RESENSI BUKU : Puizine Ketam, Mengarsipkan Keseharian yang Tidak Pasti
Buku Puizine Ketam (2023) karya Ahmad Habibie mencoba memadukan antara pengarsipan harian melalui zine dan kerja berkepanjangan dengan puisi.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Kita selalu berjalan dalam ketidakpastian, membuka mata saat pagi hari menjalani rutinitas di bawah bayang-bayang tak pasti. Seperti membenci Senin namun diseret oleh waktu tapi terkadang menjalaninya juga tak tepat waktu. Begitulah: Ketidakpastian berjalan. Tak hanya waktu, ketidakpastian pun beragam, seperti angka-angka, takdir, bahkan halaman.
Ketidakpastian ini diarsipkan dalam momen sehari-hari, dalam pengarsipan yang sederhana dilakukan oleh Ahmad Habibie pada Puizine berjudul Ketam (2023). Habibie mencoba memadukan antara pengarsipan harian melalui zine dan kerja berkepanjangan dengan puisi. Puizine ini diberi sampul apik oleh KNGHTM melihatkan sosok Esther Ferrer—seniman perfom art asal Spanyol .
Entah apa ketersambungan antara Esther Ferrer dan Ahmad Habibie pada Puizine Ketam ini. Namun sebagaimana dikutip dari Guggenheim Bilbao, sosok Esther merupakan seniman yang mengambil objek sehari-hari dalam penampilannya.
Diproduksi secara do it your self oleh Seng Iseng Zine. Terdapat kurang lebih sepuluh puisi Ahmad Habibie pada puizine ini, diakhiri dengan gambar yang dibuat Knghtm sebelum cover penutup “Bad Poems For Bad People”.
Puizine dan Pengarsipan Puisi Melalui Zine.
Puisi-puisi yang ditulis oleh Habibie ini dikumpulkan dalam zine. Jauh sebelum Puizine Habibie terbit tentu ada banyak puisi-puisi dalam bentuk zine yang telah terbit dengan cara sederhana bertampilan hitam putih, di print, dan halal untuk dikopi ulang, seperti yang dilakukan oleh Habibie melalui Puizine-nya.
Zine berangkat dari rutinitas sehari-hari, proses editing dan layout sederhana, dan penerbitan lalu pengarsipan. Pengarsip sendiri terkadang luput dilakukan oleh penerbitan besar. Berbeda halnya publikasi alternatif ini sudah sedari awal berangkat dari hal yang intim, yakni kehidupan sehari-hari dan sudah melakukan pengarsipan dimuat melalui folder atau cetakan-cetakan fisik yang diabadikan atau bahkan dipajangkan di perpustakaan-perpustakaan kolektif.
Selain menerbitkan puisi-puisi Habibie, Seng Iseng Zine sendiri sudah juga menerbitkan zine, namun yang Habibie ini agak spesial dikumpulkan dengan khusus.
Proses penerbitan alternatif serta pengarsipan ini bisa kita simak penjelasan dari Fandy Achmad melalui tulisan Praktik Pengarsipan Zine dan Terbitan Mandiri dalam buku Dari Ruang Keseharian Penerbitan Zine dan Pengarsipan (2021) . Fandy mengatakan pengarsipan di ranah alternatif ini dianggap penting dan tidak penting.
Penting karena melalui pengarsipan ini kita bisa melihat hal-hal yang dulu pernah terjadi, dan mencoba belajar darinya, dianggap tidak penting namun mengakibatkan hal-hal keseharian yang ingatan kita lemah karenanya tidak tersimpan dari memori secara baik.
Fandy juga menjelaskan bahwa kerja kearsipan alternatif ini, menjadi kerja-kerja lain untuk menutup lubang sejarah dari narasi besar.
“Arsip menjadi ruang di mana klaim dan akses atas sejarah dinegosiasikan dan disepakati bersama. Kerja arsip dari pengarsipan tersebut merupakan bentuk intervensi politis yang dilakukan oleh masing-masing pelaku pada ranah sosial dan budaya dalam skala nasional maupun lokal,” tulis Fandy.
Singkatnya, Fandy menyebut bahwa arsip mencoba menampilkan narasi kecil di antara narasi-narasi besar, seperti keseharian. Siapa yang peduli dengan hal-hal keseharian? Atau bahkan ketidakpastian?
Di sini, Ahmad Habibie mencoba mengabadikannya, mengarsipkan keseharian melalui puisi di puizine berjudul Ketam.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Pergulatan Karman
RESENSI BUKU: Menjelajahi Keterasingan Manusia dalam Urban Delirium
RESENSI BUKU: Upaya Sia-sia Mengikuti Standar Orang
Ketam dan Hal-hal Sia-sia Lainnya.
Ketam berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa makna di antaranya secara adjektiva terkatup rapat-rapat dan ani-ani;tuai. Secara nomina memiliki arti alat untuk melicinkan kayu; serut. Dan, secara verba memiliki arti potong (kuku), ciut secara berangsur.
Menurut Kuninghitam pada pengantar puizine ini, ketam merupakan tempat di mana Habibie berhenti dari segala kehidupan deritanya yang pernah ia lalui. Bahkan di akhir pengantar tersebut Kuninghitam mengajak untuk menghayati puisi-puisi Habibie dan menikmati penderitaan dunia.
Tapi marilah, kita melihat bagaimana puisi Ketam tersebut, :
“tak kutemukan mati pada ziarah
dalam perjalanan sebentar
yang abadi hanya rekam jejak digital.”
Mungkin benar Ketam adalah tempat di mana pemberhentian kehidupan derita Habibie, tetapi dari Ketam kita ditampilkan bahwa tak bisa mengelak dari takdir bahkan jejak digital. Alih-alih Habibie ingin tiada di massa depan, tetapi takdir di masa lalu tidak bisa ditinggalkan di antaranya adalah dosa, dosa itu di manifeskan olehnya pada jejak digital.
Memang kita tak akan menemuka kematian-kematian pada puisi Habibie, tapi ketidakpastian tak bisa mengelak dari takdir. “aku adalah akhir jaman // yang senang mencari mati //puncak gunung es//dari neraka paling dingin dan terjal//kemari! //temui aku!” (hal 15)
Di puizine ini Habibie, tak berangkat dari masa depan yang begitu jauh, sesuatu yang diandaikan olehnya adalah sesuatu yang dekat. Coba saja perhatikan pada beberapa puisinya.
Di puisi berjudul Syatar misalnya Habibie menggunakan kalimat. “sekarang di sini, di depan berhala.” (hlm 5)
Kalimat-kalimat yang menunjukkan waktu hari ini dan tempat terdekat juga termuat pada beberapa puisinya yang lain seperti di puisi Habibie pada angka-angka. “di kota tempatku tinggal, hidup berubah jadi angka-angka” (hal 6).
Di beberapa puisinya kemudian Habibie tak lepas dari kata tunjuk dan kata tempat yang masih menjelaskan waktu sangat dekat. “di tempatku lahir dan besar.” (hal 8)
“puisi-puisi gagal bunuh diri//kini mereka terbaring sekarat//pada lemari dingin penyimpan mayat//” (hal.9)
“di luar jalanan lengang; aspal matang // orang-orang meningkatkan kewaspadaan// tapi di dalam sekain dingin// suara menjauhi jangkauan telinga.” (hal 12).
Karena baginya “waktu adalah sekarang.” (hal 10). Habibie bukan seorang yang menyebutkan segala perbuatan di masa sekarang ada balasannya, ia seorang sekularis yang menghargai waktu dengan sangat dekat, saking dekatnya hingga terlalu mencintai. Saya curiga bahwa Habibie memang tak begitu memedulikan masa depan, mungkin karena ketidakpastian adalah dirinya sendiri yang berkali-kali terbunuh oleh kegagalan dan ketidakmapanan semua itu terpampang jelas pada puisi I’avenir.
“aku adalah ketidakpastian// sebab masa depan membunuhku//rencana-rencana kepalang gagal// sebelum berhasil kubuka pintu.” (hal 10).
Kesinisan Habibie terhadap waktu ketidakpastian tidak berhenti di situ saja, di puisi 20/70 bahkan tak sekedar mengutuk kematian, namun juga usia. “mungkin nanti kita juga akan seperti itu//menjadi tua dan jelek// duduk di atas tanah//yang akan mengubur kita sendiri//sambil berbual tentang kemenangan//setelah memberi uang kepada anak cucu//” (hal. 11)
Sementara puisi Pesta dalam puizine ini hanya semacam perayaan akhir dari ketidakpastian-kesia-siaan yang menurut Kuninghitam sebagai panti asuhan dari puisi-puisi Habibie yang masih hidup. Selain ketidakpastian, puisi yang berhasil menyindir ketidakmapanan dengan sinis yang terpikal-pikal menurut saya adalah puisi Mati Konyol.
"nasib tersial adalah judi online
Kedua cicilan hutang
dan paling mending adalah tanggal tua
rasa-rasanya memang begitu
berbahagialah mereka anak orang kaya."
Di puisi ini, Habibie lebih tenang daripada puisi-puisi lainnya di puizine ini. Meskipun begitu, Habibie sama dengan Esther Ferrer berhasil membawa persoalan keseharian pada ketidakmungkinan, kenihilan, kesia-siaan. Anda berani mencoba? Maka kutuklah waktu sekarang juga!, bersama Habibie yang bukannya buat pesawat malah nulis puisi.
Informasi Buku :
Judul : Ketam
Penulis : Ahmad Habibie
Gambar Sampul : KNGHTM
Penerbit : Seng Iseng Zine
Tahun Terbit: September 2023.
Jumlah Halaman: 20 halaman.