SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
Program sejenis food estate sejak era Suharto hingga Jokowi telah menimbulkan kerusakan alam. Pemerintah dapat mewujudkan ketahanan pangan tanpa harus merusak alam.
Yusticia Amanda Putri Kusuma
Universitas Gadjah Mada
15 Desember 2024
BandungBergerak.id - Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas terbanyak kedua setelah Brazil. Dikutip dari Harian Kompas (2023), indeks biodiversitas Indonesia sebesar 418,78 yang terdiri dari mamalia sebanyak 729 spesies, reptil 772 spesies, burung 1.723 spesies, amfibi 383 spesies, ikan 4.813 spesies, dan tumbuhan berpembuluh 19.232 spesies. Indonesia juga dikenal sebagai paru-paru dunia karena memiliki hutan yang luas. Luas lahan hutan di seluruh daratan Indonesia pada tahun 2022 sebesar 96 juta hektare atau 51,2 persen dari total daratan (Media Indonesia, 2024). Keberadaan hutan beserta keanekaragaman hayati (biodiversitas) di dalamnya berperan terhadap penyediaan oksigen, penyebaran biji tumbuhan, dan indikator sehatnya alam Indonesia.
Keberadaan hutan di Indonesia semakin menyusut setiap tahunnya. Hutan di Indonesia mengalami kerusakan mencapai tiga juta hektare per tahun. Indonesia bahkan pernah mencapai angka tertinggi kerusakan hutan yaitu sebesar 3.800.000 hektare per tahun. Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan beberapa faktor, seperti kebakaran hutan, pertambangan, dan pembukaan lahan untuk permukiman, infrastruktur, perkebunan, serta persawahan (Media Indonesia, 2024).
Awal tahun 2024, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran mengampanyekan program lumbung pangan nasional yang dikenal dengan Food Estate. Program tersebut sudah berlangsung sejak era Presiden Suharto hingga Joko Widodo. Namun, pembuatan food estate tidak menciptakan ketahanan pangan yang baik. Food estate berulang kali berakhir dengan kegagalan dan berdampak besar terhadap kerusakan alam.
Food estate merupakan lahan pertanian luas yang dibuat untuk memproduksi bahan pangan di suatu wilayah. Pembuatan food estate dimulai pada zaman Presiden Suharto dengan program Mega Rice Project (MRP). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melaksanakan food estate dengan program Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). Presiden Joko Widodo membuat program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke sebagai implementasi dari food estate. Beberapa program tersebut terhenti dan dihapus karena tidak sesuai dengan harapan pemerintah.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Janji Hijau di Tengah Luka Alam
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa di Persimpangan Neoliberalisme Pendidikan, antara Performativitas Gerakan dan Tantangan Perjuangan Substantif
Presiden Joko Widodo kembali membuat program Food Estate yang termasuk salah satu Proyek Prioritas Strategis untuk periode 2020 s.d. 2024. Program tersebut dilaksanakan untuk mengatasi isu pangan sehingga mampu mewujudkan tujuan kedua Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan (Rasman dkk., 2023).
Pembuatan food estate mengalami banyak konflik dan berujung gagal. Kurangnya perencanaan dari pemerintah menjadi faktor utama kegagalan hingga membawa dampak negatif bagi alam. Proyek food estate pertama pada tahun 1995 mengembangkan lahan gambut di Kalimantan Tengah untuk pertanian. Proyek yang didambakan untuk kemakmuran rakyat dengan hamparan padi menguning justru menimbulkan masalah serius terhadap lingkungan. Lahan tersebut mudah terbakar saat kemarau dan mengalami banjir saat musim hujan. Area hutan yang dijadikan proyek terbakar secara berkala. Hutan rotan dan keramat yang dimanfaatkan masyarakat setempat menjadi rusak selama proyek berlangsung.
Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dilaksanakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengalami kegagalan karena pembuatan lahan pertanian dilakukan pada area gambut di Merauke. Area tersebut tidak cocok ditanami sayuran maupun padi. Masyarakat kehilangan hutan untuk berburu babi dan rusa serta hutan sagu sebagai sumber pangan (Rasman dkk., 2023).
Presiden Prabowo Subianto saat ini berambisi untuk melanjutkan program Food Estate yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo. Strategi yang direncanakan pemerintah yaitu dengan membuka hutan menjadi tiga juta hektare sawah dari Kalimantan Tengah hingga Maluku. Ambisi tersebut menambah kerusakan hutan akibat proyek food estate yang sebelumnya sudah dilakukan. Kerusakan hutan akibat food estate pada era Presiden Joko Widodo cukup luas dari Sumatra hingga Papua. Sebanyak 32.000 hektare hutan di Sumatra Utara, 770.000 hektare hutan di Kalimantan Tengah, dan dua juta hektare hutan di Papua terkena imbas proyek food estate (Mongabay, 2024).
Kerusakan tersebut berdampak terhadap biodiversitas di dalamnya. Beberapa spesies satwa liar dan tumbuhan kehilangan habitat asli serta sumber makanannya. Konflik antara satwa liar dan masyarakat pun tidak dapat dihindari. Tercatat terdapat tiga kasus konflik antara satwa liar dan masyarakat yang terjadi di Pulau Sumatra pada tahun 2022. Seekor orangutan mati di Taman Nasional Leuser karena dipukul menggunakan benda keras dan digigit anjing. Seekor gajah liar di Riau menginjak petani hingga tewas. Harimau di Kecamatan Bakongan Timur dan Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan sering turun ke permukiman serta memangsa ternak warga (Mongabay, 2023). Hilangnya habitat, sumber makanan, dan tindakan perburuan akibat konflik dengan masyarakat menurunkan populasi satwa liar.
Kerusakan hutan juga berpengaruh terhadap peningkatan suhu global. Suhu udara rata-rata di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 27,2°C. Nilai anomali tersebut sebesar 0,5°C dan menjadikan tahun 2023 berada di posisi kedua sebagai tahun dengan suhu tertinggi (BBC Indonesia, 2024).
Proyek food estate menjadi ancaman besar bagi biodiversitas dan memperburuk iklim di Indonesia. Populasi satwa liar dan tumbuhan akan semakin menurun akibat proyek tersebut. Suhu lingkungan menjadi semakin panas karena berkurangnya pohon sebagai penghasil oksigen.
Pemerintah tidak perlu membuka hutan menjadi sawah tanpa perencanaan yang tepat. Pemerintah dapat mewujudkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan lahan persawahan yang sudah tersedia tanpa merusak alam. Pemerintah perlu mencari solusi alternatif untuk memperkuat ketahanan pangan dengan tetap menjaga kelestarian alam. Masyarakat turut berperan dalam mengawasi dan menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang berdampak merusak alam. Dengan demikian, kelestarian alam tetap terjaga dan mampu menjadi habitat yang aman bagi biodiversitas di Indonesia.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara lMahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara