RESENSI BUKU: Merahnya Merah yang Menjengkelkan
Iwan Simatupang menyajikan pergulatan gagasan filsafat eksistensialis pada novel Merahnya Merah. Buku ini jadi pintu baru untuk menikmati kesusastraan Indonesia.
Penulis Virliya Putricantika25 Mei 2025
BandungBergerak.id – Saya bertemu buku ini di toko buku favorit (hampir) semua masyarakat media sosial, di Buku Akik. Berburu buku bersama kawan-kawan lain dengan berjalan kaki. Di salah satu sudut di sana, satu dari empat kawan lainnya, ia langsung menyambar telinga.
“Itu Merahnya Merah tuh, rekomendasi yang disebut Cholil ERK,” katanya yang jaraknya sebenarnya cukup jauh dari telinga saya.
Entah berapa buku yang saya bawa pulang dari sana, tapi membaca Merahnya Merah jadi satu penantian unik. Bagaimana tidak berpikir panjang. Buku yang jauh lebih tipis dari Metode Jakarta dan tidak jauh berbeda dengan buku Animal Farm itu memberikan energi tersendiri. Sampul dengan latar belakang hitam dan satu ilustrasi manusia yang berwarna merah begitu memikat mata.
“Beresin bacanya, terus simpen di perpus, aku mau baca” ucap satu kawan yang menemukan buku Ziarah karya Iwan Simatupang di Perpustakaan Bunga di Tembok. Belum apa-apa buku ini sudah membawa tekanan. Apik.
Tidak sampai situ, buku yang pertama kali dirilis tahun 1966 itu bukan sekedar novel atau roman biasa. Satu pertanyaan yang terus mengiringi sampai sekarang, bahkan setelah selesai membacanya. Bagaimana bisa Iwan Simatupang menuliskan cerita dengan ide sedemikian rupa di tahun itu? Hanya dia pastinya yang tahu.
Karya ini membuat mata terbelalak sejak awal. Bukan karena kagum, tapi karena jengkel kenapa pula tokoh utamanya dinamakan Tokoh Kita dengan latar belakang seorang rahib. Bisa-bisanya menemukan buku yang sedikit beririsan dengan beberapa kawan saya.
Sebagai seorang gelandang, Tokoh Kita mampu menganalisa dengan landasan filsafat. Bahkan menjelaskan relativitas pada tokoh lainnya, Fifi, yang digambarkan sebagai gadis berusia 14 tahun. Sungguh suatu kemewahan jika betul terjadi di tahun itu dan di kampung para gelandangan.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Cerita Menyakitkan yang Membuka Mata
RESENSI BUKU: Kisah Gordon Comstock yang Menghindari Kemapanan
RESENSI BUKU: Para Perempuan tak Bersalah di Balik Kisah Kembang-Kembang Genjer
Eksistensialis
Buku dengan gagasan filsafat eksistensialis ini tidak perlu diklasifikasikan dengan standar tertentu, karena setiap buku spesial dengan caranya masing-masing, tergantung si pembaca. Namun, tidak dapat dipungkiri buku ini memang menekankan pada eksistensi individu.
Kita pinjam saja satu tokoh di sana yang paling memikat untuk saya. Namanya Maria, tinggal di salah satu gubuk yang lebih besar dari yang lain. Bukan karena kaya, tapi menyesuaikan dengan kebutuhannya untuk tempat berteduh tubuhnya.
Begitulah dia dikenal, perempuan dengan proporsi badan khasnya, juga dengan sikap tegasnya, tapi bersamaan dengan itu juga dia yang paling terbuka untuk memberikan pertolongan pada individu lainnya. Baik yang datang dari kampung gelandangan itu atau bahkan orang baru. Maria juga yang membawa Tokoh Kita ke kampung itu setelah pertemuan di depan gereja.
Tidak begitu banyak yang diceritakan soal latar belakang sosok perempuan yang paling dihormati di wilayahnya itu, yang jelas keberadaannya seolah membuat mereka memiliki ibu bersama. Tidak peduli apa pekerjaan keseharian Maria, tapi dengan penghasilannya, dia selalu memberi prioritas untuk kawan-kawan gelandang yang lain.
Namun lebih jauh dari itu, buku ini memberi kesempatan pada pembaca untuk memilih tujuan dan makna hidup masing-masing tanpa harus mengikuti dikte atau aturan yang ada. Seperti yang terjadi hari ini dengan segala konstruksi sosial yang ada. Seolah menjadi hari penghakiman jika kita-kita yang baru hidup pertama kali ini, disalahkan atas ketidaktercapaian “hidup sukses” seperti apa yang digambarkan orang-orang. Sama seperti Pak Centeng, salah satu penghuni kampung gelandangan.
Tokoh Kita
Penamaan yang mengganggu isi pikiran pembaca yang ingin sekali bertanya, siapa nama awal untuk Tokoh Kita ini? Apakah memang tujuannya memasukkan si pembaca sebagai Tokoh Kita atau bagaimana?
Tapi biarlah pertanyaan itu bergumul di pikiran pembaca. Ada hal lain yang menarik dari sosok Tokoh Kita. Perkembangan karakter memang sering kita temui di buku-buku pada umumnya, ajaibnya tokoh kita sebetulnya sudah utuh sejak awal. Tokoh yang memutuskan jalan hidupnya dengan cara yang ‘nyentrik’ barangkali.
Namun, dalam kurun waktu dua bulan, durasi yang diceritakan dalam cerita, dia bertemu dengan sisi lain dirinya. Sisi yang tidak pernah ditemui. Sisi yang membuat dia keheranan dengan dirinya sendiri.
Bahkan seorang mantan ajudannya pun ikut kebingungan menemukan sisi baru dari mantan pimpinannya semasa perang revolusi. Cerita detail yang dikeluarkan oleh Tokoh Kita membawa kita, pembaca, memahami apa yang tengah ia rasakan.
Tentunya Iwan Simatupang tidak menyuguhkan sebatas romansa seperti buku pada umumnya. Merahnya Merah mampu memberikan rasa yang berbeda ketika membacanya. Buku ini jadi pintu baru untuk menikmati kesusastraan Indonesia.
Menyadari ada sisi yang baru ditemui dalam dirinya sendiri, Tokoh Kita tidak serta merta mengambil keputusan impulsif. Ada banyak pertimbangan dan perhitungan yang ada di pikirannya. Riuh itu tidak bisa dihindari. Namun, keputusan Tokoh Kita di akhir cerita saya rasa tidak merugikan siapa pun dan itu adalah keputusan terbaik yang diambilnya di Merahnya Merah. Karena beberapa hal tidak bisa kita kendalikan, kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada pada diri kita sendiri.
Informasi Buku
Judul: Merahnya Merah
Penerbit: Indonesia Tera
Cetakan: III, Juni 2021
Tebal: 200 halaman
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Virliya Putricantika atau artikel tentang Resensi Buku