RESENSI BUKU: Membaca (Kembali) G30S dari Tilikan Siauw Giok Tjhan
Buku G30S dan Kejahatan Negara karya tokoh Baperki, Siauw Giok Tjhan, menawarkan perspektif yang tajam, analitis, dan berani pada peristiwa 30 September 1965.
Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha13 Juli 2025
BandungBergerak.id – Semuanya tak lagi sama setelah malam itu. Pada 30 September, atau lebih tepatnya dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Indonesia tersungkur pada salah satu malapetaka kelam dalam sejarah. Peristiwa yang dikenal sebagai G30S –atau Gestapu, jika mengikuti penggunaan istilah yang dipakai rezim Orde Baru– meletus di Jakarta.
Enam orang jenderal dan satu orang kapten diculik oleh pasukan yang menamakan diri G30S. Mereka dibawa ke Lubang Buaya, dekat markas besar Angkatan Udara. Di sana, yang masih hidup ditembak, dan semua jenazahnya dimasukkan ke dalam sumur.
Belum ada temuan yang menjelaskan siapa yang memberi perintah pembunuhan terhadap para jenderal itu. MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hlm. 586) mencatat bahwa akibat-akibatnya baru menjadi jelas berbulan-bulan kemudian. Nasakom dipereteli. Kira-kira sejuta orang dikejar, ditangkap, dan dibunuh secara massal.
Ratusan ribu orang ditahan. Puluhan ribu harus mengalami penderitaan tanpa proses hukum yang jelas. Belasan ribu dibuang ke Pulau Buru. Djoko Sri Moeljono, seorang tapol, dalam memoarnya yang berjudul Pembuangan Pulau Buru (2017, hlm. 1-6) mencatat bahwa ia diangkut kapal KM Towuti, armada yang biasa mengangkut ternak sapi.
Secara signifikan peristiwa ini mengguncang fondasi kekuasaan Sukarno. Mereka yang dianggap punya keyakinan politik kiri mengalami persekusi. Tidak sedikit yang dipecat dari pekerjaan, diusir dari kediamannya selama ini, dan keturunannya seolah berhak dicurigai, bahkan diperlakukan dengan buruk.
Menurut MC Ricklefs (hlm. 587), sejumlah pengamat mengutuk pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi di masa pemerintahan Orde Baru tersebut. Buku G30S dan Kejahatan Negara karya Siauw Giok Tjhan adalah salah satu di antaranya. Ia ditulis seorang Ketua Umum Baperki.
Buku ini menjadi penting, sebab menawarkan perspektif yang tajam, analitis, dan berani. Menarik kiranya apa yang ditulis John Rossa. Ia menjelaskan, sekaligus menyatakan kekagumannya atas komitmen Siauw terhadap rule of law. Berbeda dengan kecenderungan Marxis yang menganggap penegakan hukum sebagai langkah borjuis, karenanya tidak perlu didukung –bukan pula suatu hal yang membuat heran mengingat tesis basis menentukan suprastruktur, dalam hal ini, hukum tidak lebih penting jika dibanding politik, dan tentunya, ekonomi.
Singkatnya, John Rossa menaruh perhatian penuh pada kecenderungan buku Siauw, yang menunjukkan watak para pejuang kemerdekaan RI, yang bercita-cita menegakkan satu negara berdasarkan hukum rechstaat bukan menjadi machtstaat atau negara kekuasaan. Selain itu, ia juga menjelaskan, betapa banyak orang heran, seorang korban kekerasan seperti Siauw Giok Tjhan, yang telah mengalami kelaparan dan melihat penindasan terhadap kawan, masih memiliki kemampuan untuk menulis sebuah analisa mendalam.
"Tidak ada pengakuan yang dibuat-buat," kata John Rossa, dalam pengantar buku (2015, hlm. xvi). "Tidak ada penuturan yang tidak berdasarkan bukti-bukti kuat, dan tidak ada upaya menjelek-jelekkan orang lain."
Di buku G30S dan Kejahatan Negara, kita bisa melihat bagaimana tilikan Siauw Giok Tjhan yang cermat. Buku ini juga sekaligus merekam pergulatan etnis Tionghoa di kancah perpolitikan Indonesia, sembari menyajikan rincian yang cukup mendalam.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Perjalanan Linda Christanty dalam Hikayat Kebo
RESENSI BUKU: Sepertinya Selama Ini Saya Keliru Memandang Duka
RESENSI BUKU: Belajar dari Negeri di Ujung Tanduk
Detail dan Terperinci
Beberapa studi alternatif telah berupaya mengupas isu sensitif seperti G30S. Suatu persoalan yang berdampak signifikan dalam perubahan lanskap politik kita hari ini. Namun tentu banyak pula yang belum diketahui publik luas.
Salah satunya ialah tokoh yang bernama Siauw Giok Tjhan. Ia merupakan seorang intelektual Tionghoa-Indonesia yang aktif di era Demokrasi Terpimpin –untuk tidak menggunakan istilah Orde Lama, dalam upaya menghindari anakronisme sejarah. Ia memimpin Baperki melawan rasisme dan mencanangkan konsep integrasi secara wajar. Ia memiliki segenggam harap bahwa kelak komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku Indonesia.
Menjelang akhir periode Demokrasi Terpimpin, Siauw dan Baperki bersikap mendukung pemerintah Sukarno. Dengan demikian, pengejaran dan penangkapan yang dicanangkan Soeharto turut menghancurkan Baperki, dan tentunya, Siauw Giok Tjhan sendiri. Sejak November 1965 hingga Agustus 1978, Siauw Giok Tjhan tercatat sebagai tahanan politik.
Ia bertemu dan berdiskusi dengan banyak tokoh-tokoh penting di tahanan (sebagai catatan, ia telah mendekam di beberapa penjara. Dari kompleks Unra, Salemba, hingga tahanan rumah). Diskusi dengan para pelaku sejarah dari berbagai tingkat inilah yang mendorong Siauw untuk menganalisis G30S. Tesis utamanya: PKI secara organisasi tidak terlibat dalam gerakan tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, G30S adalah rekayasa politik untuk menghancurkan PKI dan memereteli konsepsi Nasakom. Dengan dukungan blok barat, Soeharto memainkan peran penting dalam peristiwa yang kemudian menjadi dalih pemberangusan secara sistematik selama belasan tahun. Ini jelas berbeda dengan literatur lainnya yang menuding keterlibatan PKI dan kelompok progresif yang mendukung Sukarno, termasuk komunitas Tionghoa.
Di awal, Siauw menyajikan latar belakang secara detail dan terperinci; mengupas bagaimana kronologi G30S. Ia mulai dengan mengajukan satu pertanyaan. Apakah peristiwa ini dipicu oleh provokasi Nekolim atau kecerobohan pimpinan PKI? (hlm. 1). Ia lalu menyoroti perkembangan politik internasional pada tahun 1965, yang memaksa Amerika Serikat jauh lebih melibatkan diri dalam pertempuran.
Sebagai pimpinan partai, dan sekaligus anggota DPR-GR, Siauw tentu memahami dinamika yang terjadi di tingkat elite. Bagaimana saat itu –meminjam istilah yang digunakannya– proses me-Nasakom-kan aparat negara dilakukan ke berbagai lapisan pemerintahan. Hasilnya, tidak terlalu signifikan.
“Bisa dilihat dari jumlah gubernur yang diangkat,” kata Siauw (hlm. 4). "Dari 24 Gubernur, 12 adalah perwira tinggi ABRI. Tidak ada satu pun dari mereka anggota PKI, walaupun ada gubernur berhaluan 'kiri' seperti Henk Ngantung (tokoh Lekra, yang menjadi Gubernur Jakarta Raya), Dr. Satrio (Wakil Gubernur Jawa Timur), dan Astrawinata (Wakil Gubernur Jawa Barat)."
Sebagai catatan, sejak muda nama yang terakhir disebut berkawan dengan Wikana, Sidik Kertapati, Chaerul Saleh, Johar Nur, Armunanto, karenanya kerap diasosiasikan dengan kelompok Murba. Untuk penjelasan rinci tentang hal ini, bisa dilihat uraian Robert Bridson Cribb dalam studi berkepala Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 (1990, hlm. 78). Yang layak dicermati adalah tilikan Siauw atas sikap PKI terhadap friksi PKT dan PKUS (partai komunis Tiongkok dan Uni Soviet).
PKI jelas memihak PKT. Barangkali, ini pula yang menjadi sebab mengapa istilah revisionism modern (remo) sering digunakan untuk mendelegitimasi kelompok selain PKI. Yang penting dari bagian ini, Siauw keheranan mengenai apa peran Sjam –karenanya menganggap sebagai agen ganda. Berbeda dengan penjelasan Dalih Pembunuhan Massal (2008) yang disusun John Rossa, yang menunjukkan bahwa Sjam bukanlah agen CIA atau KGB, hanya sebatas orang yang ceroboh.
Pembahasan melaju pada bagian kedua. Ia mempersoalkan keterlibatan PKI dalam G30S. Ia juga menganalisis keterangan yang menjustifikasi bahwa peristiwa kelam itu merupakan friksi yang ada di internal Angkatan Darat. Menurutnya, sebagai langkah awal, bisa dilihat dari pengadilan tokoh sipil, yang menunjukkan “Dosa Besar” para pimpinan Partindo, yang kala itu mengatakan bahwa peristiwa G30S adalah peristiwa yang berkaitan dengan urusan internal Angkatan Darat.
Di sini Siauw berupaya menyajikan akar historis yang memungkinkan bagaimana friksi di tubuh angkatan bersenjata bisa terjadi. Ia menelusuri sejak dari Peristiwa 3 Juli 1946, di mana saat itu Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh kalangan oposisi. Pembahasan melaju pada bagian ketiga. Di sana ia menguraikan soal pelanggaran hukum dan HAM.
Yang menarik, sekaligus yang jarang dipercakapkan publik, Siauw menyajikan konteks secara detail mengenai proses lahirnya sebuah dokumen bersejarah yang dikenal sebagai KOK: Kritik-Otokritik, yang kemudian memantik proyek Blitar Selatan. Berdasarkan diskusi di dalam tahanan, Siauw juga memberikan sejumlah analisis mengenai kegagalannya, yang mendorong pemerintahan Soeharto untuk lebih ganas melakukan penangkapan massal (hlm. 116-121).
Tentu masih banyak tilikan yang dibahas Siauw dalam buku ini. Misalnya, seperti sikap kader-kader yang mengecewakan, yang tidak menunjukkan sikap komunis, karenanya menjadi “tukang tunjuk” dan turut menyiksa para tahanan. Selain itu, ia juga membicarakan kebijakan ekonomi Pemerintah Militer Soeharto, dan proses melenyapnya demokrasi di Indonesia.
Mempersoalkan Kebijakan Anti-Tionghoa
Buku ini juga turut merekam pergulatan identitas Tionghoa-Indonesia dalam politik. Di sini Siauw berupaya melacak akar historis yang memicu ledakan Anti-Tionghoa sejak era kolonial. Menurutnya, Belanda menjadikan golongan Tionghoa sebagai perisai dalam menghadapi kekecewaan rakyat.
“Inilah yang harus dimengerti dan disadari oleh setiap orang yang berjuang mengikis habis sisa-sisa imperialisme,” tulis Siauw (hlm. 165).
Secara singkat, uraian –yang menunjukkan pemahaman Siauw– mengenai persoalan hukum dan HAM, begitu memuaskan. Tentu tidak mengherankan jika mengingat Siauw merupakan tokoh Baperki, sebuah organisasi yang tegas berupaya memperjuangkan hak-hak Tionghoa-Indonesia. Namun di sini ia menulis dari posisi yang berbeda: bukan lagi sebagai ketua partai, tetapi merupakan pihak yang terdampak dari gerakan dan kebijakan anti-Tionghoa yang diperkuat Orde Baru.
Siauw juga memberikan analisa mendalam mengenai konteks yang lebih luas. Misalnya, ia mencatat bagaimana Baperki sebagai sebuah kekuatan efektif mampu mempengaruhi jalan pikiran warga Tionghoa untuk mendukung kebijakan Bung Karno, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan yang menentangnya. Ia juga mempersoalkan secara jitu kebijakan Orde Baru, yang pada 25 Juli 1967, secara resmi mengganti penggunan istilah Tionghoa dengan Cina.
*
Sekali lagi, buku ini penting. Sebab menyuarakan perspektif lain, yang bahkan bertentangan dengan narasi dominan yang muncul di puncak kekuasaan Orde Baru. Gaya penulisannya lugas. Meskipun pada beberapa bagian terasa emosional.
Bukti-bukti yang disajikan, seperti dokumen resmi yang dikeluarkan Baperki dan interview dengan para tahanan politik, menunjukkan ketajaman analisisnya. Selain itu, buku ini kian menjadi relevan, terutama di tengah upaya “pembuatan buku sejarah dengan tone positif” yang membuka kembali percakapan publik mengenai pelanggaran HAM. Namun tentu saja ia tidak lepas dari kelemahan.
Meski disertakan beberapa gambar yang memudahkan pembaca, tetapi buku ini tidak dilengkapi Daftar Pustaka. Agak disayangkan. Sebab, untuk lebih membantu memahami masa lalu, kehadiran buku semacam ini mutlak perlu.
Informasi Buku
Judul: G30S dan Kejahatan Negara
Penulis: Siauw Giok Tjhan
Penerbit: Ultimus Bandung
Ketebalan: xxx + 234 halaman, 14,5 x 20,5 cm
ISBN: 978-602-8331-68-5
Cetakan 1, Oktober 2015
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya dari Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lain tentang Resensi Buku