• Buku
  • RESENSI BUKU: Mendedah Kebijakan Fiskal dan Cara Pemerintah Mengelola Utang

RESENSI BUKU: Mendedah Kebijakan Fiskal dan Cara Pemerintah Mengelola Utang

Buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah, yang ditulis Edy Burmansyah membedah kronologi kebijakan fiskal Indonesia dari masa ke masa.

Sampul buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah; dari revolusi hingga pandemi, Desember 2024. (Foto: Bilven Sandalista)

Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha16 Maret 2025


BandungBergerak.id – Dari sebuah percakapan di sosial media, saya menemukan cerita korban PHK, dan sejumlah cerdik cendekia yang berlomba-lomba menjelaskan secara utuh masalahnya. Sebagian menjawab soal bahwa itu semua karena megaproyek yang dicanangkan pemerintah, dan pembentukan kabinet gemuk yang ditandai penambahan jumlah kementerian, dan program makan bergizi gratis.

Yang terjadi selanjutnya mudah diduga. Melalui saluran media, pemerintah yang diwakili Hasan Nasbi, selaku Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, berupaya menepis persoalan munculnya PHK yang dianggap sebagian publik buah dari kebijakan efisiensi anggaran. Ia mengatakan bahwa tidak ada korelasi sama sekali antara PHK dan efisiensi anggaran.

Menurutnya lebih lanjut, pemerintah hanya berkehendak mengurangi belanja barang dan modal yang tidak mendasar. Belanja negara tersebut antara lain pembelian ATK, kegiatan seremonial, kajian dan analisis, perjalanan dinas, serta beberapa pengeluaran lainnya. Dan itulah yang dituangkannya ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD 2025.

Hingga tulisan ini dibuat, diskursus publik mengenai silang-sengkarut kebijakan efisiensi masih terus ramai dipercakapkan di media sosial. Saya lalu teringat pada beberapa Minggu sebelumnya, bahwa Penerbit Ultimus Bandung merilis Buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah, yang ditulis Edy Burmansyah, seorang peneliti yang fokus dalam kajian ekonomi.

Saya merasa ini momentum krusial. Sependek pembacaan saya, buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah sedikit banyak mampu menjawab dan menopang amunisi percakapan publik yang valid, sekaligus subtansial. Karenanya, patut disambut sebagai salah satu upaya pengkajian gejala yang kini kian terasa dampaknya bagi banyak orang.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Masih Alergi Palu Arit
RESENSI BUKU: Di Balik Tragedi 1965
RESENSI BUKU: Mat Pisau, Kisah Kelabu Wong Kalahan

Selayang Pandang

Buku ini disusun secara sistematis. Diawali pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang politik penganggaran, yang disusun pada tahun 1572 di provinsi-provinsi bagian utara Belanda, yang menjadikan anggaran negara sebagai dokumen hukum. Jika pada masa sebelumnya anggaran negara diberlakukan sebagai dokumen pribadi –oleh anggapan bahwa seorang raja adalah wakil tuhan di bumi, karenanya bersifat rahasia, sehingga tidak bisa diaudit– maka sejak itu konstitusi mewajibkan raja melaporkan anggaran setiap satu dekade kepada parlemen (lihat halaman 2 dan 3).

Pada bab ini penulis juga memberikan penjelasan yang menjadi faktor perubahan mengenai kebijakan fiskal. Misalnya, ihwal Willem II, yang pada tahun 1948 menerbitkan sebuah konstitusi, yang mengharuskan raja untuk menyerahkan anggaran kepada parlemen setiap tahunnya, yang dinilai sebagai satu gebrakan atau reformasi fiskal, di mana saat itu parlemen mendapatkan landasan kuat dalam penganggaran keuangan negara.

Kita tahu barangkali bahwa reformasi anggaran itulah –yang dilaksanakan sejak era Republik Belanda (1572) sampai berdirinya Kerajaan Belanda yang berbentuk monarki konstitusional (1815)– yang kelak diikuti oleh banyak negara lainnya, seperti Inggris pada tahun 1689, dan sedikit banyak dipengaruhi Revolusi Agung, yang kemudian menyepakati Bill of Rights, dan tiga belas tahun kemudian melahirkan The Excise Bill atau RUU Cukai, dan kian berkembang dengan adanya Stamp Act atau pajak langsung yang diterbitkan parlemen Inggris; diikuti Perancis pada tahun 1830, yang bermula dari desakan kaum Borjuis untuk melahirkan prinsip partisipasi; Denmark, Piedmont, dan Prusia pada tahun 1848; Portugal pada tahun 1851; Swedia pada tahun 1866; Austria pada tahun 1868; dan Spanyol pada tahun 1876.

Ada satu hal yang menarik dari bab ini. Misalnya, adalah pembahasan sejarah fiskal yang secara kronologis dipaparkan penulis, hingga kebijakan pascaperang, yang dirumuskan sejumlah petinggi negara-negara seperti Amerika Serikat. Penulis memberikan konteks bagaimana Presiden William Howard Taft pada tahun 1910 membentuk komisi Ekonomi dan Efisiensi untuk meninjau penyusunan anggaran tunggal, di mana anggaran disusun secara menyeluruh dan komprehensif.

Bukan tanpa alasan tentu saja apabila sembilan tahun kemudian, Kongres dan Gedung Putih sepakat mengesahkan Budget and Accounting Act (Undang-undang Anggaran dan Akuntansi), yang memberi tanggung jawab pada Presiden untuk perencanaan anggaran, dan mewajibkannya untuk menyerahkan proposal anggaran tahunan yang komprehensif kepada kongres, yang berarti UU ini juga memperluas kewenangan presiden atas informasi anggaran dengan membentuk Biro Anggaran, dan kelak berganti nama menjadi Kantor Manajemen dan Anggaran (bisa dilihat halaman 13).

Pada mulanya Budget and Accounting Act mampu menopang ekonomi Amerika Serikat yang kebetulan saat itu tengah booming, dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai dua kali lipat. Keadaan ini dikenal publik dengan The Roaring Twenties. Ironisnya, langkah itu malah memicu spekulasi besar-besaran di bidang saham. Kala itu publik Amerika Serikat menilai saham sebagai bentuk baru tabungan dan investasi.

Mereka berbondong-bondong menanam investasi yang sebagiannya memang difasilitasi keringanan pajak dan kredit perbankan yang murah. Kredit yang mengucur deras untuk investasi saham ini membuat indeks melejit tinggi. Namun tak lama setelah itu, harga saham mengalami penurunan yang signifikan. Puncaknya pada 29 Oktober 1929 terjadi peristiwa yang dikenal dengan Black Tuesday, yang menandai dimulainya Depresi Besar (The Great Depression 1929-1939), yang kelak menyebar dan berdampak ke seluruh dunia termasuk Hindia Belanda.

Menurut penjelasan Edy Burmansyah (lihat halaman 14), sebagai penganut teori ekonomi klasik Adam Smith, Herbert Hoover yang saat itu menjabat sebagai presiden enggan melakukan intervensi untuk mengatasi pelemahan ekonomi Amerika Serikat. Ia lantas percaya bahwa pasar akan mampu mengoreksi dan menyeimbangkan dirinya sendiri. Hoover juga enggan melakukan intervensi karena berkehendak menjaga keseimbangan anggaran pemerintah. Ia lalu menaikkan tarif pajak penghasilan dari 25 persen pada tahun 1929 menjadi 63 persen di tahun 1932.

Nahas, kebijakan menaikkan tarif pajak di tengah perekonomian yang menyusut itu kemudian mendorong defisit anggaran pemerintah semakin besar. Inilah yang sekaligus membuat Franklin Delano Roosevelt maju sebagai pesaing Hoover dalam Pemilihan Presiden 1933. Ia berkampanye, dan menggaungkan teori ekonomi Keynesian yang mengkritik pendapat ahli ekonomi klasik, yang mengatakan bahwa perlunya campur tangan pemerintah dalam berbagai kebijakan, salah satunya di bidang fiskal dan moneter.

Masa Revolusi Kemerdekaan

Pembahasan melaju pada Bab II, yang  berisi tinjauan atas perkembangan anggaran negara 1945-1949. Penting digarisbawahi bahwa saat Republik Indonesia diproklamasikan pada  17 Agustus 1945, tidak banyak uang yang dimiliki untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam buku ini tercatat bahwa dana awal yang terkumpul hanya sebesar 2,43 juta, yang berasal dari penerimaan pajak sebesar 1,91 juta, dan penerimaan lainnya sebesar 0,5 juta. Berdasarkan catatan lainnya, modal awal yang dimiliki republik ketika berdiri sebanyak f2.000.000 (dua juta rupiah) yang berasal dari sisa Fonds perang dan Kemerdekaan yang dibentuk sejak 6 Februari 1945, yang dikumpulkan oleh Jawa Hokokai, sebelum kelak dibubarkan 15 Agustus 1945.

Tercatat pula nama-nama tokoh yang menginisiasi pengumpulan yang tersebut. Seperti misalnya, Sukarno, Abikoesno, Otto Iskandar Dinata, Mr. Sartono, dan Soekarjo Wirjopranoto, yang masing-masing menyumbangkan hartanya sebanyak f1.000. Ada pun berbagai unit niaga yang kelak mengikuti jejak tokoh-tokoh yang disebut di atas, seperti Perseroan Tanggoeng Djiwa Boemi Poetra, Pengurus perusahaan Batik Bendoengan dari Palmerah, Pengusaha warung yang terhimpun dalam Perserikatan Warung Bangsa Indonesia (Perwabi), dan sejumlah pengusaha lainnya.

Tak kalah penting, dalam buku ini juga tercatat sumbangan yang diberikan para seniman di berbagai daerah. Di Jawa Barat misalnya, kelompok sandiwara melakukan pertunjukan amal untuk fonds kemerdekaan dengan tajuk "Soenda Membaktikan Tenaga" untuk menyambut pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ada pula kelompok wayang "Wajang Prijantoen" dan kelompok sandiwara "Bintang Tjiandjur" yang masing-masing turut menyumbangkan seluruh pendapatannya untuk kemerdekaan.

Kelak, seluruh dana itu dipergunakan untuk membiayai keperluan pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta sekeluarga, mencari dan merampas senjata Jepang, pengiriman kurir, mencetak bendera-bendera dan kertas, biaya pasukan yang beroperasi di Jakarta, dan biaya utusan dari daerah. Namun pada 22 Agustus 1945, Presiden Sukarno membubarkan Fonds Kemerdekaan itu dan menggantinya menjadi Fonds Kemerdekaan Indonesia (FKI), yang dipimpin Wakil Presiden Bung Hatta, dan berkantor di rumah Bung Karno Jl. Pegangsaan Timur 56.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk membiayai republik yang baru berdiri. Selain menggalang dana, pembiayaan mempertahankan kemerdekaan juga bersumber dari penjualan emas dan candu. Namun tentu pengeluaran untuk pembelian persenjataan, pakaian, dan obat-obatan cukup besar, sehingga anggaran negara mengalami defisit. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah yang dikepalai Hatta saat itu menanggapi usul menteri keuangan A.A Maramis untuk melakukan ekspor candu ke negara lain.

Satu hal yang pasti, sebagaimana penjelasan penulis, bahwa pengelolaan keuangan negara dalam masa revolusi ini jangan dibayangkan telah tersusun secara sistematis seperti APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pada masa ini setiap kementerian atau badan melakukan pelaksanaan pekerjaan dengan menggunakan anggaran yang tersedia atau berbagai pendapatan yang diperolehnya. Meski begitu, setiap pendapatan dan pengeluaran dari kementerian atau badan, dicatat oleh kementerian keuangan.

Salah satu gambar yang ada di dalam Buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Salah satu gambar yang ada di dalam Buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Masa Demokrasi Parlementer

Bab III memuat pembahasan mengenai kebijakan fiskal dan pengelolaan utang selama era demokrasi parlementer (1950-1959). Kita tahu bahwa sesuai kesepakatan KMB (Konferensi Meja Bundar) bentuk negara Indonesia menjadi negara federal. Namun kurang dari satu tahun, pada 17 Agustus 1950 pemerintah membubarkan RIS dan kembali menjadi negara kesatuan dengan sistem parlementer.

Menurut penjelasan Edy Burmansyah (halaman 73), pada masa transisi ini Indonesia mewarisi kondisi ekonomi yang sangat buruk: infrastruktur rusak berat, nilai rupiah jatuh, kegiatan ekspor merosot tajam, laju inflasi melambung tinggi hingga mencapai 21,4 persen sehingga membuat Indonesia masuk ke dalam krisis devisa yang dalam. Sementara itu biaya untuk mengatasi pemberontakan di sejumlah daerah kian mendorong defisit yang sangat besar.

Dalam konteks itulah kemudian Menteri Keuangan yang dipegang Sjafruddin Prawiranegara menerbitkan beleid yang mengatur tentang pengguntingan uang kertas dan pengeluaran surat pinjaman yang khusus ditawarkan untuk penukaran bagian kanan uang kertas yang ditarik dari peredaran dan tidak berlaku lagi sebagai uang yang sah. Sejarah mencatat keadaan ini dan dikenal dengan kebijakan Gunting Sjafruddin dan Obligasi 1950.

Edy Burmansyah mengupas secara rinci permasalahan yang mengiringi sejumlah peristiwa pada tahun-tahun tersebut, dan membeberkan sejumlah dampak yang dihasilkannya kemudian. Misalnya, uraian mengenai APBN pertama Indonesia yang disusun secara sistematis dan komprehensif, yang merupakan mandat dari Pasal 114 ayat (1) dan ayat (2) dari Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia, yang berbunyi, (1) "Usul Undang-Undang penetapan anggaran umum oleh Pemerintah dimajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebelum permulaan masa yang berkenaan dengan anggaran itu. Masa itu tidak boleh lebih dari dua tahun. (2) Usul Undang-Undang pengubah anggaran umum, tiap-tiap kali jika perlu dimajukan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat."

Ada pula pembahasan lainnya mengenai surplus APBN 1951 ---yang tidak lepas dari peristiwa besar yang membawa berkah bagi Indonesia: Korean Boom, dipicu Perang Korea, yang berdampak pada naiknya harga-harga komoditas di Indonesia seperti karet, kopra, timah di pasar internasional. Kemudian dibahas pula soal perjanjian Mutual Security Act (MSA) yang merupakan bentuk peraturan hukum untuk memberi bantuan terhadap sekutu Amerika Serikat dalam usaha membendung pengaruh komunisme, dan kritik terhadap anggaran Wilopo ---dengan mengutip penjelasan Sakirman, yang mengatakan bahwa politik anggaran Wilopo masih setengah kolonial, dan menutup kemungkinan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi yang bercorak nasional.

Selain itu, ada tilikan serius mengenai momentum berdirinya Bank Indonesia yang sebelumnya masih menggunakan nama De Javasche Bank, bergabungnya Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia, pembatalan dan pembayaran utang KMB, nasionalisasi perusahaan Belanda, pinjaman Uni Soviet, perolehan dana pampasan perang Jepang hasil dari pelaksanaan Perjanjian San Francisco, serta obligasi berhadiah 1959 yang dilakukan untuk membiayai pembangunan dengan menggali potensi sumber yang ada (atau dikenal obligasi masa transisi).

Salah satu bagian di dalam buku yang memuat persoalan terkait nasionalisasi pada tahun 1957. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Salah satu bagian di dalam buku yang memuat persoalan terkait nasionalisasi pada tahun 1957. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Masa Demokrasi Terpimpin

Sebagian dari kita tahu bahwa pada masa peralihan dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin, kondisi ekonomi Indonesia diwarnai dengan tingginya laju inflasi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan. Pokok persoalan itulah yang secara detail dikupas dalam Bab IV ini.

Pada masa ini pemerintah tidak bisa mengendalikan defisit anggaran. Menurut penulis (lihat halaman 133), itu terjadi karena ketidakseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan. Sumbangan terbesar defisit berasal dari belanja pertahanan. Sejarah mencatat bahwa hal ini didorong oleh kampanye militer merebut Papua Barat (Tri Komando Rakyat 1961-1962), kemudian kampanye militer Ganyang Malaysia (Dwi Komando Rakyat 1963-1966). Selain itu selama periode demokrasi terpimpin juga terdapat beberapa proyek ambisius (kelak dikenal sebagai mercusuar) seperti misalnya pembangunan kompleks olahraga Senayan, Monumen Nasional, Mesjid Istiqlal, dan Kompleks Ganefo (Kompleks DPR-MPR), dan lain-lain.

Ada pun salah satu strategi pemerintah membiayai defisit adalah berutang pada negara-negara lain, yang didominasi oleh  blok sosialis. Tercatat bahwa bantuan pembangunan Uni Soviet dan Eropa Timur mencapai rata-rata 120 juta dollar per tahun, yang diperuntukkan bagi pembangunan industri berat, industri kimia, semen, tekstil, pabrik besi, baja, dan logam bukan besi (misalnya, pembangunan PT Krakatau Steel di Cilegon, Banten).

Pada kurun waktu yang sama, ribuan orang Indonesia dikirim untuk belajar ke Uni Soviet dan Eropa Timur. Bahkan Indonesia juga menerima sekitar 2.000 penyuluh pertanian dan penasihat teknis dari Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Menurut penjelasan penulis, pinjaman dari negara-negara sosialis ini dianggap lebih ramah dan tidak terlalu mendikte sehingga tidak menimbulkan ketergantungan negara miskin terhadap negara kaya, karenanya Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip ekonomi berdikari (lihat halaman 135).

Memasuki tahun 1965, ketegangan politik dalam negeri semakin meningkat. Konflik antara dua kekuatan besar –PKI dan Angkatan Darat– kian tajam, dan pada saat yang sama konfrontasi dengan Malaysia kian keras. Sementara Amerika Serikat meningkatkan bantuannya pada Malaysia, dan sebaliknya batal memberikan pinjaman pada Indonesia. Di saat yang kurang lebih bersamaan, Sukarno memberikan pidato pada 17 Agustus 1965 dengan judul Tahun Berdikari. Salah satu pernyataan tegas pada Amerika Serikat pun muncul di sini, dan bentuk konkretnya Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan IBRD: "Go To Hell with your Aid."

Sepanjang tahun 1965 inflasi memburuk. Tercatat dalam buku ini bahwa pada saat Demokrasi Terpimpin, Indonesia menghadapi kenyataan inflasi yang mencapai 594,5 persen, dan mengalami defisit APBN mencapai minus 63 persen (lihat halaman 137). Perlahan tapi pasti, kemudian Sukarno pun mulai tersingkir  dari panggung kekuasaan. Kira-kira seputar ekonomi pada masa-masa itulah yang dibahas secara mendalam di bab ini.

Salah satu bagian di dalam buku yang memuat persoalan fiskal era Soeharto. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Salah satu bagian di dalam buku yang memuat persoalan fiskal era Soeharto. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Orde Baru dan Reformasi

Beberapa bab selanjutnya berusaha membentangkan bagaimana kebijakan fiskal dan pengelolaan utang selama periode rezim orde baru, dimulai sejak masa stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi (1966-1968). Saat itu, sejarah mencatat bahwa kenyataan ekonomi negara nyaris ambruk, atau mengalami masalah yang dirumuskan sebagai hiperinflasi. Untuk mengatasi soal ini, pemerintah membentuk Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional (DESN), suatu badan yang membantu pemerintah dalam merumuskan kebijaksanaan dan petunjuk pelaksanaan umum di bidang ekonomi dengan tujuan memulihkan perekonomian secepat-cepatnya.

Jika kita sering mendengar bagaimana pemerintah Orba berupaya menormalisasi hubungan dengan Amerika Serikat, dan membentuk Undang-undang penanaman modal asing, DSEN inilah yang kemudian merekomendasikan berbagai kebijakan itu. Dan setelah mengambil alih kekuasaan Soeharto memerintahkan tim ekonomi dari teknokrat Universitas Indonesia untuk menyusun instrumen utama kebijakan anggaran dengan mengubah anggaran moneter menjadi anggaran berimbang dan dinamis (halaman 172).

Pada titik inilah defisit anggaran diatasi dengan pinjaman luar negeri kepada negara dan badan donor yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan kembali mengajukan diri untuk menjadi anggota IMF dan Bank Dunia. Buku ini juga secara komperhensif mengulas apa yang kelak dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) hingga kejatuhan Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 21 Mei 1998.

Pembahasan melaju pada kebijakan fiskal dan pengelolaan utang pada masa transisi dari orde baru ke reformasi. Kegagalan program liberalisasi yang didorong pemerintah Orde Baru sejak 1983 melalui berbagai kebijakan deregulasi didorong lebih masif pada masa ini. Pembahasannya kemudian dibagi ke dalam tiga masa: periode B.J Habibie (1998-1999), periode kepemimpinan Gus Dur (1999-2002), dan periode kepemimpinan Megawati Soekarnoputri (2002-2004).

Dalam setiap periode kepemimpinan yang singkat, banyak perubahan kebijakan di bidang fiskal maupun pengelolaan utang yang dijalankan masing-masing pihak. Menurut Edy Burmansyah (lihat halaman 246), Habibie mampu menurunkan utang Indonesia dari $150,8 miliar menjadi $148,1 miliar. Sementara di era Gus Dur, Indonesia mengadopsi Government Finance Statistics, sehingga format penyusunan APBN berubah dari T-account menjadi I-Account. Di masa kepemimpinan Megawati, pemerintah melakukan reformasi sistem keuangan negara melalui penerbitan tiga paket undang-undang pengelolaan keuangan negara.

Selain itu, buku ini juga membahas kebijakan fiskal dan pengelolaan utang selama sepuluh tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2004-2014. Beberapa catatan penting selama lima tahun pertama SBY adalah pelunasan uang IMF, pembubaran CGI (Consultative Groups on Indonesia), dan pertumbuhan besaran APBN (government size). Nahas, di penghujung periode pertamanya, SBY dihadapkan pada skandal yang kala itu menyita perhatian khalayak: Bailout Bank Century.

Setelahnya, buku Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah juga mengulas kebijakan selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi tahun 2014-2022 dengan visi awal yang tertuang dalam konsep Nawacita dan Trisakti. Namun pada pembahasan periode kedua, hanya sampai tahun 2022 ketika mendekati berakhirnya status pandemi Covid-19. Terakhir, dan ini yang saya kira penting. Memuat hasil pengujian peran dan efektivitas dari utang dan kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah sejak awal republik.

Pengujian ini, menurut penjelasan penulis, menggunakan teori Ricardian Equivalence Hypothesis (REH). Dan sebenarnya masih banyak pembahasan lebih rinci khususnya terkait problem ekonomi dan relevansinya dengan cabang keilmuan lain. Catatan ini tidak berpretensi menyajikan tinjauan lengkap buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah. Hanya satu hal, buku ini mampu mengantarkan kita untuk memahami keputusan yang diambil tiap pemangku kebijakan di Indonesia sejak revolusi hingga pandemi.

Uraiannya juga dapat membantu kita memahami keputusan yang bersifat penting. Pada akhirnya Buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah sungguh ideal menjadi bahan kajian bagi siapa saja yang menghendaki perbaikan dari sektor ekonomi. Sebab, sebagaimana keterangan Dr. Dadang Solihin dalam Blurb atau catatan di sampul belakang, yang mencatat bahwa buku ini tidak hanya menyajikan kronologi kebijakan (sejak awal berdirinya republik), tetapi juga menggali akar permasalahan serta menawarkan solusi pemecahannya.

Informasi Buku

Judul: Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah; Dari Revolusi hingga Pandemi

Penulis: Edy Burmansyah

Penerbit: Ultimus

Ketebalan: xxxvi, 508 halaman; 21 cm

ISBN: 978-623-88524-7-5

Edisi: 1, Oktober 2024

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya dari Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lain tentang Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//