RESENSI BUKU: Gadis Pantai, Jejak Pergundikan dalam Feodalisme Jawa
Lewat novel Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer memperlihatkan dan membongkar praktik feodalisme yang tidak memiliki adab dan rasa kemanusiaan.
Penulis Muhammad Ridwan Tri Wibowo15 Juni 2025
BandungBergerak.id – Di laman Historia.id, aku membaca sedikit kisah Sujatin Kartowijono dalam artikel yang berjudul Menolak Feodalisme. Artikel tersebut menuliskan bahwa Sujatin sangat menolak gaya hidup keraton, terutama kasus perseliran.
Menurutnya, kasus perseliran atau pergundikan hanya membuat perempuan sebagai barang yang diperjual-belikan, lalu diambil menjadi selir kapan saja oleh raja. Dan, baginya itu adalah sebuah penghinaan. Membaca itu, aku jadi teringat oleh salah satu novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Gadis Pantai. Menurut penuturannya Pram sendiri, novel tersebut terinspirasi dari kisah neneknya.
Tema yang diangkat Pram dalam novel tersebut juga berkisar pada masalah feodalisme yang mengakibatkan adanya pergundikan di kalangan priayi Jawa. Lewat novel tersebut Pram memperlihatkan dan membongkar praktik feodalisme yang tidak memiliki adab dan rasa kemanusiaan.
Dengan latar di zaman penjajahan Hindia Belanda, priyayi juga berkontribusi terhadap lahirnya diskriminasi dan ketidakadilan kepada perempuan.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Mengenal Realisme Magis dalam Negeri Kaum Budak
RESENSI BUKU: Memahami Meursault si Tokoh Absurd dalam Novel Albert Camus
RESENSI BUKU: Like a Thief in Broad Daylight, Cara Kekuasaan Bekerja dan Gimana Ngakalinnya
Sinopsis
Novel Gadis Pantai berkisah tentang seorang perempuan anak nelayan yang hidup di pesisir Laut Jawa, Rembang, Jawa Tengah. Gadis Pantai mempunyai badan langsing dan kulit berwarna kuning langsat.
Karena kecantikannya itulah, ia mendapatkan malapetaka. Pada usia 14 tahun, ia dipaksa menikah dengan seorang Bendoro yang di tinggal di kota Rembang. Bendoro tersebut adalah seorang priayi Keresidenan Rembang yang bekerja sebagai pegawai Belanda. Dengan jabatan dan status sosialnya, Bendoro bisa seenak hati merebut kehidupan Gadis Pantai untuk menjadi selir atau gundik.
Dijadikannya Gadis Pantai menjadi gundik bukanlah tanpa maksud. Bendoro melakukan itu karena ia mau Gadis Pantai melayani kebutuhan seksnya, sampai di kemudian hari Bendoro memutuskan menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya. Gadis Pantai sendiri adalah istri percobaan kelima.
Selain bisa seenaknya merebut paksa kehidupan Gadis Pantai, Bendoro pun menikahi Gadis Pantai dengan sebilah keris yang mewakili dirinya. Jadi, dalam budaya Feodalisme Jawa seorang pembesar Jawa harus mewakili dirinya dengan keris, jika ia menikahi seseorang dari golongan kelas bawah.
Waktu berlalu, hingga akhirnya Gadis Pantai sudah tinggal bersama Bendoro. Di sana, ia mempertanyakan dirinya kenapa ia jadikan gundik oleh Bendoro kepada pelayan tua yang biasa disebut Bujang.
Bujang menjelaskan kejadian itu telah lama terjadi, dan sudah menjadi tradisi pembesar Jawa. Dan, masyarakat Jawa menganggap itu adalah hal yang lumrah karena itulah bentuk pengabdian kepada pembesar Jawa.
Selain itu, dalam novel Gadis Pantai, Pram juga menuliskan bagaimana orang-orang yang status sosialnya lebih rendah harus berlutut dan berjongkok ketika berhadapan dengan Bendoro. Tak kecuali, Gadis Pantai yang merupakan selirnya.
Tak berhenti di situ, Gadis Pantai terus mendapatkan penindasan dan penghinaan dari Bendoro. Ketika Gadis Pantai telah melahirkan anaknya, Bendoro malah menceraikannya dan mengambil anaknya dari pelukannya untuk selamanya.
Karena, Gadis Pantai hanya orang dari golongan rendah, ia tak bisa menuntut haknya. Ia tidak punya kuasa untuk melawan Bendoro. Maka, mau tidak mau ia harus menuruti semua perintah Bendoro.
Nah, membaca novel tersebut, aku jadi bertanya-tanya: Apakah yang dikisahkah Pram itu benar adanya? Kalau benar kenapa bisa terjadi demikian?
Akar Masalah
Permasalahan di atas bermula dari sistem patriarki yang berjalan di masyarakat Jawa. Dalam sistem tersebut, laki-laki mempunyai hak istimewa untuk memegang dan mendominasi kekuasaan dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lainnya.
Kemudian, sistem ini terus berjalan di masyarakat Jawa hingga datanglah budaya feodalisme. Dalam budaya feodalisme, patriarki semakin memperkuat dominasi laki-laki sebagai pemilik kekuasaan, bahkan dengan cara menjadikan posisi perempuan semakin rentan dan tereksploitasi.
Dalam budaya feodalisme Jawa, perempuan digambarkan sebagai pengabdi laki-laki, bahkan nasibnya saja ditentukan oleh laki-laki dan perempuan tidak boleh menentukan nasibnya sendiri.
Misalnya dalam berumah tangga, ada ungkapan Swarga nunut nraka katut. Ungkapan tersebut berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan perempuan sepenuhnya tergantung pada laki-lakinya (Sofwan dan Sukri, 2001: 7). Ini tak jauh berbeda dengan nasib Gadis Pantai setelah dinikahi oleh Bendoro.
Menurut Mochtar Lubis (dalam Sofwan dan Sukri 2001: 15), corak masyarakat Jawa yang sangat feodalistik itu akibat hegemoni kerajaan. Ini sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha yang dibawa dari India. Masyarakat Jawa sendiri secara umum terbagi menjadi tiga golongan masyarakat.
Pertama, golongan atas yang diisi oleh para bangsawan atau priayi. Kedua, golongan menengah yang terdiri dari kaum pedagang, kiai, dan santri. Lalu, golongan bawah yang terdiri dari masyarakat yang bekerja sebagai petani, nelayan, dan lain sebagainya.
Di abad 18, yang dimaksud kaum bangsawan atau priayi adalah kaum yang bekerja pada Belanda. Hal ini seperti yang dituliskan Kuntowijoyo (2006:33) bahwa kaum priayi adalah golongan yang telah lepas dari ikatan kraton dan bekerja dengan pemerintah Hindia Belanda.
Munculnya golongan priayi itu merupakan bentuk budaya baru, yaitu budaya Banyumasan atau Semarangan atau biasa disebut budaya pesisir. Nah, pada budaya tersebut, kelas priayi diisi oleh para Bupati yang melahirkan Bendoro-bendoro, yang bekerja di bawah pemerintah Hindia Belanda.
Kembali lagi, menurut Mochtar Lubis (dalam Sofwan dan Sukri 2001: 15), pada abad ke-18, kaum priayi adalah aktor penting yang memainkan aktivitas pergundikan. Pada masa itu, kedudukan perempuan–khususnya yang berasal dari golongan bawah–semakin tertindas.
Perempuan, di masa itu menjadi objek kekuasaan kaum Belanda dan priayi. Kemudian seperti yang dikisahkan Pram melalui novel Gadis Pantai bahwa kaum priayi melakukan pergundikan jika belum menemukan perempuan yang sederajat dengannya.
Mungkin, kita bertanya-tanya mengapa masyarakat Jawa bisa menerima ketidakadilan dan penindasan itu. Ya, itu karena hegemoni dari kerajaan masih sangat mengakar kuat. Raymond William (dalam Eriyanto, 2001:104), menyatakan bahwa hegemoni bekerja melalui dua acara: ideologi dan budaya.
Melalui hegemoni itulah ideologi kelompok dominan, nilai adat, budaya, dan budaya disebarkan dan ditularkan kepada kelompok non-dominan. Kemudian, hal itu dianggap wajar dan masyarakat luas normalisasinya dengan sukarela.
Pertanyaan, mengapa masyarakat bisa menerimanya secara sukarela?
Sri Suhandjati dan Ririn Sofwan (2001) pernah meneliti karya sastra klasik Jawa yang lahir pada abad 18 hingga 19. Karya yang ditelitinya berupa mitos, dongeng, dan paling banyak adalah babad yang ditulis oleh pujangga keraton dan bangsawan Jawa.
Dalam Serat Wulang Estri karya Pakubuwana X dan Serat Candrarini karya Ranggawarsita, kedudukan perempuan dituliskan hanya sebatas sektor domestik. Kemudian dalam Serat Wicara Keras karya Raden Ngabehi Yasadipura II, seorang istri harus menjalankan istilah wedi lan bekti ing laki. Artinya istri harus takut dan berbakti kepada suami.
Selain itu, dari karya-karya di atas, perempuan juga digambarkan sebagai manusia yang tidak mempunyai hak untuk berbicara dan berpendapat. Dan, akhirnya hal itu dipercaya dan berkembang di luar lingkup keraton dan diterima secara sukarela oleh masyarakat Jawa. Bahkan, menjadi warisan budaya secara turun-menurun.
Identitas Buku
Buku : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Cetakan : Ketujuh, 2011
Halaman : 272 halaman
Dimensi : 13 x 20 cm
Cover : Soft cover
ISBN : 979–97312–8–5
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Resensi Buku