• Buku
  • RESENSI BUKU: Para Perempuan tak Bersalah di Balik Kisah Kembang-Kembang Genjer

RESENSI BUKU: Para Perempuan tak Bersalah di Balik Kisah Kembang-Kembang Genjer

Buku Kembang-Kembang Genjer karya Fransisca Ria Susanti mengungkap kisah tragis yang menimpa kaum perempuan dalam tragedi 1965.

Buku Kembang-Kembag Genjer karya Fransisca Ria Susanti, penerbit Jejak (Cetakan pertama, Oktober 2007). (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam13 April 2025


BandungBergerak.idBuku Kembang-Kembang Genjer karya Fransisca Ria Susanti, seorang jurnalis yang pernah berkiprah di Media Indonesia, Asataga!com, dan harian Sinar Harapan mengungkap kisah tragis perempuan-perempuan yang menjadi korban tragedi 1965. Di balik sampul buku berwarna kuning yang menggambarkan seorang ibu yang tampak lelah menggendong anak, terhampar cerita tentang kekerasan yang diterima oleh perempuan tak bersalah, yang menjadi tahanan politik (tapol) dan diperlakukan tanpa hak atau keadilan.

Buku ini merangkum kisah para perempuan yang ditangkap, disiksa, dan dilecehkan tanpa alasan yang jelas, hanya karena mereka dianggap terkait dengan PKI, sebuah label yang sering kali diterapkan sembarangan. Beberapa kisah yang diungkap dalam buku ini diambil dari wawancara Susanti dengan para penyintas yang masih hidup. Mereka adalah Sumilah, Mukinem, Sumarmiyati, Kusnah, Umi Sardjono, Kartinah, Tarni, Sukinah (nama samaran), Syamsiah, Sumini, Dalima (nama samaran), Mudjiyati, dan Sudjinah. Meskipun usia mereka sudah lanjut, ingatan mereka tentang penderitaan yang dialami masih jelas dan kuat.

Judul buku Kembang-Kembang Genjer ditulis dengan font berwarna merah. Nama genjer diambil dari tumbuhan rawa yang banyak dijumpai di sawah atau perairan dangkal. Pada 1941, lagu ikonik ini mengggambaran kondisi masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur saat pendudukan Jepang.

Lagu Genjer-genjer ditulis Muhammad Arief. Pada tahun 1960an lagu tersebut populer ketika diputar di Radio Republik Indonesia (RRI), terlebih saat dibawakan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani. Lagu genjer-genjer juga kerap dikaitkan dengan gerakan PKI.

Sumilah Ditangkap Karena Lagu

Salah satu cerita tragus dalam buku ini datang dari Sumilah, seorang perempuan asal Yogyakarta yang saat itu masih berusia 14 tahun. Pada 19 November 1965, Sumilah bersama 46 orang lainnya, termasuk tujuh perempuan, ditangkap oleh militer. Mereka digiring ke markas Corps Polisi Militer (CPM) tanpa tahu alasan jelas.

Selama penangkapan Sumilah berusaha mengingat-ingat tentang kesalahannya. Tidak ada. Kecuali dirinya kerap menyanyikan lagu Genjer-Genjer. Sumilah kecil pandai menari dan suka menyanyikan lagu itu karena nadanya dianggap enak didengar.

Lagu tersebut dianggap terkait dengan PKI, meskipun bagi Sumilah, itu hanya lagu yang dia nyanyikan tanpa menyadari dampak politiknya. Setelah melalui interogasi yang keras, Sumilah dituduh terlibat organisasi terkait PKI, yaitu Gerwani dan Pemuda Rakyat, meski dia membantah semua tuduhan tersebut. Ia kemudian dipenjara selama 14 tahun tanpa proses hukum yang jelas.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Bersimpuh di Ujung Perjalanan
RESENSI BUKU: Menyusuri Jejak Metode Jakarta
RESENSI BUKU: Cerita Menyakitkan yang Membuka Mata

Mukinem Ditangkap Dua Kali

Kisah serupa juga dialami oleh Mukinem, seorang guru Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) yang aktif mengikuti diskusi di Yogyakarta. Mukinem adalah anggota Gerwani yang dikenal memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Ia ditangkap dua kali. Penangkapan pertamanya pada tahun 1965 hanya berlangsung sehari, tetapi setelah itu, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai guru dan menjadi sasaran militer.

Pada penangkapan keduanya, Mukinem dibawa ke pabrik Gula Gondang Baru, tempat ia ditahan dan disiksa. "Gondang adalah siksaan pahit," ujar Mukinem mengingat pengalamannya yang penuh penderitaan. Ia dipukul, disetrum, dan dilecehkan secara fisik. Luka-luka akibat penyiksaan itu tetap membekas di tubuhnya hingga sekarang.

Sumarmiyati (Mamik) Dilecehkan di Penjara

Sumarmiyati, yang lebih dikenal dengan panggilan Mamik, mengalami nasib serupa. Pada 1965, Mamik ditangkap namun dibebaskan pada tahun 1966 berkat bantuan Pastor Katolik. Namun, dua tahun kemudian, pada 1968, Mamik kembali ditangkap oleh militer dan dibawa ke markas CPM. Di sana, ia mengalami kekerasan fisik dan pelecehan yang tak terbayangkan. Para tentara memaksa Mamik untuk telanjang dan diperlakukan dengan cara yang sangat merendahkan.

Para tentara juga memaksanya untuk melakukan tindakan yang sangat tidak manusiawi, yang hanya didasarkan pada kebohongan yang disebarkan oleh media di bawah naungan militer.

Penyiksaan dan Tuduhan Tanpa Bukti

Buku ini mengungkap bagaimana negara, melalui militer, menciptakan tuduhan palsu yang membangun persepsi buruk terhadap perempuan yang tidak bersalah. Framing berita yang dimuat oleh media militer seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata menggambarkan perempuan-perempuan ini sebagai sosok yang brutal dan terlibat dalam kekerasan, seperti dalam kasus yang disebut "pesta Harum Bunga" di Lubang Buaya. Tuduhan-tuduhan tersebut tak pernah terbukti, namun cukup untuk menimbulkan kebencian dan kekerasan terhadap para perempuan.

Di balik kekerasan terhadap perempuan-perempuan ini, ada dua tokoh militer yang sangat berpengaruh: Suharto dan Sarwo Edhie. Suharto, yang kemudian menggantikan Sukarno, kedudukannya melambung setelah penumpasan PKI.

Dalam bukunya, Suharto: A Political Biography, Robert E. Elson menggambarkan bagaimana Suharto mengambil langkah tegas untuk menghancurkan PKI dan menyebarkan kebencian terhadap mereka yang dianggap terlibat, termasuk para perempuan yang menjadi korban tanpa pengadilan yang adil.

Sarwo Edhie, yang juga berperan besar dalam penumpasan PKI, mengklaim telah menghancurkan tiga juta orang PKI sebelum meninggal. Angka korban jiwa yang terungkap bervariasi, mulai dari 75.000 hingga 1 juta orang, namun banyak dari mereka yang tidak pernah mendapatkan keadilan atas penderitaan yang dialami.

Buku “Kembang-Kembang Genjer” mengungkap dengan lugas dan jelas bagaimana perempuan-perempuan yang tidak bersalah diperlakukan sewenang-wenang oleh negara, disiksa, dan dilecehkan atas dasar tuduhan yang tidak pernah terbukti. Kisah mereka adalah bukti nyata tentang ketidakadilan yang dialami oleh ribuan perempuan yang hanya menjadi korban dari perang politik yang lebih besar.

Buku ini tidak hanya memperlihatkan penderitaan yang tak terkatakan, tetapi juga mengajak kita untuk merenung: siapa yang harus bertanggung jawab atas penderitaan mereka?

Informasi Buku

Judul buku: Kembang-Kembag Genjer

Penulis: Fransisca Ria Susanti

Penerbit: Jejak

Cetakan: Cetakan pertama, Oktober 2007

Jumlah halaman: 204.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Resensi Buku 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//