• Berita
  • Peringatan Lengsernya Suharto dalam Kemunduran Reformasi 1998 di Taman Braga dan Kebun Binatang Bandung

Peringatan Lengsernya Suharto dalam Kemunduran Reformasi 1998 di Taman Braga dan Kebun Binatang Bandung

Aksi ini dilakukan Presedium Perkumpulan Aktivis 98 dan Komite 21 Mei. Mereka menyerukan penegakan kembali amanat reformasi 1998.

Aktvis reformasi 1998 melakukan aksi 27 Tahun Reformasi di Bandung, 21 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 Mei 2025


BandungBergerak.id – Reformasi berjalan mundur, sejak runtuhnya kekuasaan Suharto 27 tahun lalu. Penguasa terus berganti, tapi wajahnya tetap sama: membungkam perjuangan rakyat. Pesan ini disuarakan Presedium Perkumpulan Aktivis 98 yang melakukan aksi Refleksi 27 tahun Reformasi dari Gedung Sate ke Kebun Binatang, Rabu, 21 Mei 2025.

Dari Gedung Sate, massa aksi melakukan longmars ke Kebun Binatang Bandung, sebagai demonstrasi simbolik bahwa aspirasi rakyat selama ini tidak didengar penguasa. Maka mereka menggeruduk Kebun Binatang yang juga tidak mungkin mendengar aspirasi.

“Sebenarnya, kebun binatang itu hanya simbol. Simbol dari kondisi ketika aspirasi rakyat tidak lagi didengar,” jelas Lukman, salah satu aktivis 98, di sela-sela aksi, Rabu, 21 Mei 2025.

Aksi ini bukan untuk mengeksploitasi hewan, tapi mengirimkan pesan tajam kepada kekuasaan sekaligus bentuk kekecewaan terhadap rezim.

“Mereka (pemerintah) tidak ada bedanya dengan binatang. Bisa diajak bertemu, tapi tidak bisa menindaklanjuti. Tidak menghasilkan keputusan yang berpihak pada rakyat,” tegas Lukman.

Hal yang sama juga disampaikan Ketua Presedium Aktivis 98, Muhammad Suryawijaya, bahwa aksi ini bukan sekadar candaan atau guyonan, tetapi simbolik dari bagaimana rakyat diperlakukan hari ini.

"Kami memilih kebun binatang sebagai simbol bahwa rakyat kini diperlakukan seperti binatang, cukup diberi makan, tidak perlu berpikir, tidak perlu merasa, apalagi bersuara," ujar Surya.

Para pejabat yang tak lagi memakai nurani, lanjut dia, juga tidak lebih dari binatang. Mereka bisa diajak bertemu dan berdialog tapi tak pernah berpihak kepada rakyat.

Mengenang Reformasi 1998

Saat masa Orde Baru berkuasa, para aktivis yang melancarkan aksi di kebun binatang merupakan mahasiswa yang datang berbondong-bondong dari Bandung ke Jakarta. Seperti dialami Rona Fortuna Fla yang menceritakan saat 1998, banyak kondisi kampus yang dijaga ketat oleh aparat. Namun mereka mengambil risiko besar dengan membajak bus DAMRI kemudian bergabung dengan massa lainnya di Jakarta.

“Kami tahu itu bisa berbahaya, tapi diam lebih berbahaya kami tidak bisa membiarkan Jakarta berdiri sendiri,” kenang Rona, mengingat masa-masa perjuangan 1998.

Rona juga mengingat beberapa bus yang mogok di jalan. Akan tetapi akhirnya mereka bisa menembus ke ibu kota. Mahasiswa dari Bandung bergabung dengan seluruh mahasiswa di Jakarta. Dua puluh tujuh tahun berlalu, 21 Mei bukan perayaan bagi Rona, tapi pengingat bahwa reformasi telah dikhianati.

Oleh karena itu, dia bersama kawan lainnya dari berbagai daerah melakukan aksi menolak diam dan menolak lupa. Sama halnya dengan Rona, Ketua Presedium Aktivis 98 Muhammad Suryawijaya menjelaskan, Mei 1998 bukan hanya angka dan penanda momentum sejarah. Momen ini sebagai luka kolektif dan harapan yang ditulis dengan darah.

Harapan itu seolah sirna dan pupus dengan wajah kekuasaan yang dipenuhi figur opertunis. Suryawijaya menyebut kabinet kekuasaan hari ini bukanlah kabinet yang profesional. Mereka dinilai gagal menerapkan nilai-nilai demokrasi.

“Kabinet hari ini bukan kabinet kerja, bukan kabinet profesional. Ini kabinet kompromi. Diisi orang-orang yang gagal konsisten terhadap nilai demokrasi dan malah menjadi alat oligarki,” jelas Surya.

Surya juga menyoroti masalah-massalah bangsa yang kini hanya diselesaikan di lapisan bawah tanpa menyentuh struktural atau aktor-aktor utama yang mengatur arah negara. Ia menilai aktor-aktor elite hanya menjaga kekuasaannya ketimbang menjalankan amanat reformasi.

“Dulu kami perjuangkan agar militer tidak masuk ranah sipil. Sekarang malah muncul kecenderungan sebaliknya. Ini kemunduran,” Lukman menimpali.

Lukman menjelaskan, demokrasi semestinya berjalan paripurna dan militer berjalan pada fungsinya yakni menjaga pertahanan negara, bukan mengisi jabatan sipil. Meski Orde Baru telah tumbang dan menjadi catatan sejarah, Lukman dengan kawan-kawannya menggugat arah reformasi yang kini menyimpang, banyak hal yang diperjuang pada 1998 kini hanya jadi catatan sejarah tanpa bukti nyata.

“Sejak 1998, banyak aspirasi diabaikan. RUU yang penting bagi rakyat kerap dibahas secara tertutup, tanpa partisipasi. Keputusan politik hanya melibatkan elite,” bebernya.

Ada pun tuntutan Presidium Perkumpulan Aktivis 1998 ini yaitu, sebagai berikut: 

  1. Jalankan Reformasi Hukum Secara Menyeluruh dan Tanpa Kompromi: tegakkan supremasi hukum secara adil dan independen tanpa intervensi politik; bersihkan institusi penegak hukum dari praktik korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan kekuasaan, dan pastikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, termasuk kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat.
  1. Laksanakan Reformasi Kabinet yang Berpihak pada Rakyat: Kabinet yang terbentuk saat ini didominasi oleh figur-figur oportunis politik yang gagal menunjukkan kapasitas dalam mengonsolidasikan nilai-nilai demokrasi, sehingga menjauhkan bangsa ini dari cita-cita luhur kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal inilah yang menjadi landasan urgensi dilakukannya reshuffle kabinet, agar pos-pos strategis diisi oleh para aktivis 98 yang memiliki legitimasi moral dan etika dalam menjaga marwah demokrasi, supremasi hukum. serta stabilitas dan keadilan ekonomi. 
  1. Perkuat Demokrasi dan Kebebasan Sipil: Hentikan segala bentuk pelemahan terhadap demokrasi, termasuk pembungkaman kritik dan represi terhadap gerakan mahasiswa; hargai demonstrasi sebagai wujud partisipasi publik dalam sistem demokrasi. 
  1. Ajak Generasi Muda Menjadi Garda Depan Perubahan: lanjutkan estafet perjuangan reformasi dengan semangat kritis, jujur, dan berpihak pada keadilan sosial. Jaga ruang-ruang dialog antara generasi untuk memperkuat kesadaran kolektif dalam membangun Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan. 
  1. Tangani Krisis Ekonomi dengan Kebijakan Pro-Rakyat: Pemerintah harus fokus pada upaya pemulihan ekonomi yang adil dan merata, serta memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan di tengah ancaman krisis global. 
Aktvis reformasi 1998 melakukan aksi 27 Tahun Reformasi di Kebun Binatang Bandung,  21 Mei 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Aktvis reformasi 1998 melakukan aksi 27 Tahun Reformasi di Kebun Binatang Bandung, 21 Mei 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Hari Peringatan Runtuhnya Kekuasaan Suharto

Masih dengan momentum yang sama, berbagai elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite 21 Mei melakukan aksi Melawan Kebangkitan  Orde Baru di Taman Braga, Kota Bandung, Rabu, 21 Mei 2025. Aksi ini mengusung isu bahwa 27 tahun Presiden Suharto tumbang namun warisan-warisan praktik politik dan ekonominya masih belum hilang.

Komite 21 Mei menuntut pemenuhan enam amanat reformasi 1998 yang dicetak dengan spanduk besar, yakni adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapus Dwifungsi ABRI, laksanakan otonomi daerah seluas-luasnya, tegakkan supermasi hukum, serta ciptakan pemerintah yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Tidak hanya spanduk, beberapa poster bernada protes yang merespons isu terkini seperti “Batalkan PKS Pemprov Jabar dan TNI AD”, “Cabut UU TNI”, “Pangkas Anggaran TNI/Polri untuk kesehatan, pendidikan, dan jaminan  sosial”, dan  “Lawan Mafia tanah di Sukahaji, Cicalengka, Dago Elos, dan SMANSA Bandung”.

Orasi-orasi yang merespons sejarah kelam  Orde Baru turut disuarakan. Di samping itu, massa aksi menyuarakan juga pentingnya memasukkan pendidikan sejarah  kritis dalam  kurikulum dan  menolak gelar pahlawan pada sang jenderal yang 32 tahun berkuasa. 

Aksi teaktrikal juga turut mewarnai jalanannya aksi, penampilan perfomance art dari Palus yang mengaku sebagai dukun urban mengajak para peserta aksi lain untuk mengenang tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) zaman Orde Baru. Aksi ini memanggil arwah “Jenderal Pelanggaran HAM” dengan cara menabur cat berwarna pink di pelantaran lantai Taman Braga. Di sana disimpan mainan tank baja dan tentara.

Palus kemudian berkomunikasi dengan sang arwah yang sedang kesakitan di akhirat. “Di sini ada hamparan, kalian akan mengalami nasib seperti korban kekerasan yang kalian lakukan. Dan hari ini, dari pembicaraan saya dengan arwah di akhirat, saya sebagai dukun urban mengajak mari kita melawan Orba sekuat tenaga, lawan Orba sekuat tenaga,” tutur Palus, di depan massa aksi.

Kevin Suhendra, perwakilan dari Komite 21 Mei mengatakan, selama Orde Baru terjadi pelanggaran HAM seperti pembantaian jutaan orang yang dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Kemudian, Tragedi Talangsari yang membantai umat Islam di Lampung Timur 7 Februari 1989, dan Tragedi Trisakti yang menyebabkan empat mahasiswa meninggal.

Kevin menjelaskan, aksi teatrikal itu menggambarkan betapa sangat berdarahnya era Orba yang membungkam  kebebasan dan selalu dihadapi represifitas. Menurutnya, sifat-sifat itu kembali  muncul dengan orang-orang yang kritis selalu dilabeli antipemerintah.

“Sebetulnya itu masih bekerja sampai hari ini, orang orang kritis dianggap antipemerintah, label komunis,” kata Kevin, Rabu, 21 Mei 2025. 

Kampanye Pendidikan Politik Melawan Bangkitnya Orde Baru

Kondisi politik setelah undang-undang TNI direvisi dirasakan oleh Komite 21 Mei sebagai bangkitnya praktik ekonomi dan politik ala Orde Baru. Kevin menjelaskan, revisi UU TNI mengguatkan militerisasi di ruang sipil. Ia juga menyoroti pendidikan karakter di barak militer. Padahal, militer seharusnya mengurusi pertahanan, bukan pendidikan atau pun urusan sipil lainnya.

“Harusnya pendidikan jadi ruang yang demokratis ruang kita bisa mengemukakan pendapat ketika masuk ide-ide militer yang dia komando berdasarkan ketaatan pada atasan itu sama sekali tidak kompatibel,” ungkap Kevin.

Kevin juga menyorot konflik agraria di Sukahaji, Cicalengka, dan SMAN 1 Bandung akibat masalah struktural yang berakar pada carut marutnya tata kelola pertanahan di era Orde Baru. Selama 32 tahun Presiden Suharto memimpin, Komite 21 Mei menilai telah terjadi upaya meminggirkan hak rakyat dan menguatnya militerisasi di ruang sipil.

“Kita lihat itu masih berlangsung, salah satu yang tidak pernah dituntaskan dari reformasi itu adalah komando teritorial tidak pernah dibubarkan. Alih-alih dibubarkan peran militer tampak diperkuat hari ini di ranah sipil,” beber Kevin. 

Kevin menjelaskan, pentingnya merawat ingatan sejarah kelam Orba dan dampak-dampak struktural baik militerisasi atau pun konflik agraria. Aksi Melawan Orde Baru ini menjadi kampanye dan pendidikan politik bagi publik untuk merawat ingatan.

Baca Juga: Catatan 24 Tahun Reformasi
Istirahat untuk Bersiap!
Reformasi Kepolisian Menjadi Keniscayaan di Tengah Merosotnya Kepercayaan Publik pada Penagakan Hukum

Reformasi Kembali ke Titik Nol 

Dua puluh tujuh tahun berlalu, Presiden Suharto telah tumbang namun struktur ekonomi dan politiknya seolah hidup kembali. Enam amanat reformasi 1998 tidak dijalankan. Kevin menilai, reformasi kembali pada titik nol sebab tokoh-tokoh reformasi yang turut mengulingkan Orba tidak berorientasi pada perubahan. 

Dengan peringatan Hari Kejatuhan Suharto, Komite 21 Mei menyatakan sikap sebagai berikut: 

  1. Hapus semua produk hukum yang antidemokrasi dan antirakyat;
  2. Bubarkan komando teritorial;
  3. Adili jenderal-jenderal pelanggar HAM;
  4. Pangkas anggaran TNI dan Polri, alihkan untuk kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial rakyat;
  5. Tolak militer masuk pabrik, kampus, dan desa;
  6. Laksanakan reforma agraria yang sejati;
  7. Batalkan PKS antara Pemprov Jabar dan TNI AD;
  8. Tarik militer organik dan nonorganik dari West Papua.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan lain tentang Reformasi 1998

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//