• Buku
  • RESENSI BUKU: Masih Alergi Palu Arit

RESENSI BUKU: Masih Alergi Palu Arit

Buku Menyibak Tirai Komunisme karya Sidi Mochammad merekam serangkaian trauma masyarakat pada rezim komunis.

Sampul buku Menyibak Tirai Komunisme karya Sidi Mochammad. (Foto: Instagram referensibukulawas)

Penulis Fadil Budi Ardian 23 Februari 2025


BandungBergerak.id – Beberapa tahun lalu ramai beredar sebuah video berisi kekerasan yang dilakukan ketua dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepada seorang pengendara motor. Ketua LSM itu memaki dan memukul sampai sang pengendara motor tak berkutik. Tak di nyana, penyebab masalah itu karena si pengendara motor menggunakan pin bergambar palu dan arit.

Kejadian lebih sial menimpa seorang aktivis lingkungan asal Jawa Timur yang bernama Budi Pego. Pada 4 April 2017, ia mengadakan aksi menolak keberadaan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Budi Pego selaku koordinator aksi harus mendekam dipenjara karena dituduh terdapat spanduk palu dan arit dalam demonstrasi itu.

Dari dua kejadian tersebut, tampaknya masyarakat Indonesia hari ini menganggap simbol palu dan arit adalah momok yang menakutkan. Palu dan arit sendiri erat kaitannya dengan perjuangan bagi kaum pekerja karena palu sendiri mewakili buruh, sedangkan arit mewakili petani. Ideologi yang menjadikan simbol ini sebagai simbol perjuangan adalah komunisme.

Dalam cakupan global, muncul juga banyak serangkaian trauma masyarakat kepada rezim komunis. Hal itu direkam oleh Sidi Mochammad dalam bukunya yang berjudul Menyibak Tirai Komunisme (1987). Di dalam buku ini, Sidi mengumpulkan dan menyunting beberapa tulisan orang-orang dari berbagai negara yang merasakan dampak buruk dari rezim komunis.

Sidi fokus menyoroti borok dari rezim komunisme yang merupakan efek dari kediktatoran proletariat. Kediktatoran proletariat adalah ketika kaum proletar–yaitu kaum yang tidak memiliki alat produksi–menguasai suatu negara secara penuh.

Sebagai contoh kekuasaan absolut kediktatoran proletariat terjadi di Kuba pada masa rezim Fidel Castro. Pada 1959, Undang-undang Perombakan Agraria Kuba muncul untuk menyita lahan pertanian dan peternakan yang sudah maju, untuk nantinya dibagikan kepada petani. Selanjutnya, terjadi pembagian tanah kepada petani secara besar-besaran.

Namun berapa waktu kemudian, tanah yang sudah dibagi itu akan direbut kembali dari petani. Untuk mengganti uang kompensasi lahan dari pemilik sebelumnya, rezim Castro akan memberikan semacam surat berharga sebagai jaminan, yang sebenarnya tidak memiliki harga apa pun.

“Para petani segera melihat kenyataan bahwa undang-undang tersebut tidak berarti apa-apa. Tanah dirampas tanpa mengingat lagi batas-batas menurut hukum tersebut. Makanan dan alat-alat pertanian disita juga.” (hlm. 69–70).

Dari Amerika Tengah kita beralih ke Asia Timur. Selama program Lompatan Jauh ke Depan di Cina (1958–1962), pemerintahan komunis di bawah Mao Zedong menginginkan perubahan ekonomi dalam waktu singkat untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain. Program ini dilakukan dengan menggenjot hasil pertanian dan produksi baja.

Untuk menggenjot hasil pertanian, para petani dipaksa menanam lebih banyak padi dengan lahan yang terbatas. Alhasil saat musim panen tiba, padi tak mampu tumbuh secara sempurna akibat adanya penyempitan jarak tanam. Bencana kelaparan segera merebak layaknya wabah, setidaknya 20 juta rakyat meninggal pada kejadian ini.

Begitu pun pada penggenjotan besi, alat-alat yang diproduksi di desa tidak bisa didistribusikan ke kota akibat masih minimnya jalur distribusi. Alat-alat yang terbuat dari besi itu berakhir menjadi rongsokan yang bertumpuk-tumpuk.

“Penduduk Cina dengan segala daya ingin menjelaskan pada orang-orang asing kengerian-kengerian yang telah mereka alami” (hlm. 199).

Baca Juga: RESENSI BUKU: Kota adalah Rentetan Cemas dan Lapar yang Berkepanjangan
RESENSI BUKU: Menyelami Peta Transformasi Media Baru Ala Moch Fakhruroji
RESENSI BUKU: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa (SPOILER ALERT)

Berkaca pada Sejarah

Dapat dilihat sifat pemerintahan kediktatoran pada rezim komunis menuai banyak masalah. Ketika kuasa terpusat di satu orang atau kelompok, maka kuasa itu kemungkinan besar digunakan untuk memuaskan diri atau kroninya, serta menindas kaum di luarnya. Namun yang luput dari buku ini, adalah fakta bahwa praktik kediktatoran juga terjadi di negara selain berideologi komunis, bahkan yang antikomunisme sekalipun.

Semisal ketika masa buku ini ditulis, yakni saat Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Pada masa itu, kekuasaan terpusat kepada Soeharto dan kroni-kroninya. Dengan dalih pembangunan, kebebasan masyarakat diberangus.

Adapun Orde Baru dibangun atas dasar sentimen terhadap ideologi komunisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap menjadi dalang utama dari kematian tujuh jenderal pada 1965. Selanjutnya, sekitar 500.000 sampai sejuta orang yang dianggap komunis dibunuh, menurut perkiraan sejarawan asal Irlandia, Benedict Anderson.

Berbarengan dengan pembantaian itu, muncul stigma kepada orang komunis yang dianggap kejam dan atheis. Adanya stigma itu menciptakan rasa takut masyarakat kepada komunisme, sekaligus menjadi dalih negara melenyapkan oposisi. Dalam Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, diketahui rezim Orde Baru kerap menuduh pihak oposisi sebagai komunis.

Persoalan itu tampaknya masih terjadi sekarang, dilihat dari kasus Budi pego yang sudah dijelaskan di atas. Hal-hal yang berbau komunisme kini menjadi dalih untuk tindakan-tindakan represif yang bertentangan dengan semangat kebebasan dan demokrasi.

Penulis dalam buku ini seolah masih terjebak dalam sentimen terhadap komunisme. Penulis sama sekali tidak menyinggung kediktatoran sewenang-wenang yang terjadi di depan matanya. Akan tetapi, secara habis-habisan ia mengumpulkan tulisan orang yang anti kediktatoran proletariat.

Kekurangan juga terletak pada kegagalan penulis yang masih bias dalam menyampaikan kebobrokan rezim komunis. Rakyat yang sebenarnya merasakan secara langsung dari rezim komunis justru tidak mendapatkan banyak sorotan. Narasi justru lebih banyak menyorot manuver elit politik.

Terlepas dari kritik di atas, isi dari buku ini bisa menjadi bahan refleksi bagi mereka yang tertarik dengan ideologi komunisme. Buku ini dapat menampilkan sisi buruk dari ideologi komunisme, sehingga dapat memperluas sudut pandang dalam memahami ideologi ini.

Informasi Buku

Judul buku: Menyibak Tirai Komunisme
Penulis: Sidi Mochammad
Penerbit: Bandung, Bandung Lautan
Tahun terbit: 1987
Jumlah halaman: 256 halaman

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//