• Buku
  • RESENSI BUKU: Metafora Alam Sunda sebagai Pusat Pikiran Imajinatif

RESENSI BUKU: Metafora Alam Sunda sebagai Pusat Pikiran Imajinatif

Kumpulan sajak Lagu Liwung karya Teddi Muhtadin membungkus makna dari racikan metafora-metafora alam yang berserakan menjadi kekuatan imajinasi.

Sampul buku Lagu Liwung karya Teddi Muhtadin terbitan Mata Pelajar (2023). (Foto: Rizki Sanjaya)

Penulis Alifia Syahrani 27 Januari 2025


BandungBergerak.id – Bahasa tanpa sentuhan seni bagaikan kopi tak berasap. Sentuhan-sentuhan seni sangat diperlukan; menjadikannya sebuah karya yang bisa dinikmati oleh semua khalayak. Itulah karya sastra.

Taum (1997) mengatakan karya sastra adalah bentuk karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif dan menggunakan bahasa yang indah; keberadaannya dapat berguna untuk hal-hal lain. Hal ini diperjelas oleh Damono (1979) bahwasannya sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Sastra juga menampilkan gambaran kehidupan manusia; kehidupan tersebut adalah suatu kenyataan sosial.

Sebagai gambaran dari kenyataan atau realitas sosial, pemberangkatan karya sastra pun didasari dari pengalaman-pengalaman pribadi. Entah itu dari sebuah kejadian yang mengesankan, sebuah tragedi, atau hal-hal yang mengesankan. Direka ulang dengan bahasa sebagai metrum penyampaiannya; mengolah bahasa sedemikian rupa dan menjadikan wahana imajinatif yang bersifat multitafsir bagi penikmat dan pembaca karya sastra itu sendiri. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan, setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi lahirnya atau terciptanya karya sastra; kepekaan indrawi dalam melihat fenomena, kemampuan mengolah bahasa dalam mereduksi fenomena, dan kemampuan berpikir secara imajinatif dalam menggabungkan dua unsur tersebut.

Hal-hal yang terlihat, terasa, dan menimbulkan dampak; positif maupun negatif dapan dijadikan suatu karya sastra. Elemen rasa yang timbul dari kepekaan jiwa yang menyaksikannya akan tertaut dan dihidangkan dalam ragam bentuk karya sastra sebagai media pengkaryaannya. Entah itu dalam bentuk cerita (novel, cerpen, roman), puisi, drama, dan lain sebagainya. Upaya dan tindakan tersebut dilakukan oleh Teddi Muhtadin.

Teddi Muhtadin, seorang penyair dan sastrawan yang lahir di Rancaekek, 9 Februari 1967. Di samping menjadi penyair dan sastrawan, ia juga dikenal sebagai esais dan dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Ia juga aktif menulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Karya-karyanya terutama puisi/sajak termuat dalam antologi Pesan Ombak Padjadjaran (1993), Puisi Sunda Indonesia Emas (1995), Silalatu (1996), Manglayang (2003), Campaka Mangkak (2003), Néangan Bulan (2006), Di Atas Viaduct Cikapundung (2009), serta Kumpulan Sajak “Lagu Liwung” (2023). Memoar-memoar peristiwa yang telah dihadapi menjadi buah karya sastra dengan metafora-metafora alamnya yang ciamik, terutama dalam karya terbarunya; Lagu Liwung. Ekspresi-ekspresi yang mengandung memoar yang memakai metafor alam alam dapat kita jumpai pada sajak perjalanan, manglayang, dan kawah putih.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Menembus Dimensi Kereta Semar Lembu
RESENSI BUKU: Hikmah dari Mutiara Kisah Masa Lalu
RESENSI BUKU: Menulis Adalah Keniscayaan, Maka dari itu Belajarlah

Metafora Alam Membungkus Makna

Dalam sajak “perjalanan”, kita disuguhkan dengan metafora alam yang membungkus makna daripada tujuan penulis.

setelah pangalengan
katamu
kita adalah pelancong
memandang warna warni
lantas lena
disaput kabut

kubilang tidak
sebab ada
hijau napas teh dan rerumputan
di benak usia kita

Dalam sajak tersebut, kita dapat menjumpai metafora alam Sunda; kata Pangalengan, Pelancong, disaput kabut, dan hijau napas teh dan rerumputan. Bila kita cermati, kalimat-kalimat tersebut menandakan atau mencerminkan memoar alam yang berbentuk metafora; menjadi landasan sajak tersebut. Kita semua tahu, Pangalengan adalah salah satu tempat yang terkenal dengan keindahan alammnya serta pada waktu ini terkenal menjadi tempat wisata yang terdapat di Bandung Selatan; Kabupaten Bandung. Keindahan alamnya menjadi landasan penulis dalam berimajinasi yang berbuah menjadi satu karya sastra. Memoar-memoar perjalanan terlukiskan dalam larik-larik sajak yang tersusun. Bila kita cermati lebih dalam, antara bait-baitnya itu saling berkaitan; menjadi penguat atau penanda makna sajak secara keseluruhan. Secara pemaknaan dan keterkaitan dengan kondisi alamnya, Pangalengan itu tidak bisa dipisahkan dari pelancong (konteks pariwisata), disaput kabut, hijau napas teh dan rerumputan (konteks situasional geografisnya).

Dalam sajak “Manglayang”, isinya terbagi menjadi tiga bagian; dibuat semacam babak-babak.

/a/
malam yang diusik oleh semacam inisiasi
melambat bulan melambat gerak cemara
yang bertasbih di ketinggian manglayang

/b/
di sini terasa lebih tenang menatap lembah
yang sekali waktu pernah berpijar
lembah kunang-kunang
lembah yang anggun

/c/
yakni sebuah kota yang pulas sunyi
yang mesti kujumpai esok pagi
karena janji

Dalam sajak ini, yang menjadi “pusat imajinasinya” adalah Manglayang. Hal tersebut diperkuat dengan sajian-sajian kalimat yang saling tertaut terkait dengan pemaknaannya. Kalimat-kalimat tersebut adalah “di ketinggian manglayang” dan “menatap lembah”. Kalimat tersebut menjadi penanda geografis; manglayang merupakan sebuah gunung yang berada di Bandung Raya. Kalimat “menatap lembah” memberikan penguatan tentang imajinasi yang dipusatkan di Manglayang;  lembah dan gunung merupakan satu bentang alam yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam sajak “Kawah Putih”, berisi empat bait:

mestinya ada legenda di sini
misalnya tentang perempuan malang
yang terpendam di dasar telaga
atau laki-laki yang marah dan menyumpah
lalu beku di dinding batu

keduanya tak ada
hanya tuan belanda itu saja yang tercatat
yang kagum dan gembira lalu surut
ke utara

selanjutnya orang orang lupa
juga para pelancong itu

di lembah ini pohon pohon menjadi kecil
udara penuh sulfur
hujan kabut dan suhu
terus merendah

Bila kita lihat setiap lirik sajaknya, yang menjadi pusat pikiran imajinatifnya adalah kawah putih (sebagai judul). Dalam lirik-lirik selanjutnya; turunan lariknya mempertegas daripada judul sajak ini. Kawah putih merupakan kawah atau kaldera dari Gunung Patuha. Secara geografis, Gunung Patuha itu sendiri terletak di daerah Bandung Selatan (antara Ciwidey dan Rancabali).  Kaldera tersebut aktif, di mana mengeluarkan gas belerang dan sulfur. Seperti kita ketahui, gas belerang dan sulfur menyebabkan tumbuhan atau vegetasi tidak dapat tumbuh dengan sempurna; cenderung menghasilkan vegetasi khas (terdapat pada larik sajak bait terakhir). Dari penjelasan tersebut, metafora alam menjadi kekuatan imajinasi untuk menyusun sajak ini; dengan dirangkumnya segala sesuatu yang terlihat, terasa, dan terdengar.

Pada hakikatnya, suatu sajak yang bagus itu dapat merangsang daya imajinasi para pembacannya. Penginterpretasian yang beragam dari para pembaca menjadikan karya sastra (sajak) imi menjadi semacam stimulan untuk menambah dan mempertajam daya imajinasi. Dari Teddi Muhtadin, metafora-metafora alam yang berserakan diramu, diracik dan diolah menjadi sebuah karya yang sangat ciamik untuk dinikmati.

Informasi buku:

Judul: Kumpulan Sajak Lagu Liwung

Penulis: Teddi Muhtadin

Jumlah Halaman: 80 Halaman

Penerbit: Mata Pelajar Indonesia

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//