RESENSI BUKU: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa (SPOILER ALERT)
Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa menceritakan perjalanan kontemplasi Franz Junghuhn menuju hutan, gunung, pantai, dan segala bentang alam di Jawa yang masih murni.
Penulis Malik Ar Rahiem21 Februari 2025
BandungBergerak.id – Pada bulan Februari tahun 2025, buku pertama Franz Junghuhn yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia akhirnya sudah selesai dicetak dan siap menyambut para pembacanya. Sebagai penerjemah dari buku ini, saya ingin memperkenalkan buku tersebut kepada pembaca atau terutama kepada calon pembaca yang belum memesan bukunya.
Buku ini pertama saya baca pada awal tahun 2023, kemudian saya mulai terjemahkan pada tahun itu juga. Penerjemahan selesai pada akhir tahun 2023, namun karena satu dan lain hal, buku ini tak kunjung terbit, hingga akhirnya saya berinisiatif untuk menerbitkannya secara mandiri.
Tulisan kali ini dibuat sebagai rangkuman isi dari buku tersebut. Saya berharap semoga isi rangkuman ini tidak menjadi spoiler yang membuat pembaca jadi kehilangan sensasi atas pengalaman pertama membaca kisah yang epik dari perjalanan Junghuhn. Tapi saya pun merasa perlu memperkenalkan apa sebenarnya isi dari buku tersebut, terutama bagi pembaca yang awam.
Buku ini adalah karya Franz Wilhelm Junghuhn, seorang Naturalis kelahiran Jerman, yang wafat di Lembang. Franz Junghuhn merupakan salah satu Naturalis terbesar yang pernah berkarya di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera, dengan karya utamanya adalah Kitab Java, yang dalam edisi berbahasa Jerman tebalnya lebih dari 1800 halaman. Namun buku yang dibahas sekarang bukanlah buku Java, melainkan buku lain yang berjudul Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java, dalam bahasa Indonesia saya menerjemahkannya sebagai: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa. Junghuhn menulis buku ini setelah berkelana selama 13 tahun di Jawa dan Sumatra, antara tahun 1835-1848, yang kemudian pertama terbit pada tahun 1854.
Buku ini tercipta sebagai kontemplasi Junghuhn ketika melakukan perjalanan ke hutan, gunung, pantai, dan segala bentang alam di Jawa yang masih murni. Setiap orang pada hakikatnya selalu mempertanyakan asal usul dan makna kehidupannya. Begitu pula Junghuhn. Observasi alam menggiringnya pada pertanyaan tentang eksistensi dan makna kehidupan.
Dikisahkan bahwa dua orang Eropa, bernama Siang (personifikasi Junghuhn) dan Malam (personifikasi orang yang ingin mendakwahkan ajaran Kristen di Jawa), yang sedang melakukan perjalanan di Pulau Jawa. Perjalanannya bermula dari sebuah desa kecil bernama Gnurag.
Gnurag adalah kode Junghuhn untuk sebuah desa bernama Garung. Setelah ditelusuri di dalam petanya Franz Junghuhn, daerah Garung ini berada di sekitar Garut Selatan, sekitar 50 km arah utara dari Leuweung Sancang. Di Garung mereka mendaki beberapa bukit dan bermalam cukup lama karena kesulitan mencari Kuli yang mau membantu mereka membawakan barang-barang. Karena cukup lama di Garung, maka mereka sempat untuk melaksanakan ceramah kepada masyarakat untuk mengajarkan pemikiran mereka.
Dari Garung mereka bergerak ke arah barat. Ada beberapa nama desa yang dilewati, misal Singatuwu, kemudian Desa Karang dan Desa Batur. Disebutkan juga tentang penyeberangan di satu sungai yang sedang banjir, yaitu Sungai Tjilaki. Tak begitu rinci diterangkan berapa jauh mereka berjalan, namun tempat selanjutnya yang mereka datangi adalah sebuah pantai bernama Tanjung Sodong. Di pantai ini Siang dan Malam menyaksikan pembantaian penyu oleh Ajag, Harimau, dan Buaya.
Berdasarkan Peta Jawa skala 1:350.000 yang dibuat oleh Junghuhn, Tanjung Sodong terletak di dekat Ujung Kulon. Kenapa kita bisa tahu letaknya di sini. Mungkin kejadian ini sangat berkesan bagi Junghuhn, hingga ia menamai pantai itu di petanya itu Reuzenschildpadden, penyu raksasa. Dari jarak yang begitu jauh (Pameungpeuk-Ujung Kulon, sekitar 370 km), kita bisa menduga bahwa perjalanan ini sebenarnya adalah perjalanan yang fiktif, atau merupakan gabungan dari dua perjalanan yang berbeda.

Kemudian dari Tanjung Sodong, Siang dan Malam melanjutkan perjalanan ke Situ Patengan, di mana ia bertemu tiga orang Eropa lainnya, Senja, Fajar, dan Si Praktis. Di Situ Patengan mereka kembali terlibat dalam diskusi filosofi yang seru. Kisah ini diakhiri di tepi Situ Patengan, di mana Junghuhn berkontemplasi dengan syahdu, di hadapan danau Situ Patengan yang begitu hening.
Selanjutnya mari kita bahas hal-hal penting yang terjadi di sepanjang perjalanan Siang dan Malam.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Melihat Cililin Era Kolonial Belanda dalam The Belle of Tjililin
RESENSI BUKU: Kota adalah Rentetan Cemas dan Lapar yang Berkepanjangan
RESENSI BUKU: Menyelami Peta Transformasi Media Baru Ala Moch Fakhruroji
Di Garung
Banyak hal yang terjadi di desa ini. Pertama mereka menerima sambutan yang hangat. Kemudian mereka sempat juga membantu masyarakat desa membunuh harimau yang pernah memangsa seorang warga, yaitu suami seorang janda yang rumahnya mereka tempati.
Garung adalah tempat yang indah. Siang menuliskan kekagumannya pada alam Garung.
„Kami merasa seolah ada di surga. Tidak begitu sulit untuk merasa begitu. Bukankah kita menghirup udara yang murni, sejuk, dan nyaman? Bukannya langit biru paling indah menghampar di atas kita? Bukannya pohon pisang „dari surga“ (seperti kata Linneaus), dengan buah yang besar dan matang, tumbuh tepat di samping pondok kita? Bukannya buah mangga berwarna keemasan, jambu merah, durian seukuran kepala, serta nangka, juga buah-buahan indah, nampak di antara dedaunan dari pohon-pohon yang ada di sekitar desa? Bukannya hutan paling indah dan paling berbunga ada di atas, bawah, depan, dan belakang kita? Tidakkah kamu merasa bahwa para penduduk di desa terpencil ini, dengan kehidupan sederhananya, hidup seperti orang-orang yang pertama tinggal di surga, yang hidup tanpa mengenal dosa?“
Setelah berkegiatan serta berinteraksi dengan warga lokal dan merasakan keramahannya, Siang dan Malam berdiskusi di malam hari. Malam menyayangkan bahwa di tempat seindah dan orangnya sebaik ini, belum ada masuk ajaran Kristen. Siang mempertanyakan untuk apa ajaran Kristen masuk. Malam menjawab lagi agar mereka bisa mencapai budaya setinggi Bangsa Eropa, yang menganut Kristen. Siang menolak pendapat itu dan menerangkan bahwa kemajuan budaya di Eropa berasal dari berkembangnya ilmu pengetahuan, justru agamalah yang menghambat ilmu pengetahuan ini untuk maju, sembari mencontohkan Galileo dan Kopernikus yang dipersekusi oleh gereja.
Perdebatan ini sangat panjang. Namun ada beberapa hal penting yang bisa kita tarik. Siang berpendapat bahwa kebaikan dan moral bukanlah ajaran agama, melainkan hal yang manusiawi yang tertanam di dalam diri manusia. Hal ini merupakan topik perdebatan seru dalam dunia filosofi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Saya merasa bahwa Siang menganut ajaran filosofi Kant, yang mendasarkan segala sesuatu pada alasan.
Siang adalah orang yang logis yang percaya bahwa yang nyata itu adalah segala hal yang bisa ditangkap oleh pancaindra. Tapi ide, pikiran, konsep adalah satu ranah yang fana. Tidak ada bentuknya, tapi dia tahu itu ada di sana. Ruh, jiwa, pikiran, itu adalah konsep yang tidak bisa diterangkan Siang, sehingga ia menerangkan hal tersebut sebagai domain Ketuhanan. Segala hal di alam saling terkait dan tersusun dengan tingkat presisi yang luar biasa, yang menurut Siang adalah bukti tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hanya ada satu mukjizat, yaitu alam semesta. Hanya satu kebenaran, yaitu pengungkapan dari hukum alam, dari karya Sang Pencipta. Semua hal yang ada di alam semesta ini bisa diterangkan secara fisik dan kepadanya berlaku hukum-hukum yang abadi, yang bisa dipahami dan dipelajari oleh manusia. Begitu juga semua fenomena di di langit dan di bumi. Hanya satu yang tidak dapat dipahami, tapi aku bisa merasakannya setiap saat, yaitu apa-apa yang ada di dalam batin, juga ruh, yang bermanifestasi dalam berjuta bentuk. Aku tidak mengerti tentang batin, tapi aku selalu merasakannya setiap waktu, ia selalu hadir di setiap saat, di setiap hal yang aku periksa, pada tanaman, pada bebatuan, pada fenomena atmosfer, juga di langit dan di bumi, pada manusia, pada serangga terkecil sekalipun. Di mana-mana aku menyadari adanya hukum bahwa segala sesuatu memiliki manfaat, juga kerumitan yang mencerminkan kemahatahuan. Aku menyadari bahwa setiap makhluk hidup di bumi diciptakan untuk berbahagia. Meskipun aku tidak mengerti esensi dari alam, jiwanya, ruhnya, dari mana semua berasal, yang menggerakan segalanya, aku tetap merasa bahwa Dia ada di sana. Yang Maha Bijak, Maha Baik, aku berharap pada-Nya, percaya pada-Nya, menyembah-Nya, memuja-Nya, Tuhan.
Siang dan Malam bersepakat bahwa mereka akan memberikan ceramah mengenai ajaran masing-masing kepada warga Garung. Malam pertama adalah giliran Malam, sementara keesokannya adalah giliran Siang.
Malam menyampaikan beberapa pokok ajaran Kristen, yang dia ambil dari buku Vraagboekje tot Onderwijzing in de Christelijke leer. Buku ini semacam buku panduan pertanyaan terkait ajaran agama Kristen. Yang menarik adalah setelah Malam selesai berceramah, ada seorang ulama muslim yang ikut berbicara. Ulama Islam itu menolak ajaran bahwa Tuhan mempunyai anak sambil mengutip beberapa ayat dalam 3 surat Al-Quran, antara lain An-Nisa 171, Yusuf 105-106, dan Maryam 88-93. Ketiganya adalah penjelasan Al-Quran mengenai Isa putra Maryam.
Keesokan harinya giliran Siang yang mengajarkan ajarannya. Dia memulai dengan menunjukkan peralatan-peralatan lapangannya.
„Di depanku, aku mempunyai bola bumi dan langit, sekstan dan cakrawala buatan, teleskop, kronometer, barometer, termometer, psikrometer, kompas, magnet buatan, mikrospkop, hidrometer Nicholson, prisma tiga sisi, kamera obskura portabel, apparat daguerreotype, sekotak regen kimia, serta beberapa instrumen sains terapan sebagai simbol keyakinanku.“
Ajaran Siang terdiri atas 25 prinsip. Prinsip-prinsip ini adalah cara Siang untuk menjelaskan bagaimana ia menjawab fenomena-fenomena alam dalam keterkaitannya dengan penciptaan. Ia menolak segala takhayul dan segala hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Dengan mata telanjang kita hanya mampu melihat biru langit saja, sementara jika menggunakan teleskop, kita bisa menemukan bintang dan nebula. Dengan teleskop yang lebih besar, pengamat bintang lain bisa menemukan nebula yang lebih jauh, juga gugusan bintang-bintang lainnya, yang berjarak begitu jauh dari bumi kita. Bahkan sinar matahari perlu waktu 8 menit untuk menempuh jarak 20 juta mil menembus ruang angkasa untuk sampai kepada kita. Dengan begitu maka benda langit yang jauh lebih jauh lagi yang bisa terlihat oleh teleskop itu tak mungkin kita lihat jika mereka belum ada ratusan ribu tahun yang lalu. Materi pengisi ruang di langit sama tak terbatasnya dengan luas ruang yang bisa mereka isi. Isinya bisa dibagi-bagi lagi menjadi partikel-partikel kecil yang sangat halus, sehingga tak bisa kita perkecil lagi, bahkan dengan perbesaran paling besar sekalipun. Jika dalam dunia ciptaan kita tak dapat menjelajahi awal, menemukan batas, dan membayangkan akhir, maka bayangkan, Dia yang menciptakannya, pasti tidak terbatas, abadi, dan tidak berawal lagi tiada berakhir.
Pada akhirnya ulama Islam yang juga ikut dalam ceramah ini merasa ajaran Siang lebih sesuai dengan pemikirannya.
Hubungan Sosial Siang, Malam, dan Warga Pengikutnya
Hal yang cukup menarik bagi saya ketika membaca buku ini adalah mengamati interaksi antara Siang, Malam, dan warga lokal yang ikut dalam timnya. Di dalam buku ini ada beberapa nama yang disebut, antara lain: Sidin, Masputri, Pangkat, Ario, dan Sungsang. Sidin adalah pembantu Siang yang paling sering disebut. Sementara pembantu Malam bernama Lapiah.
Cara mereka berkomunikasi dengan para pembantunya ini pun saya rasa sangat egaliter. Para pembantu ini tidak segan untuk mengeluh, “Banyak capek Tuan, sakit perut”, sebagaimana mereka sampaikan di awal ketika baru sampai di Garung.
Atau ketika para Kuli ini terpaksa harus terlambat 1 malam karena tidak bisa melewati sungai. Akhirnya pada malam itu, Siang dan Malam tidak punya baju ganti dan anggur untuk malam hari. Ketika Siang marah pada mereka, kuli-kuli ini menjawab, ”Kami para kuli sudah terbiasa tidur tanpa alas dan kami juga tidak minum anggur. Kami pikir kalau Tuan sekali-sekali seperti itu juga tidak akan apa-apa.”
Lalu setelah Malam selesai berceramah tentang ajaran Injil, konon Lapiah, pembantunya, berencana pindah menjadi seorang Kristen. Tapi kemudian dia batal. Alasannya begini,”Tuan bilang kalau orang Kristen harus mencintai sesama seperti mencintai dirinya sendiri, tapi Tuan tidak lakukan itu. Tuan merokok 12 batang setiap hari. Aku juga mau merokok dan hanya minta 2 batang, tapi Tuan tidak berikan. Tuan kaya, tapi pas aku minta naik gaji pas perjalanan kita selesai, Tuan malah marah. Apa gunanya ajaran bagus kalau cuma tertulis di buku dan tidak diikuti.”
Meskipun Lapiah ini memang kurang ajar, tapi hal ini menunjukkan bahwa Siang dan Malam bisa berkomunikasi dengan egaliter dengan pembantunya.
Peristiwa Alam Menginsipirasi
Selama perjalanan ini, Siang dan Malam merasakan beberapa peristiwa alam yang mengguncang perasaan. Pertama adalah ketika naik gunung di dekat Garung. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan badai petir datang. Pohon di puncak gunung tersambar petir, dan mereka hanya bisa bertiarap dan berharap agar tidak ikut tersambar.
Tapi cerdasnya Junghuhn ini adalah dia bisa merefleksikan segala kejadian dan bagaimana semua itu saling terkait. Dari matahari yang jauh memberikan sinarnya. Di bumi energi panas ini menghangatkan uap air, menjadikannya naik ke awan, sehingga menjadi bibit-bibit hujan. Hujan turun dan rintiknya mengerosi lembah membawa tanah.
Juga ketika menyeberang sungai, Siang dan Malam hampir tersapu banjir bandang. Ketika banjir bandang itu mereda, ia melihat bangkai badak dan banteng yang tak berdaya terhantam banjir. Ketika mereka mau memakannya, seekor harimau keburu datang dan mengambilnya. Di sini juga ia berpikir bahwa yang hidup dan mati semua memiliki fungsi dan perannya.
Tapi tentu yang paling mengagumkan adalah ketika ia melihat pembantaian penyu raksasa di tepi pantai di Tanjung Sodong.
Di suatu pantai di Ujung Kulon, Junghuhn menyaksikan hamparan pantai yang dipenuhi kerangka penyu. Makhluk malang ini mendarat ke tepi bukit untuk bertelur. Hanya demi satu tujuan ini, ia harus menghadapi begitu banyak marabahaya. Pertama adalah kelompok anjing hutan, yang menyergapnya, merobek perutnya, mengiris-ngiris tubuhnya dengan gigi mereka yang tajam. Ketika anjing hutan sibuk memuaskan laparnya, seekor buaya ikut datang menerkam. Seekor anjing telah masuk ke dalam mulutnya. Junghuhn telah memegang senapan, ketika orang Jawa di sampingnya menepuk pundaknya untuk memberi tahu, bahwa dua ekor harimau telah mengawasi di tepian, akan segera mengambil haknya sebagai penguasa belantara.
Kejadian di Tanjung Sodong ini sangat berkesan hingga seorang filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer mengutip kejadian ini dalam bukunya Die Welt als Wille und Vorstellung (Dunia sebagai Kehendak dan Representasi) edisi ketiga, yang pertama terbit tahun 1859. Kurang lebih begini terjemahan dari kutipan Schopenhauer dalam buku tersebut:
Junghuhn melihat sebuah hamparan pantai luas yang seluruhnya dipenuhi oleh kerangka, dan mengiranya sebagai medan pertempuran. Namun, ternyata itu itu hanyalah kerangka penyu raksasa, panjangnya lima kaki, lebarnya tiga kaki, dan tingginya kurang lebih sama. Penyu-penyu ini datang dari laut ke tempat ini untuk bertelur, lalu diserang oleh anjing-anjing liar (canis rutilans); dengan kekuatan gabungan, anjing-anjing itu membalikkan penyu-penyu tersebut, merobek bagian bawah perisai mereka, yaitu sisik-sisik kecil di perut, dan memakan mereka hidup-hidup. Namun, seringkali seekor harimau menerkam anjing-anjing itu. Kini, semua penderitaan ini terulang ribuan, bahkan puluhan ribu kali, tahun demi tahun. Untuk inikah penyu-penyu ini dilahirkan? Dosa apa yang harus mereka tanggung hingga menderita siksaan seperti ini? Apa makna dari seluruh adegan mengerikan ini? Satu-satunya jawaban adalah bahwa kehendak-untuk-hidup [kehendak-dunia] mengobjektifikasi dirinya sendiri.
Belakangan saya baru mengetahui bahwa kutipan ini juga muncul di dalam serial Netflix berjudul Dark. Seorang fan dengan akun Darkdame13 di halaman dark.fandom.com menemukan kutipan ini dengan begitu jeli. Di season 2 episode 3, Noah, salah satu tokoh antagonis mengambil sebuah robekan buku dari Claudia, tokoh yang baru dibunuhnya. Di kutipan ini tertulis catatan tersebut dalam bahasa Jerman.

Akhir Perjalanan
Siang dan Malam meninggalkan pegunungan Selatan Jawa melalui jalur Situ Patengan. Di sana mereka bertemu dengan dua orang Eropa lainnya, Fajar dan Senja. Di Situ Patengan keempat orang Eropa ini kembali terlibat dalam diskusi filosofi.
Senja meyakini bahwa segala sesuatu itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Semacam keyakinan deterministik. Sementara Fajar meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk bertindak. Kemudian seorang Belanda lainnya, Residen Priangan, yang disebut sebagai Orang Praktis, ikut berpendapat, menurunya orang Jawa tidak perlu diajarkan ajaran Kristen. Karena menurutnya orang Jawa sudah cukup melaksanakan ajaran-ajaran tersebut dalam kesehariannya.
Pembelajaran
Tentu saja kita harus ingat bahwa perjalanan Junghuhn terjadi lebih dari 150 tahun yang lalu (mungkin sekitar 1837-1840, atau antara 1845-1848). Semua yang terkandung dalam buku ini harus disesuaikan dengan konteks pada saat itu. Buku ini menggambarkan keadaan yang otentik bagaimana seorang petualang hebat menggambarkan pandangannya tentang kehidupan. Manusia dibekali pancaindra untuk digunakan menangkap persepsi terhadap alam semesta, dan sudah semestinya pancaindra ini digunakan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang fana.
Junghuhn menolak segala macam takhayul, yang banyak sekali orang Indonesia mempercayainya. Tapi dia percaya Tuhan, bahkan ia berdoa kepada Tuhannya, setiap pagi ketika menghirup udara yang segar, atau setiap ia menyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan. Dia berusaha untuk berlaku adil dan mempraktikkan ajaran moral, bahkan berupaya untuk mengajarkan ajaran yang dia percayai. Dalam buku ini dia menyebut ajarannya sebagai Ajaran Agama dan Moralitas Alam, yang terdiri atas 25 prinsip. Buku ini telah dia tulis dalam bahasa Belanda, dan juga telah ia terjemahkan sarinya ke dalam bahasa Melayu. Bukti bahwa dia mempunyai niat untuk mengajarkan ajarannya.
Tapi beberapa yang dia pahami juga kelak terbukti keliru. Misal keyakinan Junghuhn bahwa kemajuan bangsa Eropa salah satu alasannya adalah faktor biologis ras yang lebih unggul. Bahkan keyakinan terhadap ini didasarkan pada pengukuran ukuran tengkorak ras-ras di dunia oleh para ahli biologi dan kedokteran di Eropa pada masa itu.
Yang pasti, ajaran Junghuhn bukanlah kebenaran tunggal, meski tidak berarti yang dia tulis dan dia ajarkan sepenuhnya adalah keliru. Ada hal-hal yang bisa kita pelajari dan kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara Junghuhn mencari Tuhan melalui observasi? Mungkin itu mirip dengan eksplorasi Ibrahim ketika mencari tahu siapa Tuhannya. Berapa banyak ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berpikir? Mungkin pendekatan berpikir Junghuhn inilah yang perlu kita adopsi untuk kenal dan bisa lebih dekat kepada Tuhan, Pencipta Semesta Alam.
Informasi Buku
Judul: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa
Judul asli: Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java (1866), bahasa Jerman
Penulis: Franz Junghuhn
Penerjemah: Malik Ar Rahiem
Tebal buku: 392 halaman, soft cover
Ukuran buku: 14x21 cm
Penerbit: Self-Publish
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi