RESENSI BUKU: Like a Thief in Broad Daylight, Cara Kekuasaan Bekerja dan Gimana Ngakalinnya
Buku Like a Thief in Broad Daylight karya Slavoj Žižek membongkar cara kekuasaan bekerja di zaman kita yang serba terkoneksi. Dan, bagaimana cara ngakalinnya.
Penulis Fadlan8 Juni 2025
BandungBergerak.id – Udah bukan rahasia lagilah ya, gimana pinjaman online (pinjol) ilegal bisa bikin hidup orang dari yang tadinya biasa aja jadi kayak naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Nawarin duit cepat tanpa ribet, eh, tahu-tahunya bunganya lebih ganas dari ibu tiri di sinetron. Cara nagihnya bikin pengen pindah planet, belum lagi data pribadi kita diobok-obok kayak cucian kotor.
Celakanya, yang terjebak itu enggak cuma emak-emak yang lagi kepepet bayar arisan, tapi juga kita-kita ini, anak muda yang katanya melek teknologi, atau bahkan orang tua kita yang mungkin gaptek tapi butuh dana darurat. Cuma modal klik-klik di layar HP, eh, langsung terjerat utang yang bikin kalkulator jebol.
Ironisnya, teknologi yang katanya diciptakan buat bikin hidup makin gampang, malah jadi alat buat "nyolong" duit kita secara terang-terangan. Lebih parahnya lagi, kadang kita sendiri yang kayak "sukarela" ngasih kunci brankas ke malingnya.
Nah, situasi semacam pinjol ilegal ini, di mana sesuatu yang jelas-jelas merugikan dan eksploitatif bisa melenggang kangkung, bahkan dianggap "solusi" sama sebagian orang, itu persis kayak tema sentral yang coba diungkap sama Slavoj Žižek. Siapa dia?
Dia ini filsuf dari Slovenia yang meskipun penampilannya acak-acakan tapi pikirannya setajam silet. Bukunya yang bakal kita obrolin ini judulnya aja udah bikin pengen ngumpat: “Like a Thief in Broad Daylight: Power in the Era of Post-Humanity”. Terjemahan bebasnya ya itu tadi, "Kayak Maling di Siang Bolong". Udah kebayang kan, gimana pedesnya isi buku ini?
Buku ini ibarat senter super terang yang nyorot ke sudut-sudut paling gelap dan paling absurd di dunia kita. Žižek kayak mengajak kita buat berhenti sejenak dari scroll-scroll timeline enggak jelas dan mulai bertanya, "Eh, bentar, ini sebenernya apa sih yang lagi kejadian? Kenapa banyak banget hal aneh bin ajaib yang kita lihat tiap hari, tapi kok kita seringnya nggak sadar, atau malah nerima gitu aja kayak anak TK dikasih permen?"
Baca Juga: RESENSI BUKU: Merahnya Merah yang Menjengkelkan
RESENSI BUKU: Mengenal Realisme Magis dalam Negeri Kaum Budak
RESENSI BUKU: Memahami Meursault si Tokoh Absurd dalam Novel Albert Camus
Filsafat itu Katanya "Ngerusak" Anak Muda, Biar Nggak Jadi Bebek
Di awal bukunya, Žižek, si filsuf gondrong ini, ngutip filsuf lain, Alain Badiou, yang bilang kalau tugas filsafat itu sejatinya "merusak" anak muda. Eits, jangan langsung mikir ngerusak jadi berandalan yang suka tawuran atau nyolong mangga tetangga, ya. Maksudnya "merusak" di sini itu ngerusak cara pandang kita yang udah kadung disetel sama aturan main masyarakat, biar kita bisa mikir sendiri, lebih kritis, dan enggak gampang jadi bebek yang cuma ngekor rombongannya.
Ingat Socrates? Filsuf legendaris Yunani Kuno itu akhirnya dihukum minum racun gara-gara dianggap "ngeracuni" pikiran anak muda Athena dengan pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Para filsuf kelas kakap lainnya, dari Plato, Descartes, Spinoza, Hegel, sampe Nietzsche yang kumisnya kayak sapu ijuk itu, semuanya punya peran "ngerusak" kemapanan pada zamannya masing-masing. Mereka enggak takut buat mempertanyakan adat istiadat, mitos, keyakinan, bahkan moralitas yang udah dianggap sakral dan enggak boleh diganggu gugat.
Nah, di zaman now yang serba digital dan katanya serba bebas ini, Žižek-lah yang ngambil peran jadi "provokator intelektual". Dia "ngeracuni" kita biar kita bertanya-tanya soal dunia kita sendiri. Kehidupan modern dengan segala kemajuan teknologinya dan sistem ekonominya, kata Žižek, justru lagi bikin kita bingung soal apa sih artinya jadi manusia seutuhnya, dan apa sih yang benar-benar nyata di tengah gempuran informasi dan ilusi ini.
Nihilisme Zaman Now: Bebas Memilih, tapi Kok Malah Hampa?
Žižek melihat kalau kita sekarang ini hidup di era nihilisme yang unik. Bukan nihilisme model emo yang murung dan putus asa sambil dengerin lagu sedih di pojok kamar. Bukan. Nihilisme sekarang ini, kata Žižek, justru ngebungkus dirinya dengan jubah "kebebasan" tanpa batas. Kita dikasih banyak banget pilihan. Mau jadi apa aja, katanya bisa. Mau ganti gaya rambut, ganti pacar kayak ganti casing HP, ganti hobi tiap minggu, sampai ganti "identitas" di media sosial, semuanya kelihatan gampang banget.
Tapi, tunggu dulu, Sob. Kebebasan ini beneran bebas, atau cuma ilusi yang bikin kita makin terikat sama sistem yang ada? Kayak pinjol tadi, nawarin "kebebasan" finansial instan, tapi ujung-ujungnya malah menjerat leher kita lebih kenceng dari kacu pramuka. Menurut Žižek, kita "bebas" memilih, tapi pilihan kita itu sebenarnya udah diarahin sama iklan yang berseliweran di HP, sama tren yang diciptain influencer bayaran, sama apa kata circle pergaulan biar enggak dibilang kuper.
Akibatnya? Kita jadi kayak hamster yang lari di roda putar. Kelihatannya sibuk banget, keringetan, tapi aslinya enggak ke mana-mana. Kita jadi gampang bosan, gampang cemas, dan sering ngerasa hidup ini kok kayak enggak ada gereget-geregetnya, ya? Hampa gitu. Ini yang disebut Žižek sebagai "nihilisme" zaman now. Bukan berarti kita semua jadi ateis atau enggak percaya apa-apa, tapi lebih ke perasaan kosong dan kehilangan pegangan nilai yang benar-benar fundamental.
Yang lebih parah, kita malah sering bangga sama "pelanggaran-pelanggaran" kecil. Hal-hal yang dulu dianggap tabu atau enggak sopan, sekarang malah jadi biasa aja, bahkan dicari-cari biar viral dan jadi konten. Seni yang aneh-aneh sampai kelakuan yang nyeleneh, semua dilakukan demi engagement dan perhatian.
Kalau udah begini, terus kita mau lari ke mana? Tugas kita sekarang, kata Žižek, adalah ngelihat dengan jelas di mana sih letak masalah utamanya, dan gimana caranya biar kita enggak terus-terusan muter di lingkaran setan yang melelahkan ini.
Kabar Buruk, Kabar Baik, dan Sudut Pandang yang Bikin Kaget
Žižek sering banget pakai analogi yang bunyinya gini: "kabar buruk dulu, baru kabar baik... yang mungkin malah lebih buruk lagi". Maksudnya gimana nih? Kabar buruknya adalah, harapan buat perubahan radikal yang benar-benar ngubah sistem itu sering kali layu sebelum berkembang. Gampang banget buat jadi pesimis dan mikir kalau perubahan itu cuma mimpi di siang bolong.
Tapi, Žižek mengajak kita buat enggak buru-buru nyari "kabar baik" yang instan dan artifisial. Sebaliknya, dia mengajak kita buat nemuin kabar baik di dalam kabar buruk itu sendiri, dengan cara mengubah sudut pandang kita. Contohnya, teknologi AI yang katanya bakal ngambil alih pekerjaan manusia dan bikin banyak pengangguran. Itu kan jelas kabar buruk.
Tapi, coba deh dilihat dari sisi lain, kata Žižek. Kalau AI bisa ngerjain banyak hal yang monoton dan membosankan, berarti manusia bisa kerja lebih sedikit, dong? Punya lebih banyak waktu buat main, belajar hal-hal baru yang lebih seru, atau ngelakuin apa yang benar-benar kita suka. Nah, kenapa kok kabar sebaik ini malah jadi bikin kita takut dan panik? Ini nunjukkin ada yang salah sama sistem masyarakat kita yang mengukur nilai manusia cuma dari produktivitas kerjanya.
Contoh lain, kasus-kasus korupsi kelas kakap yang terbongkar. Itu jelas kabar buruk soal moralitas pejabat kita yang bobroknya minta ampun. Tapi, di sisi lain, itu juga kabar baik, karena akhirnya boroknya ketahuan, dan masyarakat jadi lebih sadar dan melek politik. Atau gerakan cewek-cewek yang berani speak up soal pelecehan seksual. Ini mungkin awalnya bikin heboh dan enggak nyaman buat sebagian orang, tapi ini adalah langkah besar buat kesetaraan dan keadilan. Jadi, intinya, jangan cuma ngeliat sisi negatifnya aja, tapi coba cari "celah" positif di baliknya.
Kekuasaan Licin di Era Digital dan Ancaman "Post-Humanity"
Salah satu fokus utama Žižek di buku ini adalah gimana kekuasaan bekerja di zaman kita yang serba terkoneksi ini. Kekuasaan sekarang udah enggak kayak raja atau presiden yang duduk manis di singgasana dan kelihatan jelas batang hidungnya. Sekarang, kekuasaan itu lebih licin, lebih canggih, dan sering kali enggak kelihatan wujudnya. Dia bisa nyusup lewat HP yang kamu pegang tiap hari, lewat algoritma media sosial, dan lewat aplikasi belanja online favoritmu.
Melalui algoritma, mereka bisa mengatur berita apa yang kamu baca, video apa yang kamu tonton, barang apa yang muncul di etalase online shop-mu, lagu apa yang cocok buat nemenin kegalauanmu, bahkan (katanya sih!) nentuin siapa jodohmu lewat aplikasi kencan. Kita ngerasa bebas menulis status galau, nge-like foto mantan, nge-share meme receh, padahal semua aktivitas kita itu direkam, dianalisis, dan dipakai buat ngendaliin kita secara halus, biar kita tetap jadi konsumen yang patuh dan warga negara yang enggak banyak protes.
Ingat kasus Cambridge Analytica yang heboh itu? Katanya sih mereka make data pengguna Facebook buat ngarahin pilihan orang di pemilu. Itu salah satu contoh konkret gimana "kekuasaan digital" bekerja. Kita ngerasa bebas berekspresi di medsos, padahal tanpa sadar kita lagi "dimainin" sama kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari sekadar jumlah followers kita.
Žižek juga ngomongin soal "post-humanity", sebuah era di mana batas antara manusia sama teknologi makin kabur, makin ambyar. Dulu, manusia ya manusia, mesin ya mesin. Bayangin aja, sekarang udah ada teknologi buat nyambungin otak manusia langsung ke komputer, kayak di film-film fiksi ilmiah. Keren sih kedengerannya, bisa buat ngobatin penyakit atau ningkatin kemampuan otak jadi kayak Einstein. Tapi, di sisi lain, ini juga ngebuka pintu buat bentuk-bentuk kontrol baru yang lebih ngeri dan lebih invasif dari yang pernah kita bayangin. Mau jadi setengah robot, setengah manusia? Mikir lagi deh.
Ideologi: Kacamata yang Bikin Kita Buta Sama Masalah Sebenarnya
Di tengah keruwetan ini, Žižek juga kritis banget sama yang namanya "ideologi". Ideologi itu, gampangnya, kayak kacamata yang kita pakai buat ngeliat dunia. Kacamata ini enggak kita sadari udah nempel di hidung kita sejak kita masih ngompol, dibentuk sama keluarga, sekolah, lingkungan pergaulan, media massa, iklan-iklan yang seliweran, dan lain-lain. Kacamata ini nentuin apa yang kita anggap bener, salah, penting, enggak penting, keren, atau norak.
Misalnya, kenapa sih kita ngerasa harus punya HP model terbaru biar enggak dibilang ketinggalan zaman atau biar bisa pamer di tongkrongan? Atau kenapa kita ngerasa cemas kalau wnggak dapat banyak like di postingan Instagram kita? Itu semua bagian dari cara pandang yang udah "disetel" sama ideologi zaman sekarang, yang ngajarin kita buat terus mengonsumsi, terus tampil sempurna (walaupun palsu), terus bersaing biar jadi yang paling oke.
Yang bahaya, kata Žižek, ideologi ini sering kali bikin kita enggak sadar sama masalah yang sebenarnya. Kita jadi kayak orang yang lagi nonton film seru di bioskop, saking asyiknya kita lupa kalau di luar bioskop lagi ada kebakaran hebat. Kita sibuk sama "drama" kecil kita sehari-hari –gebetan enggak balas chat, tugas kuliah numpuk, kuota internet sekarat– dan enggak ngeh kalau ada "pencurian" yang lebih gede lagi terjadi di sekitar kita: pencurian kebebasan, kemanusiaan, dan akal sehat kita.
Perubahan Itu Datangnya "Kayak Maling", Enggak Pakai Permisi
Terus, apa dong yang kudu kita lakuin? Gimana caranya biar perubahan besar bisa terjadi? Nah, ini yang seru dari Žižek. Dia bilang, perubahan itu enggak bakal datang kayak pahawan super berjubah yang terbang ngalahin penjahat terus semuanya langsung beres dan damai sentosa. Enggak juga kayak demo besar-besaran yang langsung bisa ngegulingin pemerintah dalam semalam.
Perubahan radikal itu, kata dia, seringnya datang "kayak maling di siang bolong". Aneh kan terdengarnya? Maksudnya gini: perubahan itu sebenarnya udah terjadi pelan-pelan di sekitar kita, sistem yang lama udah mulai goyah dan keropos, tapi kita enggak sadar karena kita terlalu sibuk sama kacamata ideologi kita yang bikin pandangan kita jadi sempit. Tahu-tahu, pas kita melek dan sadar, semuanya udah beda. Ini mirip kayak orang yang lagi terapi ke psikolog. Kesembuhannya itu enggak datang pas dia berhasil ngikutin semua nasihat psikolognya dengan patuh, tapi datang tiba-tiba, sebagai "efek samping" yang enggak disangka-sangka dari proses yang panjang dan melelahkan.
Jadi, enggak ada gunanya nunggu momen yang pas atau kondisi yang ideal buat mulai berubah. Kita harus berani mulai dari sekarang, dari hal-hal kecil, meskipun kelihatannya susah atau bahkan mustahil. Karena justru dari keberanian buat nyoba hal yang kelihatannya mustahil itulah, kemungkinan-kemungkinan baru yang enggak pernah kita bayangin sebelumnya bisa ke buka.
Identitas, Universalisme, dan Sutradara Komedi Jadul
Buku ini juga ngulik soal gimana kita, sebagai individu, ngadepin semua ini. Žižek ngebahas soal "identitas". Di zaman sekarang, kita kayak didorong buat terus-terusan nyari dan negasin identitas kita –entah itu identitas gender, etnis, agama, orientasi seksual, pilihan politik, atau apa pun. Punya identitas itu penting sih, buat ngerasa jadi bagian dari sesuatu, biar enggak kayak anak ayam kehilangan induknya.
Tapi, kata Žižek, kalau kita terlalu fokus sama kotak-kotak identitas ini, kita bisa kejebak. Kita jadi gampang curiga sama yang berbeda, gampang diadu domba sama hoaks murahan, dan lupa kalau sebenarnya kita semua ini manusia yang punya masalah dan harapan yang mirip-mirip. Kita jadi sibuk ngebela "kelompok kita" dan nyerang "kelompok mereka", padahal musuh sebenarnya mungkin bukan "mereka" yang beda itu, tapi sistem yang bikin kita semua jadi susah dan saling sikut.
Dia ngajak kita buat mikirin lagi soal "universalisme" –tapi bukan universalisme gaya Barat yang maksa semua orang jadi seragam kayak produk pabrik. Universalisme yang dia maksud itu lebih ke kesadaran kalau kita semua ini, dari Sabang sampai Merauke, punya perjuangan yang sama buat kehidupan yang lebih baik, lebih adil, lebih bebas, meskipun kita datang dari latar belakang yang warna-warni. Jadi, daripada sibuk nyari perbedaan buat bahan nyinyir, mending cari kesamaan perjuangan buat aksi nyata.
Terus, ada satu bab yang lumayan unik dan bikin ngernyit dahi, yaitu ngebahas soal sutradara film komedi jadul Ernst Lubitsch dan hubungannya sama seksualitas. Ngapain coba filsuf sekelas Žižek ngomongin film komedi romantis zaman kakek-nenek kita? Ternyata, Žižek ngeliat kalau cara Lubitsch nampilin hubungan cinta dan seks di film-filmnya itu justru bisa jadi cara buat ngadepin kekakuan moral dan hipokrisi di masyarakat kita.
Film-film Lubitsch itu enggak pernah vulgar, enggak pernah nampilin adegan ranjang secara blak-blakan, tapi justru penuh sindiran halus, main-main kode, dan nunjukkin kalau hubungan itu rumit, enggak selalu indah kayak di negeri dongeng, tapi bisa tetap seru dan menggelitik.
Nah, kata Žižek, di zaman kita yang kadang terlalu serius, terlalu kaku sama aturan moral (misalnya, perdebatan soal apa yang boleh dan enggak boleh di omongin soal seks, mana yang dianggap tabu, mana yang dianggap wajar), atau sebaliknya, terlalu vulgar dan kebablasan sampai lupa etika, kita mungkin butuh "sentuhan Lubitsch". Kita butuh belajar buat ngeliat hal-hal yang sensitif dengan cerdas dan sedikit humor, tanpa harus jadi kurang ajar atau malah jadi sok suci dan munafik.
Seksualitas itu sendiri, kata Žižek dengan gaya provokatifnya, emang udah "rusak" dari sononya, enggak ada yang namanya hubungan seksual yang ideal dan mulus tanpa cacat. Tetapi justru dari "kegagalan" dan ketidaksempurnaan inilah muncul dinamika dan permainan yang bikin hubungan jadi menarik dan enggak ngebosenin.
Mikir Global Dong, Jangan Cuma Lokal! Butuh "Teror" Biar Sadar
Nah, di bagian akhir, Žižek kayak ngasih pertanyaan gede yang nusuk banget ke kita semua: "Kita ini mau sampai kapan sih bertindak secara global tapi mikirnya cuma lokal?" Maksudnya gini, masalah-masalah yang kita hadapi sekarang ini, kayak perubahan iklim yang bikin cuaca makin enggak jelas, ketimpangan ekonomi yang makin parah antara si kaya dan si miskin, ancaman perang nuklir yang bisa bikin dunia kiamat kapan aja, itu semua sifatnya global, butuh solusi bareng-bareng dari semua negara, enggak bisa diselesain sendiri-sendiri.
Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Tiap negara, tiap kelompok, sibuk sama kepentingannya sendiri-sendiri, mikirnya cuma jangka pendek dan cuma buat kelompoknya doang. Donald Trump dengan slogan "America First"-nya, atau politisi-politisi di berbagai negara (termasuk di sini, jangan salah!) yang mainin isu nasionalisme atau sentimen SARA buat kepentingan politik sesaat, itu contohnya. Kita kayak terjebak di dalam "gua" ideologi kita masing-masing, enggak bisa ngeliat gambaran yang lebih besar.
Oleh karena itu, buat keluar dari gua sempit ini, kata Žižek, kita butuh semacam "teror" atau "kejutan” –tapi bukan teror fisik yang ngebom sana-sini, ya, catet! Maksudnya adalah "teror" intelektual atau "kejutan eksistensial" yang maksa kita buat bangun dari tidur panjang, ngeliat kenyataan apa adanya, sepahit dan seburuk apa pun itu, dan mulai mikirin solusi yang benar-benar beda, yang radikal, bukan cuma solusi tambal sulam yang enggak nyelesain akar masalahnya.
Jadi, Mau Diem Aja atau Mulai Mikir?
Jadi, balik lagi ke soal pinjol ilegal yang jadi pembuka obrolan kita tadi. Itu cuma satu contoh kecil dari gimana sistem yang ada sekarang ini bisa "nyolong" dari kita di siang bolong, dengan cara yang kadang kita anggap biasa aja, atau malah kita ikutin dengan "sukarela" karena tergiur iming-iming kemudahan semu.
Buku Žižek ini, dengan segala kerumitan dan gaya bahasa filsafatnya yang kadang bikin pusing tujuh keliling, intinya mengajak kita buat jadi lebih peka, lebih kritis, sama "pencurian-pencurian" semacam itu. Pencurian yang enggak cuma soal duit, tapi juga soal kebebasan kita, kemanusiaan kita, bahkan masa depan planet kita.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita bakal diam aja dan terus-terusan jadi korban yang pasrah, sambil ngeluh di medsos doang? Atau kita mau mulai mikir lebih dalem, mempertanyakan lebih banyak hal, dan bertindak berbeda, sekecil apa pun itu?
Buku ini, dan Žižek sendiri, enggak ngasih jawaban instan kayak mi cup. Enggak ada tuh tip "10 Cara Mengubah Dunia dalam Semalam". Jawabannya, kata dia, ada di diri kita masing-masing, terutama anak-anak muda yang katanya punya tugas buat "ngerusak" tatanan lama yang udah bobrok dan ngebangun tatanan yang baru, yang lebih adil dan lebih manusiawi. Berat? Jelas. Mustahil? Mungkin. Tapi, siapa tahu, justru dari hal-hal yang kelihatannya "rusak", "aneh", dan "mustahil" inilah, ide-ide paling keren dan paling revolusioner bisa muncul.
Siapa tahu, kan? Monggo direnungkan sambil seruput kopi item tanpa gula, biar melek.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Resensi Buku