RESENSI BUKU: Menyelami Peta Transformasi Media Baru Ala Moch Fakhruroji
Buku Teori-teori New Media Perspektif Komunikasi, Sosial-Budaya dan Politik-Ekonomi karya Moch. Fakhruroji memetakan teori media baru dari perspektif ilmu sosial.
Penulis Ibn Ghifarie 16 Februari 2025
BandungBergerak.id – Saat asyik membaca buku Teori-Teori New Media Perspektif Komunikasi, Sosial-Budaya dan Politik-Ekonomi karya Moch. Fakhruroji, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Tiba-tiba anak kedua bertanya, Aa Akil, "Bah kenapa waktu vc (video call) bisa kelihatan wajah, orang di sana?”
Ku jawab dengan singkat, "Pan eta kahebatan teknologi, komunikasi!"
Dari Gutenberg Ke Internet
Dalam pendahuluannya, Mang Ozie sapaan akrabnya menuliskan “Saya ingin mengawali buku ini dengan menuliskan kembali apa yang diyakini oleh salah seorang fisikawan terbesar abad kedua puluh, Albert Einstein. Siapa sangka seorang fisikawan yang sering diidentikkan dengan dunia empiris begitu tertarik dengan imajinasi yang sering dianggap jauh dari realitas empiris? Bagi Einstein, kekuatan imajinasi seseorang dapat berhubungan dengan kreativitas yang melampaui pengetahuan yang ada dan telah dipelajari.”
Tentunya yang dimaksud oleh Einstein bukanlah imajinasi kosong seperti lamunan, melainkan serangkaian gagasan besar tentang segala sesuatu yang tersusun sedemikian rupa, bahkan di luar (nalar) apa yang telah diketahui manusia.
Siapa sangka hari ini kita bisa melakukan panggilan video melalui smartphone, gadget lainnya. Padahal sebelumnya kita hanya bisa melihatnya sebagai realitas fiktif di serial Startrek yang tayang pada 1970-an? Siapa pula yang menduga bahwa hari ini kita bisa melihat peristiwa di belahan dunia melalui perangkat teknologi komunikasi di genggaman kita?
Semua itu pada awalnya hanya angan-angan, mimpi belaka. Pertanyaan mendasar inilah yang membuat Mang Ozie semakin meyakini pernyataan Einstein tentang pentingnya imajinasi. “Berkaitan dengan itu, saya ingin menyuguhkan salah satu kisah tentang keajaiban imajinasi yang pada akhirnya menjadi kenyataan, bahkan telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.” (h.1-2).
Cerita ini tentang seorang profesor sastra Inggris, kritikus sastra, ahli retorika, dan teoretikus komunikasi asal Kanada, Marshall McLuhan. Pada 1962 menulis karya fiksi ilmiah berjudul The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (McLuhan, 1962). Dengan berdampak luar biasa yang membagi sejarah (komunikasi) manusia ke dalam tiga zaman, yakni oral tribe culture (budaya lisan), manuscript culture (budaya manuskrip), dan the electronic age (era elektronik).
McLuhan berkeyakinan bahwa media komunikasi yang bermunculan telah berkontribusi pada masing-masing periode tersebut. Jauh sebelum era komputer seperti saat ini, menulis sangatlah populer dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya, penemuan teknologi percetakan telah berkontribusi pada terciptanya kecenderungan baru dalam periode modern di dunia Barat, yakni pada individualisme, demokrasi, protestanisme, kapitalisme, dan nasionalisme.
The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (McLuhan, 1962) adalah analisis eklektik yang cerdas di mana McLuhan mengklaim bahwa teknologi percetakan telah mengubah bentuk persepsi masyarakat pada saat itu yang menggeser dan memusatkan penekanan persepsi dari telinga ke mata, dengan konsekuensi yang luar biasa kepada individu dan kebudayaan. Kelahiran teknologi percetakan telah menjadikan manusia sebagai typographic man (manusia tipografik), di mana persepsi dan pengetahuan manusia dipengaruhi apa yang dibacanya dari huruf-huruf di media cetak.
Mahakarya ini telah menetapkan McLuhan sebagai salah seorang penulis paling imajinatif dan berpengaruh dalam bidang komunikasi pada era modern. "Imajinasi" dielaborasi lebih lanjut dalam karyanya yang lain berjudul Understanding Media: The Extensions of Man (1964). Rupanya, buku ini kembali menghentak sejarah dan menjadi salah satu karya yang paling banyak dirujuk dalam kajian media serta komunikasi. Pasalnya, dalam buku ini McLuhan mengungkapkan frasa "medium is the message" yang menjadi salah satu dalil yang sering ditemui di kalangan sarjana dan para pengkaji media serta komunikasi.
Seiring penyebaran mesin cetak di Barat, sebagaimana dinarasikan oleh McLuhan sebagai Gutenberg galaxy, hingga melampaui the electronic age, kini kita telah memasuki dunia baru komunikasi, yakni internet galaxy (Castells, 2001). Akhir 1995 merupakan tahun pertama meluasnya penggunaan world wide web (www), situs web. Pada saat itu, terdapat sekitar 16 juta pengguna jejaring komunikasi komputer di dunia dan terus meningkat pada beberapa dekade setelahnya, tidak terkecuali di negara-negara berkembang.
Walhasil, pengaruh jejaring internet melampaui jumlah penggunanya, bahkan mulai merangsek pada wilayah-wilayah ekonomi, sosial, politik, dan budaya di seluruh dunia. Mereka yang tidak memiliki akses internet mungkin akan mengalami keterbelakangan. Castells (1996) menilai pengucilan dari jejaring internet merupakan sebentuk pengucilan yang paling merusak dalam ekonomi dan budaya.
Terlepas dari masifnya pertumbuhan dan perkembangan internet, sejumlah persoalan yang menyertainya terkadang sulit dijelaskan dengan baik. Misalnya, kecepatan transformasi tersebut telah mempersulit penelitian ilmiah untuk mengikuti laju perubahan dengan ketersediaan studi empiris tentang hakikat dan epistemologi internet bagi masyarakat. Pada satu sisi, internet telah memberikan keuntungan dalam perubahan sosial-kebudayaan masyarakat dalam periode perubahan sosial yang cepat. Pada lain sisi, konsekuensi sosial-kebudayaan dari internet muncul sebagai masalah yang dianggap mengalienasi masyarakat dari realitas.
Gagasan McLuhan dalam Gutenberg galaxy tentang bagaimana teknologi percetakan memengaruhi aktivitas komunikasi dan interaksi sosial, internet galaxy juga memiliki asumsi dasar yang serupa, yakni satu kondisi di mana internet telah melingkupi hampir seluruh aktivitas manusia. Tidak hanya aktivitas komunikasi, internet telah berkonsekuensi pada perubahan praktik dan norma-norma sosial-kebudayaan yang sebelumnya dipandang mapan.
Internet seakan "mimpi yang terbeli", imajinasi yang menjadi kenyataan yang memosisikan manusia dalam situasi yang berbeda dari sebelumnya. Orang-orang menjadi lebih berpeluang untuk menunjukkan potensi serta kapasitasnya dan, dalam beberapa kasus, bahkan dapat melampaui tujuan institusional, mengatasi hambatan birokrasi, serta menumbangkan nilai-nilai mapan dalam proses menuju dunia baru. Sebuah dunia yang tidak lagi terkungkung oleh batas ruang dan waktu. Sebuah dunia yang lebih terbuka dalam menyediakan peluang yang lebih luas bagi setiap orang. (h.3).
Baca Juga: RESENSI BUKU: Metafora Alam Sunda sebagai Pusat Pikiran Imajinatif
RESENSI BUKU: Meresapi Harapan dari Kisah Pi dan Harimau di Luasnya Samudera Pasifik
RESENSI BUKU: Kota adalah Rentetan Cemas dan Lapar yang Berkepanjangan
Sistematika Buku
Untuk memudahkan pembahasan, buku ini tidak disajikan bab per bab, melainkan dikategorikan dalam empat bagian besar dengan masing-masing pembahasan spesifik. Pada bagian kesatu diuraikan beberapa pembahasan yang bersifat umum tentang new media dengan dua pembahasan yang meliputi pemahaman tentang new media; serta pembahasan tentang internet dan media sosial sebagai new media.
Masing-masing akan menguraikan tentang apa itu new media dan bagaimana ia membutuhkan pemahaman baru yang bersifat paradigmatis, khususnya pada kajian komunikasi. Pembahasan selanjutnya akan bergeser pada kajian tentang new media dengan menguraikan internet dan media sosial serta bagaimana keduanya mengubah praktik komunikasi dan kehidupan sosial-budaya secara menyeluruh.
Pada bagian kedua disuguhkan pembahasan teori-teori new media dalam perspektif komunikasi. Bagian ini membahas lima teori yang dianggap paling pre popular dan signifikan, yakni teori medium, social information processing (SIP), re-mediasi, konvergensi, dan ekologi media yang masing-masing merujuk pada pemikiran satu figur. Disadari bahwa merujuk pada satu figur saja dapat berakibat pada penjelasan yang bersifat simplistik dan mungkin bersifat parsial, namun hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa beberapa figur mungkin memiliki gagasan yang serupa dan sama-sama berkontribusi sebut pada satu teori yang sama.
Buku ini tidak memosisikan fenomena computer-mediated communication (CMC) sebagai teori tunggal dan oleh karenanya tidak dibahas secara spesifik. Namun, kelima teori tersebut justru menguraikan berbagai elemen dan analisis yang berbeda dalam membangun framework tentang CMC sebagai salah satu konteks baru praktik komunikasi. Misalnya, kita akan melihat bagaimana irisan gagasan Marshall McLuhan dan James Carey dalam teori ekologi media, atau bagaimana gagasan Walther tentang teori social information processing (SIP) begitu beririsan dengan gagasan CMC, terutama dalam menjelaskan praktik komunikasi dalam konteks daring. Demikian juga dengan teori-teori lainnya yang meskipun masing-masing dibahas secara terpisah, selalu memperlihatkan berbagai irisan dengan teori-teori lainnya.
Pada bagian ketiga diuraikan new media dalam perspektif sosial-budaya. Perspektif ini memberikan kontribusi yang bahkan lebih. Pada bagian ketiga diuraikan teori-teori new media dalam perspektif banyak karena teknologi new media telah berdampak secara signifikan pada praktik sosial kebudayaan sehari-hari. Teknologi telah menjadi jantung peradaban manusia saat ini, bahkan retorika dan kampanye tentang society 4.0 hingga 5.0 telah menjadi slogan yang umum ditemui di berbagai konteks dan situasi; institusi pendidikan, periklanan, perniagaan, terutama dunia industri dan profesional. New media telah menciptakan arus peradaban baru yang mengubah cara hidup kita sehari-hari.
Oleh sebab itu, bagian ketiga mengetengahkan teori-teori yang paling populer dalam perspektif sosial-budaya. Akan dikemukakan secara ringkas delapan teori, yaitu teori determinisme teknologi, actor-network theory (ANT), domestikasi teknologi, participatory culture, digital culture, virtual community, virtual self, dan deep mediatization. Sebagaimana pada bagian sebelumnya, teori-teori ini disajikan dengan merujuk pada masing-masing satu figur (dengan pertimbangan popularitasnya), sehingga lebih mudah dalam proses identifikasi masing-masing teori. Selain itu, susunan dalam penyajian teori juga tidak didasarkan pada sifat kronologis kemunculannya, tetapi lebih bersifat dialogis antara satu teori dan teori lainnya untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif.
Pada bagian keempat, pembahasan akan diarahkan pada teori-teori new media dalam perspektif politik-ekonomi. Sebagaimana pada domain sosio- kultural lainnya, teknologi new media telah mentransformasi lanskap politik dan ekonomi dengan menciptakan berbagai peluang serta tantangan baru. Bagian ini menyajikan secara singkat lima teori new media yang paling dominan dalam perspektif politik dan ekonomi, yaitu teori network society, virtual sphere, echo chambers, ekonomi politik media, dan digital capitalism.
Teori network society menawarkan pandangan bahwa new media telah berperan secara krusial dalam memproduksi masyarakat jejaring (network society). Menurut teori ini jejaring bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga sebagai tempat bagi interaksi sosial dan ekonomi. Selain itu, new media juga memungkinkan seseorang untuk saling berkomunikasi dengan cara yang melampaui batasan spasiotemporal --ruang dan waktu-- yang memungkinkan pertukaran yang lebih kreatif, produksi kolaboratif, dan timbal balik secara real-time, sehingga mampu melahirkan bentuk-bentuk ekonomi berjejaring serta organisasi sosial yang baru dengan posisi yang setara.
Teori ekonomi politik media dari Vincent Mosco, misalnya, memiliki penekanan pada kekuasaan dan kapitalis dalam membentuk lanskap media. Menurut teori ini, media tidak netral atau transparan, tetapi merefleksikan kepentingan aktor-aktor ekonomi dan politik dominan yang diwujudkan dalam berbagai tujuan serta bentuk-bentuk konten media dan berbagai infrastruktur pendukungnya.
Sementara itu, teori digital capitalism dari Christian Fuchs memiliki analisis yang lebih mendalam dengan penekanan pada bagaimana media digital memiliki pengaruh yang semakin luas kepada masyarakat kontemporer; bagaimana teknologi digital melahirkan cara-cara baru dalam menciptakan dan mengekstraksi nilai dari digital labour, bagaimana kaum kapitalis memanfaatkan data pribadi pengguna new media sebagai komoditas dengan tujuan akumulasi kapital, dan bagaimana infrastruktur digital telah didominasi oleh kepentingan kapital. (h.4-8).
![Dalam setiap membahas suatu teori terdapat pengantar, beberapa asumsi kunci dan penutup yang dilengkapi dengan ilustrasi tokoh, gambar untuk memudahkan pembaca danmengingatnya. Contoh teori medium Marshall McLuhan. (h.30-31); teori virtual self Sherry Turkle (h.136-137). (Foto: Ibn Ghifarie)](http://bandungbergerak.id/cdn/1/2/6/9/7/teori_medium_marshall_mcluhan_840x576.jpg)
Proses Kreatif Menulis
Bila kita membaca buku ini dalam bentuk buku cetak, artinya buku ini masuk pada kategori media tradisional dengan beratus lembar kertas. Jika kita membaca buku ini dalam bentuk e-book, artinya buku ini masuk pada kategori media baru yang mungkin disimpan dalam cloud storage di tablet, smartphone, atau laptop, meskipun mungkin masih dengan isi dan layout yang sama. Di antara semuanya, tulisan-tulisan yang tertuang dalam buku ini diharapkan tetap dapat dicerna, terlepas dari bagaimana kita mengaksesnya.
Penulisan buku ini benar-benar menjadi salah satu proyek yang panjang bagi saya karena dalam penulisannya sempat beberapa kali terhenti oleh proyek pribadi lainnya, baik penelitian, menulis artikel, mengisi seminar, liburan, dan semacamnya. Secara total, penulisan buku ini menghabiskan waktu sekitar tiga tahun yang dimulai dengan mengumpulkan berbagai referensi berbentuk buku dan studi-studi yang relevan. Beberapa rujukan dalam buku ini mengacu pada situs web --baik berita, definisi, foto, dan sebagainya-- merupakan penujang namun telah dipastikan merupakan konten yang bersifat creative commons, tentunya dengan membubuhkan link sebagaimana mestinya.
Dalam satu tahun terakhir, saya benar-benar bertekad untuk menyelesaikan sumber-sumber yang telah dikumpulkan yang sebagian besar merupakan buku ini. Diakui memang perlu kekuatan untuk itu. Saya membaca kemba e-book yang telah bertahun-tahun menghuni DropBox, termasuk beberapa e-book berformat OCR dengan berbagai coretan di sana-sini.
Meski demikian, gagasan penulisan buku ini sebetulnya sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Semakin saya membaca, baik buku-buku maupun artikel ilmiah dalam jurnal-jurnal media dan komunikasi, semakin saya sadar bahwa jagat komunikasi telah berubah secara radikal seiring perkembangan new media. Terlalu banyak fenomena baru dari peristiwa atau praktik komunikasi yang semakin sulit dijelaskan dengan teori komunikasi murni semata. Pada saat yang sama, saya juga mendapati bahwa di berbagai belahan dunia, kajian media dan komunikasi telah berkembang secara pesat di mana beberapa teori "baru" memberikan berbagai framework yang lebih mudah untuk memahami seluruh gejala tersebut. (h.vii-viii)
Telah dipahami secara luas, bahwa berbagai teori new media tidak hanya lahir dari tradisi komunikasi, tetapi juga dari berbagai tradisi; cultural studies, seni, teknik informatika, psikologi, politik, ekonomi, terutama sosiologi dan antropologi. Sifatnya yang multidisipliner tersebut kemudian menjadikan new media bukan hanya urusan para pengkaji ilmu komunikasi, melainkan juga para budayawan, seniman, insinyur informatika, psikolog, politikus, ekonom, sosiolog, antropolog, dan seterusnya. Meskipun demikian, hampir tidak ada sebuah rujukan yang mencoba memetakan berbagai teori new media, terutama di tanah air.
Sejak awal penulisan buku ini bertujuan untuk memetakan berbagai teori tersebut ke dalam tiga ranah besar kajian sosial dengan mengidentifikasi karakteristiknya masing-masing. Melalui buku ini, saya mencoba memetakan berbagai teori tersebut ke dalam tiga perspektif, yakni komunikasi, sosial-budaya, dan politik-ekonomi. Beberapa teori "lama" yang dianggap masih relevan mungkin akan ditemui pula dalam buku ini, tentu dengan berbagai argumen.
Mungkin saja pemetaan tersebut terlalu sederhana karena beberapa teori, bahkan cenderung bersifat teknologis. Terlebih pembahasan dalam buku Mungkin saja pemetaan tersebut terlalu sederhana karena beberapa teori i disajikan secara ringkas dan minimalis, misalnya dengan merujuk pada satu figur yang paling dominan dalam teori tersebut, meskipun diupayakan berkorespondensi dengan figur-figur lainnya dengan pandangan tertentu terhadap teori yang sama. Meski demikian, saya berharap ikhtiar ini dapat menjadi pemantik bagi lahirnya karya-karya lain yang lebih lengkap seiring bermunculannya teori-teori yang lebih kontemporer. (h.ix)
Ihwal Media Baru
Istilah new media (media baru) telah digunakan sejak beberapa dekade lalu untuk menjelaskan pesatnya perubahan dan perkembangan dalam wilayah kajian komunikasi, media, dan teknologi. Oleh sebab itu, media baru pada dasarnya merujuk pada lahirnya bentuk-bentuk baru komunikasi, media dan teknologi yang kemudian mentransformasi praktik konsumsi, produksi serta interaksi dengan informasi.
Sebelum 1980-an, pada era media massa, media didominasi oleh surat kabar, televisi, sinema, dan radio. Namun, hari ini radio sebagai single-device seperti radio transistor untuk menikmati siaran radio. Mungkin kita dapat mengakses siaran radio secara streaming melalui halaman web (aplikasi tertentu) seperti Spotify, TuneIn, Last.fm, Internet-Radio, RadioGarden dan semacamnya yang bahkan memiliki kualitas suara lebih jernih dan jangkauan lebih luas. Demikian pula televisi dan sinema. Teknologi percetakan pun telah mengalami transformasi sebagaimana didemonstrasikan pada desktop publishing.
Media baru digunakan untuk menguraikan kebangkitan media digital seperti internet, e-mail, media sosial, online game, instant messaging dan sumber-sumber berita secara daring yang semakin banyak digunakan. Salah satu karakteristik umum dari media baru adalah sifatnya interaktif dan partisipatoris. Berbeda dengan media lama, yang seringkali bersifat satu arah dan pasif, media baru memungkinkan kita untuk membuat konten lalu membagikannya, berpartisipasi dalam diskusi daring dan berinteraksi daring secara real-time. Ini berbeda dengan era komunikasi massa di mana informasi disebarkan kepada khalayak yang bersifat umum, sehingga mengimplikasikan sifat yang sentralistik.
Seluruh aktivitas komunikasi baru, salah satunya disebabkan oleh karakter dasarnya sebagai media yang bersifat digital. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penyebutan istilah media baru merupakan upaya distingsi dengan jenis-jenis media sebelumnya yang bersifat analog. (h.11-12).
Dengan demikian, media baru tidak hanya merujuk pada aspek newness atau kebaruannya saja, tetapi juga pada aspek transformasi media yang kemudian berdampak pada perubahan cara kita berkomunikasi, bahkan dalam interaksi yang lebih luas.
Perkembangan internet dan media sosial sering kali disertai dengan persoalan yang sulit dijelaskan. Pada satu sisi, internet memberikan keuntungan dalam kehidupan keseharian kita, tetapi pada sisi lain memunculkan sejumlah konsekuensi sosial-budaya yang dapat mengalienasi kita dari realitas. Internet tidak hanya mengubah aktivitas komunikasi semata, tetapi juga memengaruhi praktik dan norma-norma sosial-budaya yang telah mapan.
Buku ini mencoba menguraikan sejumlah teori yang berkembang dalam kajian new media dengan perspektif komunikasi, sosial-budaya dan politik-ekonomi. Kekayaan perspektif dalam buku ini menjadikannya sebagai salah satu sumber penting bagi mahasiswa, dosen, peneliti dan profesional yang ingin memahami lebih mendalam tentang praktik komunikasi, sosial-budaya dan politik-ekonomi di era media baru.
Gegap gempita internet dan media digital membuat kita merasakan euforia yang luar biasa, di mana semua orang di seluruh dunia merayakannya. Internet membuat konsep globalisasi menjadi lebih dipahami dari sebelumnya. Dengan internet, jarak fisik seolah tinggal ilusi belaka. Tidak hanya itu, kita semua menjadi lebih terlibat dalam proses komunikasi dan memiliki kontrol atas informasi yang pada era media massa masih dipandang sebagai privilese. Internet, sebagaimana dikemukakan beberapa teori dalam buku ini, telah melahirkan komunikasi yang lebih demokratis.
Tidak hanya itu, internet telah menjadi instrumen paling mendasar dalam seluruh aspek kehidupan manusia modern. Kita tidak lagi hidup dengan media, tetapi juga di dalamnya. Ia tidak hanya mengubah cara kerja jurnalisme dan hubungan masyarakat sebagai domain umum dalam profesi komunikasi, tetapi juga domain-domain bisnis, politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan agama.
Dalam domain bisnis, media baru telah melahirkan online marketplace yang memperluas jangkauan pasar dan menyediakan peluang- peluang bisnis baru serta berpusat pada subjek-subjek baru. Begitupun dalam domain politik, opini publik dapat dibentuk dan ditentukan oleh wacana yang berkembang di media sosial yang dilakukan oleh aktor-aktor politik maupun publik secara umum. Domain ekonomi malah lebih meriah lagi, media baru telah memunculkan kekuatan-kekuatan ekonomi baru yang ditunjang oleh teknologi media baru. Kemudian, pada domain sosial-budaya internet telah melahirkan berbagai pola dan nilai-nilai baru dalam pergaulan sosial dan ekspresi kebudayaan yang secara umum telah menggugat otoritas yang ada.
Seluruh fenomena ini menggambarkan bahwa internet mengandung gagasan demokratisasi informasi dan komunikasi, di mana suara-suara marginal dan minoritas memiliki peluang serta potensi yang sama untuk menjadi pusat perhatian. Hal inilah yang menjadikan perbincangan media baru tidak lagi semata ditemui dalam kajian komunikasi, tetapi menjadi lebih interdisipliner yang juga menjadi kajian dalam domain sosiologi, antropologi, seni, informatika, ekonomi, politik, teknologi, kebudayaan, bahkan agama.
Meski demikian, pengkajian yang mendalam tetap diperlukan mengingat berbagai perspektif teoretis tentang media baru menunjukkan bahwa tidak selamanya internet memberikan dampak positif. Beberapa teori yang tersaji di buku ini juga mengisyaratkan kritik fundamental tentang bagaimana internet tidak hanya menjadi ruang komunikasi yang demokratis, tetapi pada saat yang sama juga menggambarkan kekuatan politik dan ekonomi dikuasai yang oleh segelintir pihak. Tidak hanya itu, internet juga dipandang memberikan tantangan baru bagi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
Maka dari itu, persoalannya bukan lagi pada penilaian etis (normatif) tentang internet dan media sosial yang telah menjadi latar sehari-hari, tetapi pada bagaimana kita memahami seluruh fenomena tersebut dengan baik. Glorifikasi terhadap internet mungkin diperlukan dalam batas-batas tertentu. Oleh sebab itu, teori-teori yang dibahas dalam buku ini mencoba memberikan pandangan agar kita memelihara kesadaran untuk tetap rasional dalam menggunakan dan memanfaatkan beragaam platform internet sehingga tidak kehilangan identitas nyata kita atau terjebak dalam echo chambers. (h.221-222)
Disadari atau tidak buku ini lebih mengarah pada pemetaan dan pengelompokkan teori-teori media baru dari tiga perspektif besar ilmu sosial; komunikasi, sosial-budaya dan politik-ekonomi. Ya sekilas terlihat seperti ensiklopedik, namun untuk dikatakan ensiklopedia, buku ini masih jauh dari kata memadai.
Paling tidak buku ini dapat membantu dalam memahami sejumlah teori yang bisa mengkaji praktik dan fenomena baru berkaitan dengan teknologi media anyar, mulai dari penelitian soal interaksi daring di medsos, praktik dan profesi komunikasi pada era digital, algoritma dan perilaku serba digital, aktivitas belanja online sampai semua praktik sosial yang terbentuk akibat teknologi digital dan media baru.
Waktu ingin menghantamkan buku ini, tiba-tiba anak ketiga, Kakang Faqih memanggil: “Bah bacain kisah Nabi Ibrahim ya!” Cah Ah.
Informasi Buku
Judul: Teori-Teori New Media Perspektif Komunikasi, Sosial-Budaya dan Politik-Ekonomi
Penulis: Prof. Dr. Moch. Fakhruroji
Penyunting: Iqbal Triadi Nugraha
Proofreader: Mustopa Kamal
Cetakan I: November 2024
ISBN: 978-623-6625-96-5
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Halaman: 238 + x
Penerbit: Simbiosa Rekatama Media
* Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang agama dan keberagaman.