• Buku
  • RESENSI BUKU: Kota adalah Rentetan Cemas dan Lapar yang Berkepanjangan

RESENSI BUKU: Kota adalah Rentetan Cemas dan Lapar yang Berkepanjangan

Buku “Kentut Kosmopolitan” karya Seno Gumira Ajidarma bercerita tentang Jakarta dan isinya dari segi ruang, makna, fungsi, harga diri, dan kelakuan penghuninya.

Sampul buku Kentut Kosmopolitan karya Seno Gumira Ajidarma terbitan Koekoesan tahun 2008. (Foto: Bintang Prakasa)

Penulis Bintang Prakasa9 Februari 2025


BandungBergerak.id – Seno Gumira Ajidarma merupakan penulis fiksi maupun nonfiksi kelahiran 19 Juni 1958 dan bekerja sebagai wartawan sejak 1977. Karya-karyanya sependek saya baca, lebih menonjolkan masalah sosial dan politik dibalut dengan gaya bertutur menarik, seperti buku yang ingin saya bahas kali ini, yakni berjudul “Kentut Kosmopolitan” diterbitkan oleh Koekoesan pada tahun 2008 dan berjumlah 296 halaman.

Buku tersebut terdiri dari 65 kolom (salah satu jenis tulisan jurnalistik yang berbentuk pandangan pribadi penulis mengenai fenomena tertentu) yang sudah dipublikasikan pada tahun sebelumnya di berbagai media dan berisi kurang lebih 700 kata dalam tiap judulnya serta buku ini merupakan sekuel dari buku sebelumnya, yakni “Affair: Obrolan tentang Jakarta”. Tulisan-tulisan dalam "Kentut Kosmopolitan" ini menceritakan tentang Jakarta dan isinya mulai dari segi ruang, makna, fungsi, harga diri, serta kelakuan lainnya dari Homo Jakartensis.

Terdapat beberapa kolom dalam buku ini yang bagi saya sangat dekat dan lekat, yakni berjudul "Jakarta sebagai Teks", "Menjadi Tua di Jakarta", "Jakarta Kosong", "Kota Tanpa Tukang Parkir", "Jakarta dan Ruang", "Ojek Sudirman-Thamrin", "Jakarta yang Sebenarnya?". Ketujuh kolom tersebut memicu dan membuat saya ingin memuntahkan apa yang saya rasa serta dapatkan setelah membacanya.

Kendaraan berhenti di lampu merah Jakarta. (Foto: Bintang Prakasa)
Kendaraan berhenti di lampu merah Jakarta. (Foto: Bintang Prakasa)

Baca Juga: RESENSI BUKU: Menulis Adalah Keniscayaan, Maka dari itu Belajarlah
RESENSI BUKU: Metafora Alam Sunda sebagai Pusat Pikiran Imajinatif
RESENSI BUKU: Meresapi Harapan dari Kisah Pi dan Harimau di Luasnya Samudera Pasifik

Ring Tinju Bernama Jakarta

Sebagai manusia yang lahir hingga saat ini mendiami kota sialan ini (Jakarta) dan entah sampai kapan aku harus bertaruh, berebut, lalu berkeluh hidup di kota yang penuh gemerlap dan gedung bertingkat untuk menutupi kawasan-kawasan kumuh di dalamnya. Berbicara tentang Jakarta menurutku sebagai ring tinju bagi tiap individu karena mereka harus bertarung untuk mendapatkan akses, uang, dan ruang agar bertahan hidup lebih lama.

Seperti yang kulihat dalam Terowongan Kendal, tempat itu selain menjadi lalu lalang buruh-buruh pulang kerja yang turun di Stasiun Sudirman, terdapat juga anak-anak kecil yang berjualan dari pagi hingga larut malam agar keluarganya bisa makan, orang tua yang masih semangat berjualan mie ayam untuk membiayai sekolah anaknya, pengemudi ojek online yang menepi karena basah kehujanan, kemudian buruh-buruh dengan penampilan rapi dan nyaman karena tidak kuyup kehujanan yang mampu membeli roti dan kopi di kedai kopi kenamaan.

Ataupun yang kulihat di Taman Ismail Marzuki (TIM) mulai dari mahasiswa yang ke sana untuk berdiskusi, muda mudi berpacaran sambil melihat pameran, hingga tukang parkir dan pedagang kaki lima (PKL) mencari rezeki.

Dari kedua tempat tersebut bahkan tiap sudut di Jakarta, manusia-manusia yang terdiri dari strata ekonomi dan sosial berbeda harus bertarung dalam satu ruang yang sama untuk saling mengisi, merebut, mengokupasi ruang kota (Jakarta) dengan makna dan tujuan berbeda-beda.

Konsep perebutan ruang kota awalnya dilahirkan oleh para ahli ilmu sosial untuk menganalisis klaim bidang-bidang tanah di perkotaan. Salah satunya adalah Dieter Evers, ia melihat kota sebagai bidang luas yang sudah dibagi-bagi menjadi bidang-bidang kecil yang masing-masing telah diakui oleh pribadi maupun kelompok tertentu. Namun, struktur kota yang kian lama berubah secara terus-menerus menyebabkan bidang-bidang tersebut dapat diklaim oleh individu atau kelompok lain.

Dari perebutan ruang kota tersebut menimbulkan pihak-pihak yang terpinggirkan hingga pengabaian atau dalam bahasa Antonio Gramsci disebut sebagai kelas-kelas subaltern (tersisihkan, terpinggirkan), berlangsung. Menurutnya, kelas subaltern adalah kelompok masyarakat yang diabaikan oleh negara karena posisi mereka yang lemah secara sosial, politik, dan ekonomi. Konsep subaltern itu, kemudian dikembangkan secara praksis oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Ia menginginkan bahwa seorang intelektual hendaknya memiliki keberpihakan kepada kelompok-kelompok subaltern yang selama ini tidak mampu untuk menyuarakan sejarahnya sendiri karena berada dalam pusaran kekuasaan yang hegemonik.

Kemacetan di Jakarta. (Foto: Bintang Prakasa)
Kemacetan di Jakarta. (Foto: Bintang Prakasa)

Jakarta dan Konsep Perebutan Ruang Kota

Menurutku konsep yang diinginkan Gayatri Chakravorty Spivak masih sangat relevan hingga saat ini dan seharusnya diterapkan, tetapi ironisnya adalah Homo Jakartensis ini justru bertingkah sebaliknya seperti yang dipaparkan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam kolom yang berjudul "Kota Tanpa Tukang Parkir". Di situ dapat kita lihat manusia-manusia Jakarta atau kota lainnya masih memandang suatu benda berdasarkan prestise bukan melihat fungsinya dan sayangnya kekeliruan berpikir tersebut masih diproduksi terus menerus hingga kini dan hal tersebut masih jauh sekali terkait konsep berpihak terhadap kelas-kelas subaltern itu terjadi. "Saya tidak pernah mengerti kenapa orang Jakarta seperti sudah terkena musibah jika mobilnya tergores meski hanya sedikiiiiiiiiiit saja."

Kemudian, kolom yang berjudul "Ojek Sudirman-Thamrin" tersebut sangat menarik buatku karena pada tulisan itu penulis mencoba meluapkan yang dekat dan lekat, tetapi sering tak tercatat di Jakarta. Hal tersebut adalah fenomena kehadiran tukang ojek, menurutku mereka adalah manusia-manusia yang mencoba memanfaatkan dan merebut ruang kota agar dapat bertahan hidup serta kehadirannya menjadi salah satu bukti negara telah gagal dalam menciptakan tata ruang kota yang aman dan nyaman. Salah satu contoh kegagalannya adalah masih kurangnya akses bahkan semrawut untuk menggunakan transportasi umum. Tak hanya kegagalan dalam menciptakan tata ruang kota, tetapi negara juga telah gagal dalam menyediakan lowongan pekerjaan. Bahkan, negara justru merampas hak-hak warga negaranya terlebih kepada kelas-kelas subaltern.

Itulah hasil muntahanku setelah membaca buku "Kentut Kosmopolitan" yang menurutku cukup menarik karena mengemas Jakarta dan isinya hingga "Jakarta yang Sebenarnya?". Bagiku, Jakarta sebenarnya adalah cemas yang berkepanjangan dan lapar yang mengakar sebab di balik gemerlapnya Jakarta terdapat muda mudi sedang kebingungan karena susahnya mencari kerja, anak kecil tak bisa bermain karena lahan bermainnya direbut oleh penguasa, dan orang tua menangis karena tak mampu membeli susu anaknya.

Informasi Buku

Judul : Kentut Kosmopolitan
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : KOEKOESAN
ISBN : 978-979-1442-18-3
Jumlah Halaman : 296 halaman

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//