RESENSI BUKU: Meresapi Harapan dari Kisah Pi dan Harimau di Luasnya Samudera Pasifik
Life of Pi karya Yann Martel terinspirasi dari sebuah kejadian nyata. Kisah dalam buku ini memberi pelajaran bahwa harapan akan selalu ada.
Penulis Awla Rajul2 Februari 2025
BandungBergerak.id – Hanya sedikit ekspektasi yang saya bebankan ketika mulai membaca Life of Pi karya Yann Martel, yaitu detail ceria. Itu pun terjadi karena melihat buku setebal 448 halaman, berisi genap 100 bab yang terbit pertama kali pada 2001. Setelah khatam membacanya, ekspektasi pertama itu berhasil memberikan kesan yang memuaskan. Lalu datanglah kesan yang kedua, sebuah inspirasi dan dorongan untuk bereksplorasi.
Life of Pi terbitan Gramedia Pustaka Utama diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada 2004. Usianya sudah 20 tahun. Saya menemukannya di platform daring dengan kondisi nyaris seperti baru dan dibanderol murah. Tapi bukan itu alasan utamanya saya tertarik membaca buku yang telah mendapatkan penghargaan The Man Booker Prize ini.
Saya sudah pernah menonton film yang diadaptasi dari novel ini. Artinya, saya sudah tahu bagaimana keseluruhan cerita Pi Patel, yang terombang-ambing di Samudera Pasifik setelah kapal yang ditumpangi keluarganya tenggelam tanpa jejak. Saya ingin tahu bagaimana kisah Pi ini dikemas oleh sang penulis, bagaimana caranya bercerita, bagaimana ia memberi detail pada cerita, dan ingin membuktikan apa benar kisah ini akan membuat orang percaya (atau bahkan tambah yakin) kepada Tuhan.
Life of Pi mengisahkan pengalaman mengesankan dari satu-satunya korban kapal Tsimtsum yang tenggelam di Samudera Pasifik pada 2 Juli 1977. Piscine Molitor Patel, yang kemudian dipanggil Pi adalah si korban yang berhasil selamat setelah terombang-ambing di sekocinya bersama Harimau Royal Bengal seberat 225 kg selama 227 hari.
Cerita ini sepenuhnya fiksi. Sebab setelah membaca pengantar penulis, awalnya saya berpikir bahwa ini adalah cerita yang terinspirasi dari sebuah kejadian nyata. Dalam pengantar penulis itu, yang tak lain adalah Yann Martel sendiri, bercerita bahwa ia mendapatkan inspirasi tentang cerita ini setelah membuang satu naskah novelnya yang jelek, lalu melakukan perjalanan ke India untuk menemukan inspirasi.
Di India, Yann Martel bertemu dengan seorang tokoh, Mr. Adiburasamy, paman dari Pi Patel. Bercakap di sebuah kafe dan mengetahui bahwa Yann Martel adalah seorang penulis, Mr. Adibursamy lantas menyampaikan, “Saya punya cerita yang bakal membuat Anda percaya Tuhan.” Di akhir pengantar penulis, Yann turut menjelaskan, sepulangnya dari India ke Toronto, ia lalu mencari tahu sosok korban kapal tenggelam, si tokoh utama cerita.
Ia menelepon si tokoh itu, bercakap-cakap, membaca catatan hariannya selama di Samudera Pasifik ditemani Harimau yang dinamai Richard Parker, hingga berkunjung ke rumahnya. Yann bahkan menambahkan detail yang membuat saya semakin yakin bahwa cerita ini nyata adanya, bahwa ia memperoleh rekaman kaset dari Kementerian Transportasi Jepang, yang menangani dan melakukan investigasi tenggelamnya kapal Tsimtsum.
“Sudah sewajarnya kisah Mr. Patel sebagian besar disampaikan dari sudut orang pertama, dalam suara Mr. Patel, dan melalui sudut pandangnya. Kalau ada ketidaktepatan atau kesalahan, itu semua kesalahanku,” tulis Yann Martel dalam pengantar penulis yang membuat saya semakin yakin. Bagian pertama dari buku ini yang dapat menyihir pembaca. Tapi ternyata cerita ini sepenuhnya fiksi, meski diilhami oleh beberapa kejadian nyata.
Seperti sebuah kalimat yang saya yakini, sebuah karya fiksi yang ketika usai dibaca terasa nyata, merupakan sebuah karya fiksi yang berhasil. Sang penulis berhasil menarik perhatian pembaca ke dalam ceritanya, dengan cara berceritanya yang dikonsep sedemikian rupa. 448 halaman dibaca tanpa terasa dan mengalir begitu saja. Terima kasih perlu disampaikan kepada alih bahasa yang membuat cerita ini mudah dipahami dalam Bahasa Indonesia.
“Ada unsur kegilaan yang menggerakkan kehidupan dalam cara-cara yang aneh namun menyelamatkan,” kata Pi Patel, di halaman 134.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Hikmah dari Mutiara Kisah Masa Lalu
RESENSI BUKU: Menulis Adalah Keniscayaan, Maka dari itu Belajarlah
RESENSI BUKU: Metafora Alam Sunda sebagai Pusat Pikiran Imajinatif
Inspirasi untuk Menulis Reportase
Yann Martel bercerita dengan sudut pandang orang pertama untuk cerita Pi Patel, seperti yang disebutkannya di pengantar. Sementara beberapa bab dalam buku, seperti pengantar penulis dan beberapa bab lainnya, semacam lanjutan pengantar penulis yang ditulis seluruhnya dengan huruf miring. Artinya, baik Yann Martel, dan Pi Patel yang bercerita, keduanya menggunakan sudut orang pertama.
Bedanya, Yann Martel sebagai penulis (ditandai huruf miring) memosisikan diri sebagai narator yang bercerita tentang observasinya, pengalamannya mendapatkan inspirasi, bagaimana saat dia melihat ekspresi dan keadaan fisik Pi, mengunjung rumahnya, hingga mencicipi masakan pedang istri Pi, dan lain sebagainya. Sedangkan sebagai Pi Patel (keseluruhan cerita) bisa dianggap adalah hasil wawancaranya, yang diolah dan ditulis menggunakan sudut pandang pertama penulis. Sebuah konsep bercerita yang mungkin bisa diterapkan dalam jurnalisme, bukan? Atau mungkin sudah ada yang menerapkannya?
Inilah inspirasi dari Life of Pi yang terdorong untuk saya coba ketika menulis reportase. Cara pertama, penulis sebagai narrator bisa digunakan oleh jurnalis untuk melaporkan observasi di lapangan secara langsung, yang ia alami dengan seluruh pancaindranya. Sementara cara bercerita dari sudut pandang tokoh utama, bisa dilakukan oleh jurnalis dengan melakukan wawancara mendalam yang sangat detail, lantas menceritakan ulang dengan rekonstruksi yang sama detailnya.
Sayangnya, bagian itu akhir itu sangat mungkin perlu menambah interpretasi penulis atau sang jurnalis, yang sebenarnya dilarang (?). Tapi untuk kepentingan eksplorasi gaya menulis, cukup layak untuk dicoba. Inspirasi ini lekat saya pikirkan setelah khatam membaca Life of Pi. Lantaran selama kurang lebih tiga tahun menjadi jurnalis, saya sering gagal ketika menulis sebuah reportase, cerita perjalanan, misalnya, dengan gaya bercerita sudut pandang orang pertama. Sering kali saya berakhir menghasilkan tulisan biasa yang menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Pi dan Richard Parker
Meski puas dengan konsep ceritanya, cara berceritanya yang mengalir, detail yang mengesankan, serta hasil riset yang mendalam untuk karya ini, sayangnya, 35 bab awal cukup monoton. Bab-bab awal itu menceritakan tentang sosok Piscine Molitor Patel. Diceritakan bahwa ia adalah pemuda India, dari Pondicherry, anak pemilih kebuk binatang di kota yang pernah dijajah oleh Perancis itu.
Saat sekolah di tingkat SMP, ia sering diejek Pissing, plesetan dari namanya yang memiliki arti kencing. Saat pindah ke bangku SMA, ketika perkenalan, ia lantas bergegas ke papan tulis, menggambar lingkaran, menulis lambang rumus matematika untuk mengukur lingkaran, yaitu Pi, 3,14. Cara ini terus ia lakukan, hingga tak ada lagi yang mengejeknya Pissing dan memanggilnya Pi.
Pi mempelajari Zoologi dan Teologi. Berkaitan dengan Zoologi, pada bab awal, dijelaskan tentang penelitiannya tentang Sloth tiga jari. Bidang ilmu Zoologi ini, menurut saya yang membuat kisah Pi dan Richard Parker menjadi masuk akal. Ditambah dengan kesehariannya sejak kecil yang hidup bersama hewan di kebun binatang milik ayahnya. Sementara tentang Teologi, diceritakan bahwa Pi adalah pemeluk Hindu yang taat dan memiliki rasa penasaran tinggi dengan agama lain. Ketika umurnya 16 tahun, ia menjadi pemeluk agama Hindu, Kristen, dan Islam sekaligus.
“Medan tempur yang utama bagi kebaijkan bukanlah medan terbuka di arena publik, melainkan di dalam relung kecil hati setiap manusia,” ungkap Pi, halaman 115.
Dari cerita tragis sekaligus mengesankan ini, banyak pelajaran yang bisa diambil. Terutama berkaitan dengan harapan. Sayang sekali, setelah membaca Life of Pi, saya belum mendapatkan argumen yang kuat mengapa kisah ini bisa membuat kita percaya pada tahun. Tapi berkaitan dengan harapan, banyak sekali kata-kata indah yang layak ditempel di meja kerja sebagai quote penyemangat dan pengingat mengenai kehidupan yang begitu berharga ini.
Misalnya, kalimat pasrah dan penerimaan ketika malam kapal yang ia tumpangi tenggelam. “Ternyata segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan, tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita mesti menerima apa-apa yang diberikan kehidupan ini pada kita, dan berusaha menjalaninya sebaik mungkin,” cerita Pi, malam sebelum kapal Tsitsum tenggelam.
Terombang-ambing di Samudera Pasifik bersama Harimau besar bukan perkara mudah. Kapan saja ia bisa diterkam, menjadi santapan si kucing besar. Namun yang membuatnya bertahan tak lain dan tak bukan adalah harapan dan hasrat bertahan hidup. Pi Patel meyakini, harapan akan membuahkan harapan. Ia melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, termasuk melatih Richard Parker.
“Kalau sedang sangat putus asa, menghadapi masa depan yang gelap, kadang ada hal kecil, detail kecil, yang muncul seketika dalam benakku. Dan apa yang muncul itu bukan lagi kuanggap hal sepele, melainkan hal paling penting di dunia, hal yang bisa menyelamatkan hidupku. Ini terjadi berulang kali. Benar sekali bahwa kita jadi kreatif kalau terdesak oleh kebutuhan, amat sangat benar,” cerita tokoh Pi, halaman 204.
Berakhir selamat dan berlabuh di pantai Mexico tak cukup membuat cerita ini paripurna. Sebab jika begitu, mungkin mudah saja melupakan kisah ini. Sebaliknya, kegagalan perpisahan antara Pi dengan Richard Parker ketika berlabuh di daratan yang menurut saya sangat menyakitkan itu, justru mengakhiri kisah keduanya dengan sempurna dan memukau. Saya sepakat dengan perkataan Pi Patel, bahwa perpisahan perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Perpisahan perlu dituntaskan.
“Penting dalam hidup ini untuk mengakhiri segala sesuatu dengan semestinya. Hanya dengan begitu kita bisa merelakan. Kalau tidak, hati kita terbebani oleh penyesalan, oleh kata-kata yang mestinya diucapkan, tapi tak pernah tersampaikan. Perpisahan yang tidak tuntas itu meninggalkan kepedihan yang masih terasa hingga hari ini,” penyesalan Pi yang tak sempat menyampaikan ucapan perpisahan dengan Richard Parker, halaman 402.
Karya yang telah berusia lebih dari dua dekade ini masih sangat layak dibaca hingga hari ini. Bahkan hingga kapan pun. Kisah ini, memberi pelajaran bahwa harapan akan selalu ada. Bahkan di tengah-tengah ketidakmungkinan yang mustahil sekalipun. Pi berhasil selamat dan melewati 227 hari di sebuah sekoci, terombang-ambing di Samudera Pasifik bersama Harimau Royal Bengal seberat 225 kg.
Harimau itulah simbol harapan. Harapan yang meski kadang sulit untuk diterima, tapi toh dialah teman yang telah menemani selama suka dan duka. Harapan yang perlu dijaga tetap hidup meski mengancam kehidupan itu sendiri, alih-alih dibiarkan mati.
Identitas Buku
Judul Buku : Life of Pi
Penulis : Yann Martel
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, November 2004
Tebal Buku : 448 halaman, 20 cm
ISBN : 979-22-1106-3
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Awla Rajul atau artikel-artikel menarik Resensi Buku