• Buku
  • RESENSI BUKU: Bagaimana Penguasa Beromansa dengan Orang Kaya dan Bersenggama dengan Media Massa

RESENSI BUKU: Bagaimana Penguasa Beromansa dengan Orang Kaya dan Bersenggama dengan Media Massa

Ada kalanya “domba-domba yang tersesat” menentukan jalannya sendiri dan menggulingkan penguasa, seperti yang terjadi pada reformasi 1998 di Indonesia.

Cover buku Media control: the spectacular achievements of propaganda Statement of Responsibility karya Noam Chomsky (2003). (Foto: isbn.nu)

Penulis Andi Rafli Alim Rimba Sose12 Maret 2024


BandungBergerak.idApa itu demokrasi? Apa itu kebebasan? Pertanyaan ini setidaknya terbesit sekali seumur hidup dalam benak masyarakat, atau setidaknya muncul di benak saya pada dini hari – pada saat-saat bersusah payah untuk tidur.

Pertanyaan tersebut muncul setelah melihat pernyataan dari berbagai media arus utama di Indonesia. Bagaimana media menjadi ladang bagi mereka para penguasa. Bagaimana media menjejali kita dengan informasi sebagaimana maunya penguasa.

Noam Chomsky, salah satu tokoh pemikir terkenal di era kontemporer menjelaskan hal ini dalam bukunya “Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda”. Dia mengatakan bahwa terdapat dua konsepsi demokrasi. Pertama, konsepsi yang sesuai dengan definisinya dalam kamus, yaitu demokrasi di mana masyarakat dapat terlibat secara signifikan dalam menentukan keinginannya dan informasi dapat diakses dengan bebas dan terbuka.

Kedua, demokrasi yang secara umum diterapkan, yaitu demokrasi di mana masyarakat menjadi komoditas yang tidak boleh dibiarkan berpartisipasi secara bebas untuk menentukan keinginannya dan informasi harus diatur dan dibatasi.

Awal Mula Propaganda Digunakan

Pada demokrasi yang kedua, media memiliki peranan penting dalam mencuci otak masyarakat dalam suatu negara. Media tercatat memiliki sejarah panjang yang beriringan dengan demokrasi ini. Di mana media menjadi alat dalam menggerakan roda pemerintah yang sesuai dengan keinginan penguasa.

Catatan dalam keterlibatan media dapat terlihat pertama kali di Amerika pada tahun 1916. Kala itu Wodrow Wilson memenangkan Pilpres dengan jargon “Perdamaian Tanpa Penaklukan”. Di saat peperangan berkecamuk di mana-mana, masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang anti terhadap peperangan. Akan tetapi, pada saat itu, pemerintahan Wilson sudah kepalang tanggung terlibat dalam peperangan yang ada, sehingga mereka terpaksa untuk membuat masyarakat setuju dengan apa yang mereka lakukan. 

Tujuan itu dicapai ketika Amerika membuat “departemen penerangan” dengan nama Creel Commission. Departemen penerangan mereka saat itu menyebarkan propaganda-propaganda yang berhasil membuat masyarakat Amerika yang cinta damai menjadi masyarakat yang haus darah dan mendambakan peperangan. 

Setelah terbukti sukses, propaganda menjadi tren bagi pemerintah untuk membuat masyarakat setuju dengan pemikiran penguasa, dari dulu hingga kini. Propaganda menjadi hal yang dilakukan terus menerus dalam mengatasi krisis yang terjadi di berbagai negara. Terdapat kunci utama untuk memastikan kesuksesan dalam propaganda: adanya media, kapital, dan orang-orang intelek yang terlibat. 

Domba dan Penggembala dalam Demokrasi

Dalam teori demokrasi progresif yang dijelaskan oleh Water Lippman, strata kelas dalam masyarakat akan selalu ada pada negeri yang menjalankan demokrasi dengan baik. Kelas pertama adalah kelas yang berisi sebagian kecil orang. Kelas ini berisikan masyarakat yang memiliki peran aktif dalam menjalankan urusan-urusan negara, mulai dari ekonomi, ideologi, hingga politik. Mereka adalah orang-orang yang menentukan hal apa yang harus mereka lakukan untuk orang-orang lain. Mereka adalah penggembala. Kedua adalah “orang lain” itu sendiri. Mereka adalah masyarakat pada umumnya. Lippman menjelaskan mereka sebagai para domba.

Kedua kelas ini menjalankan fungsi dalam demokrasi dengan porsi yang mereka miliki masing-masing. Orang-orang yang berada pada kelas pertama, yaitu para penguasa, –mereka jugalah yang menentukan “kepentingan bersama”, yaitu kepentingan semu yang sebenarnya tidak publik inginkan. Orang-orang kedua adalah orang-orang yang berfungsi sebagai “pemirsa” dalam demokrasi. Mereka adalah orang-orang yang tidak boleh bertindak sebagai “pemain” dalam demokrasi. 

Akan tetapi, karena mereka berkembang dalam negara yang demokratis, maka terkadang mereka diperlukan untuk melanggengkan “demokrasi”. Mereka berfungsi untuk melanggengkan kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang berada pada kelas pertama. Mereka adalah objek dari Pemilu dalam demokrasi. Itu adalah cara orang-orang kelas pertama untuk mengelabui para domba bahwa mereka juga merupakan “pemain” dalam demokrasi.

Kita, Masyarakat kedua, para domba, dianggap sebagai orang-orang bodoh yang tidak boleh berperan untuk mencoba mengatur urusannya sendiri. Para penggembala menganggap para domba seperti anak kecil yang bodoh, yang mana apabila kita diberikan kebebasan, maka hanya ada dua hal yang pasti terjadi, yaitu masalah dan kerusakan.

Negara dan penguasa akan mengamplifikasi pemikiran yang mereka miliki kepada masyarakat dengan media massa sebagai perantaranya. Media massa berperan sebagai alat propaganda untuk memberikan doktrin kepada masyarakat. Dengan banyaknya propaganda pemerintah di media massa, maka secara tidak langsung masyarakat akan memiliki pemikiran yang sama dengan pemerintah.

Masyarakat yang berada pada kelas dua adalah masyarakat yang tidak dibolehkan memiliki pemikiran yang berbeda. Apabila kita berpikir, maka kita akan dianggap sebagai orang gila karena berbeda, dan apabila kita tidak dianggap gila karena berbeda, kita sendiri yang akan menganggap diri kita gila.

Di Indonesia, keadaan tidak jauh berbeda dari yang digambarkan oleh Noam Chomsky. Masyarakat Indonesia “dipaksa” memilih orang-orang dari kelas pertama untuk menjadi tuan mereka. Kita, masyarakat Indonesia secara sadar ataupun tidak, dipaksa memilih para golongan pertama sebagai penggembala mereka. Kita memilih mereka yang berada tidak jauh dari para penguasa dan orang-orang kaya sebagai pemimpin yang akan kita hamba.

Bagaimana dalam Pemilu, kita dipaksa memilih yang terbaik dari yang terburuk. Kita dipaksa untuk memilih yang mana yang sedikit lebih jahat, bukan yang mana yang paling baik.

Para pemilik media di Indonesia juga merupakan orang-orang yang tidak jauh dari kekuasaan. Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana para pemilik media asyik bercumbu dengan para penguasa, khususnya pada saat kontestasi Pemilu berlangsung. Tujuannya satu, membuat masyarakat terdoktrin untuk memilih orang kedekatan media tersebut – media merekonstruksi realitas dari para politikus yang memang rusak.

Kita, para domba hanya bisa memilih siapa yang akan menggembala kita. Dengan adanya penggembala maka kita tidak memiliki kebebasan dalam melangkah. Kita memang bisa bergerak, tetapi langkah kita sudah ditentukan dari awal oleh para penggembala. Kita dilarang untuk menentukan sendiri ke mana arah kita menuju.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Meninjau Ulang Konsep Manusia Ekonomi
RESENSI BUKU: Mengapa Hantu-hantu Patriarki Dibunuh?
RESENSI BUKU: Mencari Makna Kehidupan dalam Dunia yang Sibuk 

Domba-Domba yang Tersesat 

Domba-domba ini mungkin pada akhirnya bisa menemukan domba lainnya yang tidak ingin digembala dan mungkin akan melakukan pemberontakan, mereka adalah “domba-domba yang tersesat”. 

Contoh “domba tersesat” adalah seperti pada saat reformasi Indonesia terjadi. Para domba ini berhasil menyeruduk lalu menumbangkan penggembala yang sedang menggembalakan mereka. Para domba bersorak sorai atas tumbangnya satu penggembala. Para domba ini lupa bahwa penggembala juga berkelompok dan memiliki kawanan. 

Akan tetapi, kita, para domba tidak pernah sepenuhnya dikendalikan. Selalu ada “domba tersesat” yang menolak untuk diarahkan ke “jalan yang benar”. Mereka adalah domba-domba yang menolak lupa bahwa mereka ada di bawah kendali para penggembala. Mereka adalah domba-domba yang tidak lupa untuk mendapatkan kembali kebebasan mereka. 

Para domba-domba yang tersesat ini secara terorganisir akan ikut berpartisipasi secara aktif dalam ladang perpolitikan untuk menentukan ke mana seharusnya kita berjalan. Kawanan domba ini dapat dikenal dengan dua nama. Di dalam kamus, mereka dikenal dengan nama “kemajuan dalam demokrasi”, sedangkan oleh para penggembala mereka dikenal dengan nama “krisis demokrasi”. 

Kawanan domba inilah yang sering kali disebut sebagai masalah dalam negara kita, sebuah hal yang harus segera diatasi. Kawanan domba ini harus kembali digiring menjadi domba yang apatis, pasif, dan patuh kepada para penggembala. 

Informasi Buku 

Judul: Media control: the spectacular achievements of propaganda Statement of Responsibility

Penulis: Noam Chomsky

Penerbit: Open Media

Tahun: 2003

Genre: Politik

ISBN: 9781583225363

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan Andi Rafli Alim Rimba Sose atau artikel-artikel lain tentang Demokrasi dan Politik

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//