RESENSI BUKU: Mat Pisau, Kisah Kelabu Wong Kalahan
Mat Pisau, cerpen tunggal karya Eka Kurniawan berkisah tentang orang kalah yang mencoba segala cara untuk tetap menjadi terpandang.
Penulis Resha Allen Islamey 2 Maret 2025
BandungBergerak.id – Mat. Bocah buruk rupa, bau, miskin, bodoh, tengik, dungu. Bodohnya seperti batu, namun bahkan batu masih bisa menjadi pengganjal truk yang terhenti di tanjakan; baunya seperti tai, namun tai katanya menggemburkan tanah. Di sekolah, tak ada yang ingin berteman dengannya atau hanya sekedar tegur sapa. Tubuhnya pun ringkih dan bungkuk.
Itu sebabnya, mungkin, ekspresinya seolah mati padahal ia belum direnggut maut. Mat tidak punya apa-apa untuk diperjuangkan.
“Pegi kau, bodoh!”
“Hey, dungu!”
Sesekali ada yang mendekatinya, itu pun untuk melambungkan kaki dan tangan atau menyundutkan rokok ke tubuhnya. Mat tidak pernah menggubris sebab ia tahu risikonya.
Suatu waktu, Mat diminta membantu membersihkan gudang oleh penjaga sekolah. Mat tidak sengaja menemukan sebuah belati Pramuka. Jenis pisau yang biasa murid sangkutkan di sebelah kiri pinggang ketika waktunya berseragam Pramuka. Bukan jenis pisau yang berbahaya. Bahkan anak SD diwajibkan membawanya ke sekolah.
Mat membawa pisau itu pulang. Mat lantas berkawan dengannya, memutar-mutar belati itu di jarinya; mengasah; juga memandikannya. Berselang sebulan untuk mahir, kini ia memiliki keterampilan: memutar pisau. Murid perempuan terpukau menyaksikannya ketika Mat unjuk keterampilan di sekolah. Emi gadis paling manis pun keranjingan melihatnya.
Sejak itu, meskipun masih bau dan bodoh, ia dapat julukan baru: Mat Pisau.
“Hey, miskin! Ternyata kau keren juga!” Murid laki-laki mulai menilainya.
Itulah sosok utama dalam cerpen tunggal dalam buku Mat Pisau yang ditulis Eka Kurniawan. Anda bisa mendapatkannya apabila membeli buku Lelaki Harimau yang diterbitkan ulang dengan cover teranyar. Atau seperti saya, Anda bisa meminjamnya di Pitimoss Library seharga dua ribu rupiah untuk sehari baca.
Membaca Mat Pisau di awal, saya teringat sosok Mat lain, Mat Dawuk, tokoh dalam cerita pembual andal Warto Kemplung yang ditulis Makhfud Ikhwan. Memang keasyikan kisah Mat Dawuk telah luntur dimakan waktu dari benak saya. Tapi yang pasti, ciri buruknya serupa. Entah apa hubungannya. Mat-nya Eka seolah menghidupi Mat-nya Makhfud; Mat-nya Makhfud seolah menyambung Mat-nya Eka. Namun tentu, Mat-nya Makhfud lebih dulu hadir.
Di Malaysia, Mat Kilau: Kebangkitan Pahlawan merupakan film terlaris. Kisah tentang pendekar. “Mat” boleh jadi julukan bagi seseorang yang memiliki kesaktian, namun saya tidak dapat memastikannya. Yang jelas, saya butuh lebih banyak sosok Mat.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa (SPOILER ALERT)
RESENSI BUKU: Masih Alergi Palu Arit
RESENSI BUKU: Di Balik Tragedi 1965
Ketika Wong Kalahan Bergerak
Tidak berselang lama, murid lain mengikuti apa yang bisa mat perbuat. Kini tidak hanya Mat seorang yang dapat memutar pisau. Bocah-bocah lain meski tidak seatraktif Mat, perlahan-lahan menjadi terampil.
Seketika Mat khawatir. Tak ada lagi yang bernilai darinya apabila para siswa menjadi mahir bermain pisau. Dan bagaimana jika para murid menjadi bosan? Mat akan kembali menjadi batu dan tai.
“Hey, miskin! Ternyata kau keren juga!” Akan kembali Mat dengar.
Tapi Mat yakin, ia masih yang terbaik. Mat segera berlatih dengan meletakan pisau di hidung, punggung, dan kepala. Ke mana arah pisau akan terjatuh, tubuhnya akan dicondongkan ke arah yang sama.
Dalam ungkapan Jawa, saya kerap mendengar istilah “wong kalahan” untuk menggambarkan orang yang tersingkir perihal percintaan, pertemanan, pekerjaan, dst. Artinya, tidak sekedar literal “orang kalah”, tetapi ketika kalah, lebih nrimo (menerima sebagai takdir) sebab memang belum pantas merayakan kemenangan. Barangkali, “wong kalahan” ini cocok dengan Mat.
Namun ketika wong kalahan ini menemukan titik balik, ia tidak ingin segera kembali menjadi wong kalahan. Mat mulanya wong kalahan, sebab itu, ia akan melakukan segala cara agar tetap menjadi terpandang.
Dirundung ataupun dikucilkan di sekolah tentu merupakan pengalaman yang tidak mengenakan dan traumatis. Tampang pas-pasan, miskin, bodoh, tidak memiliki tempat di sekolah. Sebagai jalan keluar untuk tidak lagi dikucilkan, kita mafhum dengan sosok-sosok yang mencoba lucu. Para korban perundungan akan beradaptasi dan berjuang dengan cara apa pun demi bisa diterima. Lainnya, terpaksa hanya menjadi jongos dan berusaha tahan banting.
Sebab, dalam Mat Pisau maupun kehidupan sekolah senyatanya, persoalan ini kerap tidak dipandang serius. Begitu pula dengan polisi. Mungkin dengan dinas-dinas pendidikan. Sungguh pengalaman kolektif yang harus diselesaikan dengan serius.
Syahdan, hanya Emi seorang yang menganggap musim pisau ini sebuah malapetaka. Namun Mat tidak memedulikannya. Bahaya betul jika satu-satunya hal yang membuatnya hidup harus dibumihanguskan.
“‘Berhenti, Mat!’ ‘Kau bukan pendekar, bukan tukang sulap, bukan juga tukang sihir’,” kata Emi.
Mat tidak lantas peduli. Bahkan, ia mencari berbagai cara agar semakin terdepan di bidang ini. Pada ujungnya, ia memiliki tiga pisau, lalu memutarnya bagaikan atraksi juggling (seni melempar benda ke udara lalu ditangkap dengan tangan atau kaki, biasanya pemain akan menahan posisi tersebut selama mungkin agar benda yang dilempar tidak terjatuh), sembari tubuh bungkuk itu tampak menari. Mat semakin jauh melampaui siapa pun. Hanya dengan begitu, Mat jadi bernyawa.
Lantas jika begitu, apakah Mat menjadi layak mendapatkan cinta? Atau Mat akan tampil dalam perhelatan perpisahan siswa? Atau menjadi paling jagoan di sekolah?
Sastra Dua Batang VS Sastra Koran
Sembari menunggu satu-satunya pekerja Pitimoss yang dapat diwawancarai untuk sebuah reportase, saya memilih buku ini untuk mengisi waktu luang. Hanya untuk menunggu dia berganti shift. Ternyata buku yang saya ambil cerpen tunggal.
Saya memang agak lamban dalam membaca. Meskipun tipis, buku ini tidak sampai menghabiskan dua batang rokok kretek yang saya hisap kadang-kadang. Saya memang agak lamban dalam membaca. Tapi siapa pun yang membaca Mat Pisau, tidak akan menyita waktu lebih dari setengah jam.
Sebelumnya, saya pernah membaca cerpen Eka yang secara tebal dan ukuran sama, berjudul Sumur. Eka sepertinya akan terus menulis cerpen yang cukup panjang jika dibandingkan dengan cerpen-cerpennya yang telah beredar.
“Awalnya tak tahu bagaimana menerbitkan cerpen yang panjang ini (sekitar 5.000 kata). Koran tak mungkin. Majalah sastra tak ada. Terbit di internet, gak ada yang nawarin honor layak. Satu-satunya yang terpikir cuma menyimpannya,” keluh Eka di akun Instagram pribadinya, pada saat perilisan Sumur (2021). “Kenapa tak diterbitkan sebagai cerita pendek tunggal?” “Toh, sebelum ini juga pernah ada yang melakukannya.”
Eka juga sepertinya ingin menggugat tradisi cerpen atau sastra koran. Jumlah kata dalam rubrik kontributor yang terbatas membuat cerpen-cerpen ini tidak memiliki tempat selain dicetak tunggal maupun sehimpun tulisan. Majalah sastra yang dapat menampung jumlah kata yang lebih panjang pun telah lama berguguran.
Apabila Mat Pisau diterbitkan di koran maupun media online, saya tidak perlu sampai menghabiskan sebatang kretek untuk sampai ke pangkal cerita. Toh bila disingkat, cuma jadi macam cerita bocah terzalimi, dirundung, lalu segera membalas alam semesta.
Menurut saya, cerpen dengan jumlah kata yang lebih panjang memiliki kelebihan.
Tidak jadi tidak tahu, apa-apa yang bocah ini korbankan untuk menjadi jagoan satu-satunya di bidang memutar pisau. Lihat, dengan jumlah kata yang lebih sedikit mungkin kita tidak tahu cerita ini soal pencarian diri seseorang; soal represi dari siapa pun, murid dan aparat; soal perjuangan yang tak boleh padam. Juga kita tidak akan tahu, layaknya novel, cerpen juga terkadang perlu mengandung detail yang berarti.
Lalu dengan cara apa Mat bisa mendapat pisau? Sejauh mana Mat akan bermain pisau? Pertanyaan itu mungkin akan terlontar jika cerita ini disederhanakan.
Selain itu, penokohan bisa menjadi lebih adil jika diberi ruang. Meskipun tokoh Emi tidak memiliki porsi yang begitu banyak, ia satu-satunya orang yang memandang belati Pramuka berbeda. Atau seperti dalam Sumur, kita tidak akan tahu persoalan kolektif yang dihadapi orang-orang desanya.
Lain lagi, dengan cara apa Mat bisa mendapat belati lebih supaya bisa melemparnya secara bersamaan, lalu diputar dari kiri-kanan dan sebaliknya (juggling)? Jika disederhanakan, Mat akan menggunakan pisau dapur yang ia curi di dapur tetangga yang letaknya di samping gang. Namun Mat tahu, selain akan babak-belur dihabisi warga, ia akan habis lebih cepat akibat beratnya pisau dapur.
Atau dalam Sumur, hanya selepas 30 menit sehabis membaca, saya buru-buru mengutuk rusaknya planet sebab membuat kisah cinta di dalamnya menjadi tragis.
Informasi Buku
Judul: Mat Pisau
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia
Halaman: 24 halaman
Tahun Terbit Pertama: 2024
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lainnya dari Resha Allen Islamey, atau artikel-artikel menarik lainnya mengenai Resensi Buku