• Buku
  • RESENSI BUKU: Melihat Cililin Era Kolonial Belanda dalam The Belle of Tjililin

RESENSI BUKU: Melihat Cililin Era Kolonial Belanda dalam The Belle of Tjililin

Roman klasik The Belle of Tjililin karya Soeka Hati di Majalah Penghidoepan edisi 15 November 1934 menggambarkan kehidupan penduduk dan keadaan Cililin era kolonial.

The Belle of Tjililin karya Soeka Hati dalam Majalah Penghidoepan edisi 15 November 1934 terbitan penerbit Tan’s Drukkery, Surabaya. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

Penulis Malik Ar Rahiem31 Maret 2024


BandungBergerak.idThe Belle of Tjililin adalah roman klasik karangan Soeka Hati yang dipublikasikan pada 15 November 1934 dalam Majalah “Penghidoepan”. Majalah ini diterbitkan oleh penerbit Tan’s Drukkery yang beralamat di Tepekongstraat nomor 28, Surabaya. The Belle of Tjjililin dimuat pada edisi ke 119, dengan total 98 halaman.

The Belle of Tjililin yang berarti gadis tercantik di Cililin adalah kisah cinta multietnik di Jawa Barat dengan latar tahun 1920-1930an. Ceritanya tentang Siti Arsiah, gadis paling cantik di Cililin, yang saling jatuh cinta dengan Seng Ho, seorang peranakan Tionghoa. Mereka bersahabat sejak bersekolah di MULO di Semarang.

Siti Arsiah yang cantik menolak semua pinangan lelaki di kampungnya karena ia lebih memilih Seng Ho. Abdullah, putra kepala desa yang juga jatuh cinta pada Siti Arsiah kesal dan berusaha memperkosa Siti Arsiah, tapi digagalkan oleh Seng Ho.

Kisah Siti Arsiah dan Seng Ho adalah contoh klasik tradisi multikultur di Indonesia. Meski begitu konflik keluarga menjadi bumbu menarik kisah ini. Orang tua Siti cenderung bersetuju pada Seng Ho, karena mereka telah melihat Seng Ho sebagai lelaki berbudi baik dan menyayangi Siti apa adanya. Sementara orang tua Seng Ho sebaliknya. Mereka berpikir Siti sebagai pribadi yang mata duitan yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan Seng Ho saja.

Orang tua Seng Ho mencoba membayar Siti agar ia meninggalkan Seng Ho. Mereka juga berkata bahwa Seng Ho sudah punya tunangan di Semarang. Siti menolak pemberian uang ini dan berkata jika hubungannya tidak disetujui maka ia sendiri yang akan memutuskan hubungan dengan Seng Ho.

Siti mencoba mematahkan stereotip bahwa penduduk lokal itu mata duitan dan bisa dibeli dengan uang. Ia juga menunjukkan bahwa wanita lokal juga berdaya usaha dan mampu mencari uang sendiri.

Orang tua Seng Ho terus memaksa mereka berpisah. Seng Ho diminta pergi berbisnis ke Singapura selama tiga bulan. Ketika kembali, Seng Ho kaget karena Siti dan orang tuanya telah pindah. Seng Ho kemudian sakit keras karena di kepalanya hanya ada Siti saja.

Di akhir cerita, Siti dan Seng Ho bertemu secara tidak sengaja di Conggeang, suatu pemandian air panas di Sumedang. Mereka kemudian menikah dan ternyata Siti berhasil mengambil hati mertuanya. Di akhir cerita mertua Siti memuji-muji menantunya berkata bahwa menantunya ini orang yang tepat untuk anaknya.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Mengapa Hantu-hantu Patriarki Dibunuh?
RESENSI BUKU: Meninjau Ulang Konsep Manusia Ekonomi
RESENSI BUKU: Bagaimana Penguasa Beromansa dengan Orang Kaya dan Bersenggama dengan Media Massa

Deskripsi Tjililin

Cerita The Belle of Tjililin merupakan cerita dengan konflik yang sederhana. Yang menarik dari kisah ini adalah deskripsi tempat-tempatnya yang menggambarkan latar waktu ketika itu. Soeka Hati menggambarkan penduduk Cililin yang pekerjaannya membuat minyak dari kacang. Bahkan minyak kacang dari Cililin kualitasnya terbaik di Jawa Barat. Ia juga menggambarkan Cililin sebagai daerah yang penduduknya religius dan taat beragama. Karenanya jarang ada kejahatan di Cililin sehingga penjagaan polisi tidak begitu diperlukan. Dalam cerita ini juga Soeka Hati menggambarkan keberadaan stasiun radio Malabar di tengah-tengah kota Cililin. Di akhir cerita juga ia menggambarkan Desa Conggeang sebagai tempat mandi air panas, yang masih ada hingga sekarang.

Soeka Hati berhasil mendeskripsi gaya hidup orang ketika itu. Bagaimana mereka pergi ke Bandung untuk mengikuti Jaarbeurs (pameran terbesar kala itu). Kemudian gambaran tentang pelesirnya orang dari Cililin ke Bandung, ingin membeli makan di restoran, beli es krim, dan ini itu. 

Tentu novel ini sangat berharga untuk melihat bagaimana kehidupan kala itu bahkan sudah ada beberapa publikasi ilmiah mengenai novel ini, seperti makalah dari Hiqma Nur Agustina, yang merupakan seorang Dosen Bahasa Inggris di Universitas Islam Syekh Yusuf, Banten yang membandingkan antara novel The Belle of Tjililin dan Raden Adjeng Moerhia. Kedua novel ini berkisah tentang multikulturalisme pada masa kolonial Belanda.

Selain itu juga terdapat penelitian skripsi dari Andriyati dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, berjudul: Gambaran latar sosial budaya masyarakat pribumi dan peranakan dalam The Belle of Tjililin dan terbit pada tahun 2006. Dalam skripsinya, Andriyanti menyimpulkan tiga hal. Saya salin dan tempel kesimpulan yang ditulis Andriyanti sebagai berikut:

Kesimpulan pertama berkaitan dengan penggambaran latar sosial budaya masyarakat. The Belle of Tjililin merupakan novel yang mengetengah kehidupan masyarakat heterogen. Tokoh-tokohnya berasal dari dua kebudayaan yang berbeda yaitu pribumi dan Tionghoa peranakan, Kedua kelompok masyarakat ini hidup bersama dalam latar tempat dan fatal- sosial masyarakat Semarang, Cililin, Bandung, dan Sumedang. Keadaan ini menempatkan masyarakat kedua kelompok untuk saling kontak dan menjalani proses sosial. Berdasarkan kontak dan proses sosial, perbedaan yang ada di antara masyarakat pribumi dan Tionghoa dalam The Belle of Tjililin ini justru digambarkan mengarah pada satu perubahan positif yaitu asimilasi atau pembauran.

Kesimpulan kedua adalah bahwa kontak dan proses sosial yang terjadi dalam The Belle of Tjililin mendorong adanya perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat dalam novel ini berupa perubahan pada pola pikir dan orientasi hidup para tokoh. Baik masyarakat pribumi maupun masyarakat Tionghoa dalam novel ini digambarkan tidak lagi hanya berorientasi pada hal-hal pokok seperti sandang, pangan, dan papan, namun juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti pendidikan dan hiburan. Masyarakat tidak lagi terpaku pada aspek-aspek kehidupan yang sifatnya tradisional, namun juga pada kehidupan modern masyarakat perkotaan.

Kesimpulan yang ketiga adalah bahwa berbagai perubahan yang terjadi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab perubahan-perubahan tersebut adalah adanya kontak antar budaya yang berbeda dalam masyarakat yang heterogen, serta sistem pendidikan yang sudah maju.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//