RESENSI BUKU: Bersimpuh di Ujung Perjalanan
Buku Lagu Liwung berisi kumpulan sajak penyair Teddi Muhtadin membentang kenangan belasan tahun lamanya.
Penulis Rizki Sanjaya5 November 2023
BandungBergerak.id – Sebuah buku berisi 45 sajak, lahir dari penyair kelahiran Rancaekek, 56 tahun silam. Lagu Liwung terbitan Mata Pelajar merangkum sajak-sajak Teddi Muhtadin dalam kurun 1996–2022. Di masyarakat sastra, Teddi dikenal sebagai kritikus. Di Fakultas Sastra Unpad, dia dikenal sebagai dosen. Dan bagi kami, Pak Teddi serupa nadi yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Menandai peluncuran buku, saya kutip sajak "Kelahiran" bertitimangsa 1996:
pagi pagi anak anak dimandikan
air meluap dari rahim batu batu
oi alangkah meresapnya dingin ini
(di timur matahari
bumi telah bersalin)
Membaca Lagu Liwung di tahun ini, mengungkap kenangan yang saya simpan belasan tahun lamanya. Saya ingat betul, sebagian besar calon naskah Lagu Liwung bocor secara bawah tanah. Di tangan sekelompok mahasiswa bebal, termasuk saya, naskah itu disebar cukup militan. Ada yang mengganjal dalam benak. Pak Teddi yang sering mendesak mahasiswanya menulis dalam bahasa Sunda, mengapa malah bersajak Indonesia?
Lagu Liwung terdiri dari tiga bab: “Perjalanan”, “Kampung Halaman”, dan “Bersimpuh”. Beberapa sajak di dua bab awal telah digubah menjadi lagu. Sajak “Tentang Api” digubah Nonverbal, band asal SMAN 1 Baleendah, yang dua orang di antaranya alumni Sastra dan Fikom Unpad. Sajak “Menjauh Pantai II” dan “Tentang Api” dimusikalisasi oleh Kampung Halaman, sebuah proyek musik dari dua alumni Sastra Unpad.
Selain diproduksi dalam bentuk musik, sajak yang Teddi buat, turut hidup di hiruk kampus. Ada dua mahasiswa sezaman yang intens mengaransemen sajaknya. Pertama adalah Ahmad Rijal Nasrullah yang kini bermusik dengan Laras Gita. Serta Yasfi Maziya Mufida yang tergila-gila pada sajak “Malam”. Di hening malam, saat aktivitas kampus tinggal sisa-sisa, sekelompok mahasiswa termenung pada siapa mereka menggantung harap:
gelap membakar api
silalatu menunjukkan jalan-jalan baru
di persimpangan
aku dengan langit kosong
arah dan pertimbangan
tapi engkaukah itu
samar sekali
Baca Juga: RESENSI BUKU: Menjelajahi Keterasingan Manusia dalam Urban Delirium
RESENSI BUKU: Upaya Sia-sia Mengikuti Standar Orang
RESENSI BUKU : Puizine Ketam, Mengarsipkan Keseharian yang Tidak Pasti
Diksi Malam
Sepuluh kali Teddi memakai diksi “malam” dalam Lagu Liwung. Pada bab satu, “Menjauh Pantai II” /di keluasan malam/ serta /dan malam surut/. Lalu “Compang-camping” /dan malam itu pulang pagi/ juga /sampai malam penghabisan/. Ada juga dalam “Buruh” /di rahimnya ada malam yang juga mati/. Serta satu sajak khusus “Malam”. Dari enam “malam” yang dipakai, Teddi menganalogikan malam sebagai waktu yang panjang dan menentukan.
Di bab dua dan tiga, Teddi empat kali menyertakan “malam”. Seperti dalam “Manglayang” /malam yang diusik oleh semacam inisiasi/. Dalam “Ketika Banjir Melanda” /pukul sepuluh malam itu atau sebelas/. Pada “Dalam Kelambu” /malam itu seharusnya damai/. Juga /Gunung Batu bertudung malam/. Keempatnya mewakili suasana berbeda. Berdasar sifatnya, tergambar jika malam merupakan situasi yang damai dilingkung inisiasi.
Diksi “malam” sebagai penanda waktu begitu dominan, bahkan jika dibandingkan dengan “pagi” (enam kali) atau “sore” (dua kali). Malam cukup menarik perhatian Teddi. Keluasan malam yang damai tergambar dalam tradisi Islam, di mana malam adalah pakaian, sedang siang adalah penghidupan (QS 78:10-11). Gelap malam menutupi seisi alam, selayaknya pakaian menutupi manusia. Malam adalah waktu terbaik bermunajat.
Kecenderungan Teddi menggambarkan malam sebagai waktu bermunajat terlihat pada dua bait terakhir sajak "Compang-camping". Dalam sajaknya tersebut, Teddi melukiskan keberjarakan seseorang ketika berinteraksi dengan Tuhan. Jarak antar waktu diisi dengan hal-hal duniawi. Meski malam dalam "Compang-camping" tak bermuara, mungkin lain waktu—hanya malam yang sanggup membuat seseorang itu tak lagi berjarak.
Ditandai revolusi industri abad ke-18, sistem kapitalisme kian membelenggu siapa pun untuk mencintai komoditas, tren duniawi, serta keberjarakan secara sosial. Sebuah terobosan menarik terjadi di beberapa negara maju, salah satunya Swedia. Menentang zaman, Swedia menghentikan pemakaian gawai elektronik dalam pembelajaran untuk siswa berusia enam tahun ke bawah. Tradisi menulis dan membaca buku cetak digalakkan kembali.
Saat dunia dikemas serba cepat oleh manusia modern, dalam "Di Perpustakaan", Teddi mengajak kita tidak tergesa, /di sini waktu selalu mampat/. Kita adalah aktor yang berkehendak atas diri sendiri. Dengan piawai Teddi mendudukkan Hitler dan Westerling satu jamuan. Belum lagi dialognya perihal Rumi yang penuh cinta bara. Membaca adalah memperlambat waktu. Sebagaimana lawan dialognya berujar, /di luar waktu selalu deras/.
Membentang Waktu
Saya ingat betul, Pak Teddi adalah dosen yang cukup sering menemani mahasiswanya berproses hingga larut malam. Kegemarannya adalah menyaksikan anak-anak berlatih teater. Meski tidak selalu hadir, Pak Teddi tahu betul agenda pementasan yang sedang dihadapi anak-anak Teater Pamass (Tepass). Sesibuknya beliau sebagai dosen dan berbagai aktivitas susastranya, Pak Teddi tak pernah lupa jalan pulang ke rumahnya yang sederhana.
Dalam bab "Bersimpuh", Teddi cukup sering menggunakan padanan burung dara sebagai objek imajiner. Burung dara (merpati) merupakan spesies unggas yang akrab dengan manusia. Burung ini dikenal pintar, lembut, dan hidup bersosial. Jauh sebelum meruaknya jasa ekspedisi maupun platform surat elektronik, merpati adalah jagoan pengantar pesan. Insting dan kemampuan alami merpati, membuatnya pandai menghafal rute.
Empat dari sembilan sajak di bab terakhir memakai diksi burung dara. /Burung Dara beriang/, /burung dara bercengkrama/, /Burung Dara burung merpati/, dan /Bagai Kawanan burung dara/. Dengan timbangan tempat dan waktu saat Teddi menulis bab ini, burung dara bisa dimaknai kawanan yang beribadah haji. Aspek rekreasi dalam sastra ini didukung lanjutan larik dari dua sajaknya, /dalam khusuk putaran tawaf/, serta /kami bersimpuh/.
Hal berbeda tampak kentara pada bab "Bersimpuh". Jika di dua bab awal sajak-sajak Teddi lengkap dengan judul, di bab terakhir hampir seluruhnya dikemas tanpa judul. Hanya satu yang menggunakan judul, yakni "Bersimpuh". Oleh karena itu, bisa jadi delapan sajak lainnya bukanlah tanpa judul, melainkan lanjutan dari sajak pembuka yang dikemas tanpa ciri apa pun. Pola ini membuat sembilan sajak di bab "Bersimpuh" menjadi kesatuan.
Perubahan juga tampak dari permainan kata. Di dua bab awal, Teddi sering mengabaikan tanda hubung pada kata ulang. Contohnya dalam sajak "Ketika Banjir Melanda". Empat bait dalam sajak, memuat masing-masing satu kata ulang tanpa tanda hubung, seperti bayang bayang, ruang ruang, orang orang, dan tiba tiba. Sedangkan pada bab terakhir, Teddi mengikuti etika era PUEBI, seperti penulisan ayat-ayat dan pohon-pohon.
Meski tampak inkonsisten dari sajak ke sajak, dalam sastra, gubahan dan metrum yang diolah oleh seorang penyair, seharusnya bukan hal mendesak yang perlu disoalkan berlarut. Setiap penyair punya metode penghayatannya sendiri untuk memahami pengalaman, perasaan, dan daya khayal yang sedang dialaminya. Proses penciptaan yang melibatkan hal-hal demikian, meminjam istilah Andre Hardjana, dinamakan penghayatan poetik.
Berbagai perubahan yang Teddi susun, membuat Lagu Liwung seakan hidup membentang waktu, "Bersimpuh" menutup rangkaian "Perjalanan". Jika dalam "Compang-camping" terlukis seorang insan yang tetap batu di hadapan Tuhan. Maka bab penutup dalam Lagu Liwung adalah muara dari segalanya. Bersama kawanan burung dara, seorang pengelana berihram, bebas jahitan, bersimpuh di lembah-Nya yang penuh pepohonan.
Informasi Buku
Judul Buku: Lagu Liwung
Penulis : Teddi Muhtadin
Penerbit: Mata Pelajar
Cetakan: Pertama, Juli 2023
Halaman: 92
ISBN: 978-623-88403-8-0