akan memperburuk situasi. Di antara mereka yang melapor, 60,5 persen memilih lembaga non-negara atau saluran informal, seperti keluarga atau pemimpin komunitas lokal. Studi ini juga menyoroti bahwa 52 persen dari mereka yang ragu untuk mengambil tindakan adalah perempuan [Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Akses Terhadap Keadilan, Indeks Akses Terhadap Keadilan di Indonesia 2019, 2020].
Dalam penanganan penyelesaian kekerasan seksual, menempuh jalur hukum formal bisa jadi sebuah dilema, karena sama bermasalahnya dengan sistem kekeluargaan. Banyak korban enggan melaporkan kejadian kepada polisi karena takut situasi yang mereka hadapi semakin buruk. Mereka khawatir jika melaporkan dan mengungkapkan kasus tersebut memperparah trauma mereka karena saat penyelidikan mereka berpotensi menjadi korban kembali.
Penegak hukum yang di dalam dirinya telah terpatri mitos pemerkosaan, akan menyalahkan korban sebagai penyebab pemerkosaan, mempertanyakan dan mengkritik riwayat seksual mereka atau mendorong mereka untuk tidak menuntut pelaku.
Pertanyaan seperti: "Mengapa baru lapor sekarang?" "Pakaian apa yang dikenakan saat itu?" "Mengapa tidak melawan?" "Apakah Anda menikmatinya?" adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan oleh penyidik yang menangani kasus kekerasan seksual yang menerima mitos pemerkosaan. Pertanyaan semacam ini tentunya telah mengabaikan pengalaman dan trauma korban seolah-olah apa yang terjadi pada mereka adalah kesalahan mereka.
Penerimaan terhadap mitos pemerkosaan juga telah menciptakan stereotip “korban baik” yang dianggap layak untuk dibela, dan “korban tidak baik” yang tidak dapat berhak. Agar perempuan dapat dianggap sebagai korban yang layak dibela, mereka harus sepenuhnya tidak bersalah dan mematuhi ekspektasi gender normatif dalam masyarakat. Mereka tidak boleh agresif atau berisik, harus berpenampilan sopan, tidak punya riwayat kejahatan, tidak mabuk, tidak menggunakan narkoba, tidak boleh memulai kekerasan, dan tidak boleh menderita gangguan mental. [Liz Robert “The Unattainable Innocent Victim Standard ... August 19, 2024].
Mitos pemerkosaan juga membentuk keyakinan bahwa pemerkosa selalu pria dan korban selalu perempuan. Akibatnya, ketika pria mengalami kekerasan seksual, mereka mungkin dipandang atau memandang diri mereka sebagai makhluk lemah atau kurang maskulin. Oleh karena itu, korban pria enggan melaporkan kekerasan atau bahkan menyangkal bahwa mereka adalah korban dari kekerasan seksual meskipun mereka sama rentannya dengan perempuan.
Menurut Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender oleh Masyarakat Peneliti Kehakiman Indonesia (IJRS) dan INFID pada 2020, 33 persen pria telah mengalami kekerasan seksual. Meskipun pria lebih kecil kemungkinannya mengalami kekerasan seksual dibandingkan perempuan, banyak kasus yang tidak dilaporkan [IJRS, “Kekerasan Seksual pada Laki-Laki..., November 30, 2023].
Sebuah studi oleh INFID juga menunjukkan bahwa satu dari enam pria yang mengalami kekerasan seksual tidak dilaporkan, tidak diakui, dan tidak ditangani dengan baik. Data tentang kekerasan seksual terhadap pria sering diabaikan karena korban pria cenderung tidak melaporkan pengalaman mereka [IJRS, 2023].
Untuk memberikan perlindungan kepada korban dengan lebih baik, UU TPKS diusulkan oleh masyarakat dan telah disahkan pada 2022. Meskipun UU TPKS telah disahkan, polisi sering mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menangani kasus kekerasan seksual.
Karena sulitnya mencapai keadilan baik melalui sistem hukum formal maupun informal, maka korban harus berani bersuara, dan masyarakat harus mendukung mereka. Dengan berbagi dan mendengarkan cerita para korban maka kita dapat menantang dan mengatasi stigma yang terkait dengan pengalaman mereka, mengungkapkan kejahatan seksual yang sering kali disembunyikan secara sistematis.
Gerakan #MeToo adalah contoh usaha mendorong para korban untuk bersuara dan berpihak kepada mereka. Gerakan ini juga mengubah dan mematahkan mitos seputar kekerasan seksual, memberikan wadah bagi korban untuk menyuarakan penderitaan mereka, termasuk pengalaman yang mungkin terjadi pada masa silam namun para korban baru memiliki keberanian untuk membicarakannya.
Meskipun gerakan #MeToo telah menyoroti isu-isu penting terkait kekerasan seksual, gerakan ini juga menghadirkan potensi kelemahan, seperti cancel culture dan pengadilan publik melalui media sosial, yang dapat merusak prinsip praduga tak bersalah. Namun, daripada fokus pada kelemahan-kelemahan tersebut, gerakan ini harus dilihat sebagai seruan untuk memperbaiki kekurangan yang lebih luas dalam sistem peradilan yang gagal melindungi korban, dan sebagai panggilan untuk reformasi sistemik.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara lMahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara