• Buku
  • RESENSI BUKU: Di Balik Tragedi 1965

RESENSI BUKU: Di Balik Tragedi 1965

Indonesia pernah diwarnai sejarah kelam yang hingga kini masih berselimut kabut misteri. Buku Tempo “Sarwo Edhie dan Misteri 1965” menceritakannya.

Buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965 ditulis Tim Jurnalis Tempo (Kepustakaan Populer Gramedia, April 2016). (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam2 Maret 2025


BandungBergerak.id - Pascagerakan 30 September 1965 (G 30 S atau Gestapu) yang mengorbankan enam jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat, terjadi tragedi besar yang mengubah iklim sosial politik di Indonesia. Dari rentang waktu 1965-1969 negeri ini berselimut kabut gelap yang menihilkan kemanusiaan. Penculikan dan pembantaian terjadi di mana-mana.

Korban pembantaian yang dimotori tokoh militer Indonesia itu dilakukan kepada masyarakat yang ‘dianggap’ terlibat atau terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kisah kelam penumpasan PKI dibukukan Tempo dalam buku “Sarwo Edhie dan Misteri 1965”.

Buku ini ditulis oleh belasan jurnalis senior Tempo dan disunting oleh 10an editor. Di buku ini, kita bisa melihat sosok yang paling berpengaruh saat pembantaian terjadi dalam 22 subjudul.

Banyak versi berapa korban dari peristiwa penangkapan tanpa pengadilan itu. Militer menyebut ada 75.000 korban jiwa, sedangkan versi lain menurut Benedict Anderson diperkirakan 500-1 juta jiwa.

Versi tersebut hingga kini masih belum terungkap secara pasti. Namun perkiraan paling mendekati dan diyakini kebanyakan masyarakat Indonesia adalah lebih dari 500 ribu jiwa dibantai tanpa diadili. Mereka yang tertuduh kebanyakan rakyat jelaya yang tidak tahu-menahu tentang G 30 S.

Belum lagi banyak aktivis dan masyarakat yang dibilang aktif di organisasi underbow PKI, seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Pemuda Rakyat (PR) hingga Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) tak luput dari cengkeraman militer. Mereka di antaranya jika tidak dibunuh, ditahan sembari disiksa tidak kurang dari 15 tahun lamanya sebagai tahanan politik.

Di balik penangkapan, penculikan, dan pembunuhan massa PKI atau dituduh PKI, tim penulis Tempo mengungkap peran Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) - Komando Pasukan Khusus - Sarwo Edhie Wibowo. Dia merupakan bapak Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, istri dari Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Siapa Sarwo Edhie Wibowo itu?

Tempo menulis, Sarwo dikenal sebagai orang yang tegas, keras, dan tanpa kompromi. Sifat kemiliterannya sudah mengakar dalam jiwanya. Lahir tanggal 25 Juli 1927 di sebuah desa kecil bernama Pangenjuru, Purworejo, Jawa Tengah, Sarwo merupakan keturunan ningrat dari pasangan Raden Kartowologo dan Ayu Sutini. Kedua orangtuanya merupakan PNS yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1942 saat Jepang menguasai Indonesia, di usianya yang terbilang masih remaja Sarwo merantau ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai Pembela Tanah Air (PETA). Peta merupakan tentara tambahan untuk koloni Jepang yang kebanyakan nantinya jadi tentara Indonesia saat merdeka.

Setelah diterima jadi anggota prajurit, Sarwo ditugaskan hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang. Saat kemerdekaan diproklamirkan, Peta dibubarkan. Sebagian besar dari anggotanya lanjut bergabung menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR) – cikal bakal ABRI/TNI.

Tempo mencatat, saat bergabung dengan BKR Sarwo pernah berniat mendirikan batalyon. Namun usahanya gagal. Teman satu kampungnya, Ahmad Yani – korban dari peristiwa Gestapu – mengajaknya untuk bergabung batalyon V Brigade IX Divisi Diponegoro di Magelang.

Saat itu Yani menjadi komandan batalyon sedangkan Sarwo menjabat sebagai komandan kompi. Ahmad Yani dan Sarwo terbilang dekat. Selain teman satu kampung mereka sama-sama anggota Peta.

Pada 1949, Sarwo menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah dan dikaruniai tujuh orang anak. Tiga di antaranya merupakan tokoh publik, seperti Ani Yudhoyono, istri SBY; Pramono Edhie Wibowo mantan KSAD saat SBY masih menjabat sebagai Presiden, dan Hartanto Edhie Wibowo bekas ketua umum partai Demokrat.

Sepenggal Kisah di Jakarta

Cerita pembantaian jutaan jiwa tak bersalah dimulai saat pagi 1 Oktober 1965. Dalam “Sarwo Edhie dan Misteri 1965” subjudul ‘Manuver Komandan Baret Merah’ diceritakan, ajudan Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, Mayor Subardi datang dengan wajah tegang ke kediaman Sarwo di Jalan Flamboyan 59. Ani yang masih gadis tengah menyapu di ruang tengah, menyambut tamu tersebut.

Sembari menangis, Subardi melaporkan kepada Sarwo atas penembakan segerombolan tentara yang menimpa Ahmad Yani. Tidak berlangsung lama, setelah percakapan usai, Sarwo mengumpulkan para perwira di rumahnya untuk menghimpun kekuatan. Saat itu sejumlah tentara dan perwira tengah bertugas di Kalimantan dan Papua.

Menjelang siang, Sarwo dan Pangkostrad Suharto tengah membahas situasi di Markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka Timur. Sarwo yang memiliki pasukan organik siap sedia untuk mengamankan tempat-tempat vital. Tanpa suruhan dari Suharto, Sarwo memerintahkan pasukan baret merah ke Kostrad.

Baru pada sore menjelang, Suharto memerintahkan Sarwo untuk merebut RRI dan Kantor Telekomunikasi. Hanya berlangsung setengah jam saat baku tembak terjadi, pasukan kompi Tanjung berhasil mengambil alih RRI. Lalu Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibu Subroto yang ikut tim ini, membacakan pidato tertulis Panglima Kostrad.

Pada malam pukul 23.30, Presiden Sukarno meninggalkan pangkalan Angkatan Udara Perdana Kusuma menuju ke Istana Bogor. Sebelumnya terhelat sebuah rapat tentang pengangkatan panglima Kostrad baru untuk menggantikan Suharto. Namun Suharto menolak keputusan tersebut.

Di saat yang sama, Sarwo yang tengah besama Abdul Haris Nasution dan Suharto tengah berada di markas Kostrad. Sarwo gelisah sebab tidak ada perintah untuk penyerangan selanjutnya. Ia berinisiatif masuk ke ruangan panglima dan menanyakan tindakan selanjutnya.

Suharto akhirnya mengizinkan Sarwo mengambil alih pangkalan angkatan udara di Halim. Saat perjalanan, mobil Sarwo yang ditumpanginya ditembak. Bahkan panser yang mengawalnya itu tertembak oleh bazoka.

Lantas ia pun tiarap dan memerintahkan seorang prajurit untuk melambaikan baret merahnya agar tidak ditembah. Namun nahas, prajurit itu mati tertembak. “Santosa bilang prajurit itu cuma kena tembak. Belakangan saya ketahui ia gugur. Andai kata saya tahu sejak semula, pasti saya marah sekali dan saya perintahkan membalas,” ujar Sarwo, dikutip Tempo.

Sarwo dan pasukannya lalu menyingkir ke Pos Komando Khusus di Pondok Gede. Di sana sudah ada perwira tinggi Angkatan Udara Laksamana Muda Sri Mulyono dan Komodor Dewanto. Dari mereka itulah diketahui bahwa Presiden Sukarno sudah mengungsi ke Istana Bogor.

Maka mereka pun terbang ke Istana Bogor dengan menaiki helikopter kepresidenan. Selepas di Bogor dan bertemu Sukarno, dia kecewa dan menganggap sang proklamator memandang remeh hilangnya sejumlah jenderal. “Menurut Sukarno, hal itu hanya sebuah riak kecil dalam revolusi,” tulis Tempo.

Pada Minggu 3 Oktober pagi, sejumlah tentara yang ditugasi mencari keberadaan para jenderal akhirnya menemukan sebuah tempat janggal. Di bawah sebuah pohon pisang yang mencurigakan para pasukan menggali menggali sumur sedalam 10 meter. Nama sumur itu dinamakan Lubang Buaya. Di sanalah jasad para jenderal yang diculik itu dibuang.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Masih Alergi Palu Arit
RESENSI BUKU: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa (SPOILER ALERT)
RESENSI BUKU: Menyelami Peta Transformasi Media Baru Ala Moch Fakhruroji

Buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965 ditulis Tim Jurnalis Tempo (Kepustakaan Populer Gramedia, April 2016). (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965 ditulis Tim Jurnalis Tempo (Kepustakaan Populer Gramedia, April 2016). (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Menumpas PKI hingga Akar-akarnya

Tekad Sarwo untuk membumihanguskan PKI sampai ke akar-akarnya didukung oleh pernyataan Suharto. Dalam buku Robert E. Elson, Suharto: A Political Bioghrapy menyebutkan Suharti ingin bertindak cepat untuk menumbangkan PKI hingga tak tersisa.

“Setelah menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri apa yang ditemukan di Lubang Buaya, tugas utama saya adalah menghancurkan PKI, menghancurkan perlawanan di mana pun, di ibu kota, di daerah, dan juga di persembunyian di gunung-gunung,” tegas Suharto.

Hal itu pun disambut baik oleh Sarwo. Dia mendesak Suharto agar ditugaskan di Jawa Tengah untuk menumpas PKI. Dia akan mengajak masyarakat yang anti-PKI untuk ikut membantu penumpasan.

“Saya ingin membuka kedoknya, kemudian menunjukkan ke rakyat, siapa yang sebenarnya berada di belakang Gestapu,” sambut Sarwo kepada John Huges, dalam bukunya berjudul The End of Sukarno, sebagaimana dikutip Tempo.

Sarwo bersama batalion RPKAD dari Jakarta bergerak ke Semarang. Hari itu juga sebanyak 1.050 orang ditangkap. Masyarakat yang didukung oleh Sarwo segera merangsek gedung-gedung milik PKI dan membakarnya.

Di Solo dia melumpuhkan aksi mogok Serikat Buruh Kereta Api di Stasiun Balapan. Dalam subjudul “Tak Ada Tentara, Pemuda Pun Jadi”, Sarwo benar-benar memanfaatkan masyarakat yang antikomunis untuk turut serta membantu melancarkan operasi, bahkan menembak masyarakat yang dianggap PKI.

Alasan kekurangan personel juga menjadi pendorong Sarwo untuk melatih pemuda – yang sebagian besar bagian dari ormas keagamaan – untuk memburu kader PKI. Mereka dilatih menggunakan senjata AK-47. Sebelumnya Sarwo meminta tambahan pasukan dari Jakarta, tetapi ditolak. Di saat yang sama sebagian serdadu tengah berada di Sumatera dan Kalimantan yang siap menyerbu Malaysia.

“Pelatihan untuk pemuda memang ide Pak Sarwo,” ungkap Letnan Jenderal (Puranwirawan) Sintong Panjaitan, anak buah Sarwo kala itu.

Setelah memberikan pelatihan kepada para pemuda, Sarwo mereka ditugasi di desa-desa dengan membawa daftar nama orang-orang PKI yang harus ditangkap.

Tempo mencatat sepenggal kisah yang menggambarkan karakter Sarwo ketika rapat umum di Boyolali, Jawa Tengah, Oktober 1965. Di hadapan ribuan orang, Sarwo berseru: “Siapa mau dipotong kepalanya, saya bayar lima ribu?” sunyi, tidak ada jawaban.

“Siapa yang mau dipotong kepalanya, saya bayar seratus ribu,” masih sepi. “Nah, dibayar seratus ribu saja tidak ada yang mau dipotong kepalanya. Agar kepala saudara-saudara tidak dipotong dengan gratis, maka PKI harus dilawan,” tegasnya.

Situasi sosial politik Indonesia berubah cepat selama dilancarkannya operasi pembumihangusan PKI oleh Sarwo dengan dukungan Suharto. Masyarakat saling dibenturkan satu sama lain. Banyak cendikiawan tidak bisa pulang dan menjadi eksil di negara orang. Banyak pula seniman dipenjara tanpa diadili. Dan tidak sedikit rakyat yang dituding maupun simpatisan PKI menjadi korban. 

Informasi Buku

Judul buku: Sarwo Edhie dan Misteri 1965

Penulis: Tim Jurnalis Tempo

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan: Cetakan Kelima, April 2016

Jumlah halaman: 114 halaman

ISBN: 978-979-91-041404.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Resensi Buku 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//