• Opini
  • Demokrasi Rungkad

Demokrasi Rungkad

Terjadi penurunan kualitas demokrasi di era periode kedua Presiden Jokowi. Demokrasi memang tetap tersedia sebagai demokrasi patronasi berbasis oligarki ekstraktif.

Frans Ari Prasetyo

Peneliti independen, pemerhati tata kota

Aksi unjuk rasa umat Islam dari Koalisi People Power di Bandung, 7 Juli 2023, memprotes kebijakan pemerintah terkait utang negara dalam membiayai proyek strategis nasional serta dinasti politik keluarga Presiden Joko Widodo dalam menghadapi pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden tahun 2024. (Foto: Prima mulia/BandungBergerak.id)

9 Februari 2024


BandungBergerak.id – Dalam perayaan HUT RI Ke-78 RI tahun 2023 lalu, Putri Ariani sukses menggoyang Istana negara dengan menyanyikan lagu “Rungkad”, orkestrasi yang membuat semua tamu termasuk kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi berjoget riang gembira penuh tawa. Namun jika kita mencermati tentang lirik lagu ini, ada yang absurd dengan joget  di istana tersebut. Lagu “Rungkad” sendiri memiliki dua versi genre, dangdut koplo dan Jazz yang kemudian menanjak popularitasnya sejak dinyanyikan oleh Happy Asmara. Kata "Rungkad" berasal dari bahasa Sunda dan mempunyai makna harfiah roboh, tumbang, atau hancur. Namun hanya di Indonesia pada masa pemerintahan Jokowi, lagu kesedihan dapat dinikmati dengan cara sedemikian rupa.

Situasi demokrasi Indonesia mencerminkan kondisi “rungkad”, namun pemerintahan Jokowi tetap berjoget riang dengan langkah politik dan kebijakannya. Reformasi dikorupsi, hukum dipelintir, pilar-pilar demokrasi dirobohkan satu-persatu untuk kepentingan oligarki dan dinasti. Telah 9 tahun, Indonesia mengalami situasi ini, sejak Presiden Jokowi terpilih di tahun 2014 dan berlanjut di tahun 2019. Anehnya, Jokowi terpilih oleh mayoritas rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan kebijakan dan kepemimpinan pasca reformasi. Namun hasilnya berupa erosi demokrasi dan krisis politik-ekonomi yang tajam.

Setelah bangun dari 9 tahun tidur, dalam beberapa hari terakhir, publik disajikan orkestra dari civitas academica dan-dari pelbagai universitas di Indonesia dimasa akhir period eke-2 pemerintahan Jokowi, menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Takut dikatakan tidak memihak demokrasi, maka dilakukan demo atau pernyataan sikap atau seruan dan serupa kata ganti lainnya dengan narasi utama berupa ancaman demokrasi dan penyelenggaraan negara oleh pemerintahan Jokowi.

Namun pasca bangun tidur, biasanya akan mencari makan di warung yang lain. Semua mencari inovasi, di mana yang ramai maka itulah. Celakanya, banyak yang baru bangun dan lapar jadi warung terlihat ramai padahal kemarin warung sepi tapi tetap “ngebul” karena orderan masuk tak terlihat tetap lancar. Memang untuk menggapai mimpi harus banyak tidur, tapi bangun secara mendadak bisa menyebabkan linglung yang ditemani oleh rasa lapar atau keinginan buang hajat, setali tiga uang seperti politik.  

Baca Juga: Ingar-bingar Politik dan Kepanikan Presiden Jokowi di Ujung Kekuasaan
Jokowi, Mitos Politik, dan Kematian Nalar Publik
Riuh Mengkritik Jokowi, Mulai dari Asosiasi Rektor hingga Koalisi Masyarakat Sipil

Dimulai Menjelang Pilpres 2019

Mundur ke belakang di mana situasi “rungkad” demokrasi ini dimulai. Di akhir periode pertama menjelang Pilpres 2019, Jokowi merevisi UU KPK, layaknya strategi kuda troya, politik penaklukan KPK dan melemahkan gerakan pemberantasan korupsi. KPK dibawanya sekarat, buah hasil revisi cepat kilat yang hanya 12 hari. Dengan mengorbankan modal besar keabsahan politik kemenangan Pilpres 2019, Jokowi menyetujui revisi UU KPK dan perekrutan kontroversial pimpinan KPK. 

UU KPK nomor 30 Tahun 2002 yang direvisi sebenarnya terbukti cukup efektif menghasilkan salah satu Komisi Anti-Korupsi terbaik di dunia. Pasca revisi lalu pemberlakuan dan pelaksanaan UU KPK 2019 yang baru, kinerja KPK kacau-balau dan memang merusak. Sebagai salah satu wujud praktik demokratisasi hasil dari reformasi pasca Orde Baru (Orba), KPK memang tidak mati. Seperti Superman dengan kalung kriptonit –lemah tak berdaya oleh Neo-Orba.

Situasi yang mendorong gerakan sipil melakukan demonstrasi 2019 bertajuk #reformasidikorupsi walau kemudian hanya dianggap angin lalu oleh pemerintahan, selain juga tidak ada upaya lanjutan dengan memberikan tekanan yang signifikan dari masyarakat sipil untuk mendorongnya lebih jauh secara politik. #reformasidikorupsi dibiarkan menguap dan situasi pemerintahan tetap berjalan.

Di akhir pemerintahan periode kedua menjelang Pilpres 2024. Setelah sebelumnya Jokowi menempatkan iparnya menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK), maka keluarlah putusan kontroversial MK No. 90/PUU-XXI/2023 sebagai jalan tol untuk anak Jokowi, Gibran untuk menjadi cawapres. Proses konsesi kekuasaan yang tidak didasarkan pada kapabilitas dan meritokrasi melainkan pada hubungan kekeluargaan yang menghasilkan kontestasi demokrasi menjadi tidak adil. Sudah terbajak oligarki dan sistem kotak suara dalam pesta demokrasi tidak adil, lalu semakin dalam terjebak dalam situasi feodalistik dan dinastik. Semuanya bekerja secara ugal-ugalan mengangkangi norma, muruah, moral, tatanan dan nilai hukum yang ada.

Sebelumnya, robohnya independensi MK telah tersajikan dalam orkestrasi politik Jokowi melalui putusan MK yang mempertahankan UU Cipta Kerja dan membenarkan alasan kegentingan yang memaksa dalam pembentukan Perppu merupakan bentuk kongkret pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan konstitusi UUD 1945 dan menenggelamkan rakyat pada krisis yang secara langsung mendukung penindasan oligarki terhadap rakyat di negeri sendiri. Sebelumnya, MK telah menetapkan UU Cipta Kerja inkonstitusional, karena pembuatan yang super ekstra cepat dalam waktu kurang dari dua bulan dan ugal-ugalan dengan menabrak puluhan UU yang sudah ada sebelumnya serta abai terhadap prinsip “partisipasi bermakna” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hasilnya, memperparah krisis dan ketimpangan penguasaan lahan serta menjadi instrumen hukum ampuh untuk melegitimasi praktik-praktik bisnis yang merusak. Di saat yang bersamaan kekayaan oligarki politik dan bisnis meningkat drastis. Serupa KPK, Pemerintahan Jokowi menunjukkan bagaimana MK sebagai benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi dirobohkan secara sistematis –mengubah dari dalam, sebuah frasa yang melekat pada Jokowi di awal pemerintahannya dan itu terbukti pada KPK dan MK.

Kehadiran UU Cipta Kerja ini juga mendapatkan tekanan publik yang serius bagi kestabilan politik nasional menjelang awal pemerintahan Jokowi periode ke-2 ditahun 2020.  Terjadi demonstrasi dibanyak tempat dengan korban jiwa tentu saja, sama seperti ketika peristiwa #reformasidikorupsi. Jokowi menggunakan perangkat aparat dan mekanisme struktural kekuasaan untuk membersihkan demonstrasi ini, terutama dari mahasiswa. Jalanan disapu, universitas dikebiri.

Model Pembangunan ala Jokowi

Terbitnya UU Cipta Kerja 2019 merupakan tahapan paling mutakhir dari skenario model pembangunan baru ala Jokowi yang telah dilakukan sejak pertengahan periode pertama pemerintahannya. Jokowi berfokus pada infrastruktur dan deregulasi, persoalan lainnya diletakkan di bawahnya termasuk HAM. Terdapat nuansa populisme masa kini dengan kemasan masa lalu era Orba dalam pola developmentalis Jokowi ini, sedangkan ciri konservatis dan nasionalisnya mencerminkan tren politis yang ada dan terbawa dari sebelumnya ketika menjadi wali kota Solo dan gubernur Jakarta.

Jokowi berupaya merebut takhta “bapak pembangunan” dari tangan Suharto dengan gaya developmentalisnya yang baru. Namun, Indonesia tetap diserahkan pada mekanisme pasar neoliberalism, dan Amerika sebagai imperium lama tetap mendapatkan jatahnya walaupun dengan porsi yang berkurang karena mendapatkan saingan dari imperium baru, China. Pelbagai proyek pembangunan mencerminkan hal tersebut. Proyek kereta cepat Whoosh yang meninggalkan ketergantungan pada China melalu hutang termasuk di pelbagai proyek infrastruktur lainnya, seperti tol, bandara, PLTU dan waduk. Proyek Food Estate dengan melakukan clearing hutan tropis untuk tujuan food security, terlebih yang ditanam singkong tapi panen Jagung, namun masyarakat kita dominan mengonsumsi beras. Peralihan area hutan tropis dan lahan gambut yang mencapai 10 juta ha menjadi tanaman monokultur sawit dan area tambang menjadi masalah berat ekologis yang disajikan pemerintahan ini setelah masalah serupa melalui pelbagai proyek infrastruktur. Ditambah lagi meninggalkan situasi hutang negara mencapai Rp 8000 triliun dalam 9 tahun terakhir dari hanya Rp 2500 triliun.

Selain itu pada tahun 2022 terjadi perubahan UU KUHP yang mendapatkan respons negatif dari publik. Perubahan UU KUHP malah mengembalikan Indonesia pada masa kolonialisme, di mana kebebasan sipil semakin terkontrol oleh perangkat surveillance, kebebasan berkumpul, berserikat dan berbicara dibatasi, kebebasan menggunakan hak kritis dibelenggu dan siapa pun dapat dengan mudah dipenjara atas dasar tindakan subversif terhadap negara, melawan norma hukum dan norma khalayak termasuk tindakan kritis dan kritik terhadap aparatus negara. UU KUHP ini sebagai upaya paling mutakhir dari Jokowi dalam memberikan ancaman kepada oposisi dan masyarakat sipil serat ancaman terhadap HAM. Dengan lahirnya UU KUHP ini, demokrasi hasil dari reformasi itu kembali ke titik paling dasar.

Menurunnya kualitas institusi-institusi demokratis Indonesia di bawah Jokowi menjelang upayanya mencalonkan diri kembali sebagai presiden dalam Pilpres 2019 ditandai dengan manipulasi dan abuse of power atas lembaga-lembaga penegakan hukum dan keamanan demi tujuan-tujuan yang sempit dan partisan, serta usaha-usaha terkoordinasi untuk menekan dan mengurangi oposisi demokratis dalam wujud represi oposisi bertambah dan terang-terangan. Selain itu melakukan penerimaan dan legitimasi atas aliran tertentu dari Islam politik, yaitu konservatisme dan anti-pluralisme. Situasi yang memberikan kecenderungan area demokrasi menjadi tidak seimbang, membatasi pilihan-pilihan demokratis, mengurangi akuntabilitas pemerintah – rungkad.

Rungkad” bermakna tentang sakit hati sekaligus kehilangan karena begitu mencintai, mengingatkan bagaimana Jokowi dicintai selama hampir 9 tahun. Kita melihat bagaimana pembingkaian Pilpres 2024 cenderung tidak memperhatikan status quo demokrasi. Demokrasi memang tetap tersedia sebagai demokrasi patronase berbasis oligarki ekstraktif. Jika menghendaki perubahan politik yang mendasar, seyogyanya meletakkan harapan pada kekuatan kita sendiri, hasil jerih payah kita sendiri, ketimbang berharap pada elit-elit politik dan ekonomi dalam tubuh negara yang semakin bobrok ini. Saatnya kita mengklaim kembali masyarakat sipil dan membangun kekuatan politik alternatif dari bawah.

Pertunjukan Pilpres ke-5 ini akan menentukan sejarah demokrasi Indonesia, apakah akan terkonsolidasi atau stagnan dalam kubangan lumpur oligarki – kita semakin kotor semakin senanglah mereka. Keduanya harus memiliki catatan kritis, jika tidak kita akan terus disajikan pesta demokrasi lima tahunan berupa pertunjukan joget doger monyet ngagugulung kalapa dengan tangan-kaki penuh pisang.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//