RESENSI BUKU: Perjalanan Linda Christanty dalam Hikayat Kebo
Hikayat Kebo kebo merupakan kumpulan artikel hasil liputan Linda Christanty. Kebo adalah pembuat onar yang berakhir nahas.
Penulis Yopi Muharam22 Juni 2025
BandungBergerak.id - Linda Christanty bagi saya adalah jurnalis yang seniman. Dia menuangkan perjalanan hidupnya dan kehidupan orang-orang pinggiran lewat tulisan. Salah satu karya monumentalnya berjudul “Hikayat Kebo: Sehimpun Laporan Tentang Orang Pinggiran”.
Di antologi 17 judul ini Linda melukiskan pelbagai kesaksian orang-orang yang suaranya, atau bahkan eksistensinya, kerap dilupakan.
Hikayat Kebo awalnya salah satu artikel Linda di majalah Pantau, media berhaluan jurnalisme sastrawi yang eksis antara tahun 2000-2003. Tulisan tersebut juga dibukukan dalam buku antologi liputan mendalam Jurnalisme Sastrawi yang diterbitkan Yayasan Pantau.
Secara umum gaya tulisan Linda lugas dan tajam. Dia mampu menggambarkan setiap peristiwa yang dilihatnya dalam bentuk cerita. Menyimak tulisan-tulisannya seperti membaca novel. Kita akan dibawa masuk ke dalam alur yang dibekali oleh fakta dan peristiwa.
Maka dari itu, jika ada yang bertanya siapa penulis atau jurnalis favorit, maka dengan tegas saya akan mengatakan Linda Christanty adalah orangnya. Perempuan kelahiran Pulau Bangka, 18 Maret 1970 itu setidaknya memengaruhi saya ketika menulis jurnalisme dalam bentuk bercerita atau feature.
Di beberapa kali kesempatan ketika saya mengikuti pelatihan menulis, tulisan Linda dalam Hikayat Kebo kerap dibahas. Bagi beberapa penulis, kunci tulisan kuat berawal dari sebuah teras berita. Linda mempraktikkan dengan ciamik.
Lulusan sastra Perancis Universitas Indonesia itu mengawali tulisan Hikayat Kebo dengan detail, tajam, penuh emosi, dan tak bertele-tele:
Jalan itu lurus. Berangkal batu, pecahan keramik, kristal semen, melapisi permukaannya. Bias cahaya meriah dari papan reklame dan logo pertokoan memberinya siluet. Minggu, 20 Mei 2001, pukul 21.00, sebuah taksi biru merayap di sana. Jarum speedometernya menunjuk angka 15 kilometer per jam. Setelah melampaui satu tingkungn dan disambut sorot neon 40 watt, kendaraan tersebut berhenti.
Hikayat Kebo merupakan hasil dari liputan mendalam Linda. Liputan ini menggambarkan sesosok pria bernama Kebo yang menjadi korban krisis keadilan sekaligus pelaku pembuat onar.
Kebo hidup sebagai pemulung yang tinggal di lingkungan pemulung, di bedeng yang dibangun di lahan kecil di pusat Jakarta. Pria itu sering keluar-masuk lapas karena gemar membuat keributan di mana pun tanah yang dipijaknya. Suatu malam, ketika di teler dan membawa dua orang PSK ke kamarnya, menjadi petaka dan akhir dari segala kebrutalan hidupnya.
Kebo yang tempramen murka karena dua PSK menolak bercinta sesama jenis. Kebo yang marah langsung mengancam akan membakar mereka bersama bedeng-bedengnya. Nahas, pembakaran tersebut malah merembet ke rumah tetangga. Api merambat ke seluruh perkampungan pemulung.
Walhasil, Kebo diburu oleh warga. Sudah lama warga jengah dengan perilaku Kebo yang kerap kali memalak, bertindak seenaknya, dan keonaran lainnya. Warga yang marah langsung menangkap Kebo dan mengaraknya. Kebo dibakar di sebuah tempat pembuangan sampah sementara.
Kebo memiliki seorang istri yang tinggal di desa kecil bernama Sisalam, Brebes, Jawa Tengah. Dalam menyusun laporan jurnalistiknya, Linda menemui istrinya yang bernama Muah. Linda mendapatkan kesaksian bahagaima kehidupan Kebo dari sudut pandang sang istri.

Kehidupan yang Diceritakan
Di buku yang diterbitkan tahun 2019, Linda mengulas perjalanan hidupnya sendiri. Orang tuanya memboyong Linda saat masih duduk di bangku SMA ke Kota Bandung. Di asrama mahasiswa, dia banyak bergaul dengan abang kelas dan bersentuhan dengan buku sastra.
Linda merupakan penulis fiksi dan nonfiksi. Di umur remajanya yang ke-19 (1989), ia menerbitkan tulisan pertamanya untuk dikonsumsi publik berjudul Daun-Daun Kering. Tulisannya itu dimuat oleh harian umum Kompas dan dibukukan di Riwayat Negeri yang Haru: Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990, yang terbit pada Juni 2006. Dia juga merupakan jurnalis perempuan yang giat menyuarakan isu-isu pinggiran.
Kendati sudah lama tak bekerja sebagai jurnalis, hingga kini Linda masih aktif menulis opini atau esai di berbagai media besar. Salah satunya di situs harian Kompas.
Kurang-lebih sudah ada 9 buku yang dia terbitkan. Beberapa bukunya sudah dialihbahasakan ke berbagai bahasa, seperti Inggris, Prancis, Jepang, Thailan, Jerman, hingga Arab. Buku teranyar Linda berjudul “Jangan Percaya Surat Palsu: Laporan Jurnalistik tentang Konflik di Maluku Utara, Bahasa, dan Kura-Kura” (2024).
Baca Juga: RESENSI BUKU: Gadis Pantai, Jejak Pergundikan dalam Feodalisme Jawa
RESENSI BUKU: Like a Thief in Broad Daylight, Cara Kekuasaan Bekerja dan Gimana Ngakalinnya
Dari Aceh ke Wiji Thukul
Di artikel “Ketika Pertama Ke Aceh”, Linda menceritakan pertemuannya dengan pebisnis kelas kakap bernama Agam Patra. Linda diantarkan Agam dengan mobil mewahnya ke sebuah perkampungan yang terhantam tsunami 2004. Di sana dia bertemu dengan Rini, jurnalis yang juga menulis di majalah Pantau.
Selama di kota serambi Mekah, Linda tak hanya menceritakan tentang pengalaman pribadi. Dia menulis keseharian serdadu dalam judul ‘Batalyon Terakhir’, tentang tentara dari Yonif 401/Banter Raider. Mereka merupakan pasukan terakhir yang tempatkan di Aceh, sebelum resmi ditarik pada tahun 2005.
Linda juga masuk ke jantung pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pengalaman ini ia tuliskan dalam artikel ‘Orang-Orang Tiro’. Linda menggambarkan pertemuan dengan para anggota dan petinggi GAM, seperti Sarjani Abdullah, mantan panglima GAM.
Linda berkenalan dengan keluarga Hasan Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka, yang lama merantau ke Amerika Serikat. Dalam tulisannya ini, Linda mengulik lebih dalam alasan orang Aceh harus memisahkan diri dari Indonesia.
“Menurut Hasan Tiro, Aceh harus merdeka. Tidak ada jalan lain,” ujar Kamal, salah satu narasumber yang Linda wawancarai (halaman 159).
Menurut Kamal, tak mungkin negara sebesar Indonesia dapat dikendalikan dengan adil. Banyak ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh yang akhirnya mereka keukeuh memilih jalur referendum daripada bergabung dengan NKRI.
Judul lain yang menceritakan khusus tentang Aceh antara lain, ‘Tak Ada Jalan Lain ke Teluk Dalam’ yang bercerita tentang suatu jalan yang dikenal angker. Konon, banyak warga Aceh yang dibunuh di jalan tersebut. Cerita itu diperkuat dengan cerita Linda ketika dia melewati jalan tersebut.
Atau tulisan berjudul “Aceh Dalam Sepiring Rujak”. Di tulisan ini, rujak ternyata bukan hanya makanan penutup semata. Bagi masyarakat Aceh, rujak merupakan makanan yang dapat disantap bersamaan, bahkan mampu merawat kebersamaan masyarakat Aceh itu sendiri. “Di Aceh rujak atau kopi sering berstatus menu utama,” tulis Linda (halaman 185).
Tulisan lain Linda mengupas kehidupan sesama penulis berjudul “Namaku Bre Redana”, jurnalis senior yang mendedikasikan separuh waktunya menulis di Kompas.
“Setelah di Kompas saya enggak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis. Saya enggak mau diperbudak lagi,” kata Ben. Linda sangat detail menceritakan Ben, dari mulai dirinya menulis di bangku kerja miliknya, hingga dia teler karena pengaruh alkohol.
Dari Ben, Linda beralih ke Wiji Thukul, sejawatnya semasa masih tergabung dalam Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) dalam tulisan berjudul “Wiji Thukul dan Orang Hilang”. Dia tak hanya menceritakan latar kehidupan sang penyair yang disiksa lalu dihilangkan oleh Orde Baru lewat tangan-tangannya di militernya, tetapi juga mengulas para aktivis lain yang yang diculik. Dihilangkan. Hingga kini keberadaan mereka tak diketahui.
“Saya mendengar nama Thukul pertama kali pada 1994. Ketika itu pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik baru saja selesai. Wiji Thukul terpilih sebagai ketua divisi budaya organisasi ini,” tulis Linda, menceritakan awal mula perkenalannya dengan Thukul (halaman 59).
Linda menceritakan keseharian Thukul sebelum dihilangkan melalui alur tulisan memikat dan penuh teka-teki. Ke mana Thukul setelah sempat pulang ke rumahnya di Solo?
Untuk menanggalkan teka-teki itu, Linda menulis lebih dalam tentang sajak-sajak yang dituangkan Thukul. Sampai sekarang sajak-sajak itu masih populer dan sering dibawakan para demonstran.
Masih banyak tulisan-tulisan lain dari Linda Christanty, seperti “Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer”, “Jurnalisme dalam Sepotong Amplop”, “Adakah Pelangi dalam Islam?”, “Gaya Nusantara”, “Kenzaburo Oe dan Gerabang Dewa Guntur”, “Menunggu Wali”, “Pelajaran tentang Keberanian”, “Sebuah Bahasa Sebuah Komunitas”, dan “Mengapa Saya masih di Aceh”.
Semua tulisannya bikin pembaca kepincut. Linda bukan penulis biasa. Dia adalah seniman.
Informasi Buku
Judul Buku: Hikayat Kebo: Sehimpinpunan Laporan tentang Orang-Orang Pinggiran
Penulis: Linda Christanty
Penerbit: Circa
Cetakan: 1, Januari 2019
Jumlah halaman: 212.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB