• Buku
  • RESENSI BUKU: Menyusuri Jejak Metode Jakarta

RESENSI BUKU: Menyusuri Jejak Metode Jakarta

Buku Metode Jakarta menceritakan penyusuran jurnalis Vincent Bevins pada jejak skenario yang dimainkan untuk menghabisi kelompok komunis di Indonesia.

Sampul buku Metode Jakarta (2023) karya Vincent Bevins. (Foto: Virliya Putricantika)

Penulis Virliya Putricantika23 Maret 2025


BandungBergerak.idMetode Jakarta, satu catatan sejarah Indonesia yang berhasil disusun Jurnalis asal Brasil. Sejarah yang tidak mungkin didapatkan di bangku sekolah.

“Baca buku ini (tangkapan layar sampul buku Metode Jakarta), nanti tolong dirangkum” begitu pesan singkat yang saya dapatkan dari ibu negara saya, Kamis (17 Oktober 2024) lalu.

Satu hari setelah pelantikan Prabowo-Gibran yang jatuh tanggal 20 Oktober 2024, saya mulai membaca buku Metode Jakarta. Buku yang membingungkan mulanya. Dari daftar isi terlihat seperti cerita dari berbagai negara yang dimuat dalam buku ini. Namun, kenapa Vincent Bevins, editor dan penerbitnya merilis buku dengan judul Metode Jakarta?

Pada bagian pengantar, Vincent membuka cerita lewat kisah hidup orang Indonesia dan Brasil untuk membuka cerita perang dingin yang terjadi di kurun waktu 1960-an. Sejak pendahuluan, buku pertama dari Vincent menyinggung kekuatan negara Amerika Serikat yang rasanya tak pandang bulu untuk menaklukkan satu atau dua negara berada di bawah kendali mereka.

“Indonesia seperti dihapus dari peta barangkali justru karena pembantaian pada 1965-1966 adalah sukses gemilang bagi Washington,” terang satu kalimat yang disampaikan oleh jurnalis yang menemui 100 narasumber untuk menyusun Metode Jakarta.

Membaca buku Metode Jakarta membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan novel biasa. Bahkan untuk memahami satu paragraf butuh dua sampai tiga kali membaca. Cerita tentang pembantaian 1965 ini perlu diakui menguras emosi. Belum lagi nama-nama tokoh yang disebutkan. Mudah mengingat nama presiden Indonesia, hanya Soekarno dan Soeharto di rentang masa itu. Meski ada Sakono yang dikhawatirkan Vincent akan tertukar dengan presiden pertama.

Dia yang menduduki kursi presiden hari ini seakan memiliki kedekatan dengan kronologi yang ada di buku ini. Tentu bukan dirinya, tapi kita tahu bagaimana hubungannya dengan Soeharto, selain sama-sama berasal dari Angkatan Darat. Pemuda asal Jawa yang dihadirkan dalam novel Kereta Semar Lembu dengan ajaib, di buku ini hadir sebagai jenderal yang dikenal “baik” CIA, yang terdaftar sebagai Jenderal Angkatan Darat sejak September 1964, serta dianggap dapat bekerja sama untuk “menghilangkan” siapa saja yang terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Anehnya, Jenderal Suhartolah yang memegang komando Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965, bukan Nasution –perwira tertinggi di seluruh negeri– ketika sobat Washington ini cukup beruntung bisa selamat dari peristiwa malam sebelumnya. Ini adalah pembalikan peran yang sangat tidak terduga dan butuh waktu beberapa minggu bagi beberapa tokoh kuncinya untuk memahami bahwa Suhartolah sebenarnya pemegang kuasa.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Mat Pisau, Kisah Kelabu Wong Kalahan
RESENSI BUKU: Mendedah Kebijakan Fiskal dan Cara Pemerintah Mengelola Utang
RESENSI BUKU: Panduan Praktis Para Iblis Politik

Menghantui Negara Lain

Sebelum peristiwa pembantaian, Indonesia membuat gentar Amerika Serikat. Bukan karena ancaman perang. Melainkan pertemuan negara-negara Asia-Afrika di Bandung. Semangat zaman dari Paris van Java. Konferensi yang mempertemukan negara-negara yang nyaris diwakili setengah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni 1,5 miliar jiwa.

Butuh 10 tahun untuk mengubah 180 derajat perspektif itu. Penculikan yang dilakukan dan dilanjutkan dengan pembantaian, yang diawali hingga dengan Gerakan 30 September PKI, tentu menjadi peristiwa kelam. Bukan hanya untuk masyarakat saat itu, tapi sampai hari ini.

Skenario yang dimainkan untuk menghabisi komunis seterusnya akan menggunakan “Metode Jakarta”. Nyatanya judul buku itu adalah kata yang menakutkan beberapa tahun setelahnya. Karena penghilangan paksa di tahun 1965-1966 baru pertama kali terjadi di Asia, di Indonesia. Tentunya itu tidak sebatas menghantui negara tetangga. Brazil dan Chile jelas menggunakan parafrasa itu.

Operação Jacarta.

Yakarta viene.

Jakarta se acera.

Saya, satu dari banyaknya masyarakat yang menonton film G30S/PKI ketika di bangku sekolah dasar dan baru menyadari setelah membaca beberapa catatan sejarah bahwa karya visual itu hanya bagian dari propaganda sebagaimana disebutkan dalam buku. Doktrin yang disampaikan dalam film saya akui berhasil membius anak usia 10 tahun itu. Tanpa membuka peluang untuk mencari kebenarannya seperti apa. Vincent sendiri menjelaskan bahwa masih ada beberapa yang bisa ditelusuri.

Mungkinkah Kembali Terulang?

Jawaban dari pertanyaan yang belum dapat diketahui. Sejarah hanya ditulis oleh pemenang, satu dari banyak frasa yang perlu dilawan, dan dari laporan ini, semakin menguatkan bahwa kerja pengarsipan masihlah penting dilakukan. Publikasi yang terjadi pada tahun-tahun itu di Harian Rakjat juga di media internasional memberikan gambaran jelas untuk Vincent untuk menyusun kronologi dari tahun ke tahun.

Seperti yang terjadi satu sampai dua tahun ke belakang, ketika Prabowo membangun citra dirinya sebagai laki-laki yang sudah lewat 70 tahun itu dengan sosok yang “gemoy” bagi sebagian masyarakat. Tidak perlu diperdebatkan. Namun, fakta yang diarsipkan dalam buku “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998” pun tidak perlu diperdebatkan. Impunitas (kekebalan) bagi pelaku kekerasan Hak Asasi Manusia (HAM) jelas masih dilanggengkan.

Tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap yang beberapa hari ke belakang memenuhi media sosial. Membuka mata bahwa sistem di Indonesia sedang dipermainkan. Sebagian masyarakat yang mempunyai akses untuk mempelajari dan memahami penyalahgunaan kekuasaan yang telah terjadi dapat memutuskan sikapnya. Mulai dari menyuarakannya lewat akun pribadi masing-masing, sampai turun ke jalan. Pun demikian bagi mereka yang terbatas aksesnya, mereka yang sudah dibungkam sebelum sempat mempelajari, setidaknya doa dan harapan baik yang mereka langitkan itu pun jadi bagian dari perlawanan.

Vincent Bevins mengajak pembacanya untuk berpikir kritis atas temuan fakta yang telah dia lakukan. Sekaligus menjadi catatan penting bagi jurnalis untuk bercerita seakurat mungkin. Tentunya tanpa melupakan hakikat manusia, menghormati mereka yang telah melalui ini semua.

Kekerasan yang amat efektif di 23 negara, termasuk Indonesia bukanlah satu kebetulan. Namun begitu, meski telah melakukan kerja kaki ke-12 negara untuk menemui narasumber, Vincent menutup pesan dengan bijak.

“Masih ada banyak yang belum kita ketahui,”

Informasi Buku

Judul: Metode Jakarta

Penerbit: CV Marjin Kiri

Cetakan: II, Juni 2023

Tebal: 424 halaman 

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Virliya Putricantika atau artikel tentang Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//