• Buku
  • RESENSI BUKU: Mengenal Realisme Magis dalam Negeri Kaum Budak

RESENSI BUKU: Mengenal Realisme Magis dalam Negeri Kaum Budak

Negeri Kaum Budak karya Alejo Carpentier membawa pembaca ke dalam perjalanan ambisius dengan perasaan campur aduk dalam pemberontakan Haiti.

Novel Terjemahan Negeri Kaum Budak, karya Alejo Carpentier, terbitan Olongia 2007 (Foto: Jundighifari)

Penulis Jundighifari1 Juni 2025


BandungBergerak.id – "Negeri Kaum Budak" (El reino  de este mundo) karya Alejo Carpentier adalah sebuah novel yang terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol pada tahun 1949, saya membaca versi terjemahan Bahasa Indonesia terbitan Olongia. Novel ini bercerita soal pemberontakan para budak Negro di kota Cap Francais, dekat pantai Utara Santo Domingo –sekarang Haiti.

Diceritakan Ti Noël (tokoh utama) adalah seorang budak dari Lenormand de Mezy.  Ti Noël dengan budak-budak kulit hitam lainnya, dipekerjakan de Mezy di sebuah perkebunan bernama Plaine du Nord. Di sana Ti Noël bersahabat dengan Macandal, seorang budak senior bertubuh kekar –saya membayangkan perawakannya bak petinju Mohammad Ali– dari Macandal lah Ti Noël sering mendapat cerita-cerita heroik tentang raja-raja bangsanya dan membandingkan mereka dengan raja-raja kulit putih bangsa Eropa. Menurut cerita Macandal raja-raja kulit putih hanyalah seorang penakut yang berlagak gagah jika di atas panggung teater, mereka lebih senang mendengar gesekan musik biola daripada dentuman meriam di medan perang, berbeda dengan raja-raja negerinya yang gagah berani berperang di atas kuda dengan pedang terhunus.

Ti Noël sangat percaya terhadap  cerita-cerita memikat Macandal, sehingga budak senior itu menjadi idola baru bagi Ti Noël muda. Namun apesnya, nahas menimpa Macandal, tangannya tergilas mesin penggiling tebu saat bekerja, hingga harus diamputasi. Keadaannya yang bertangan satu mengakibatkan seorang Macandal tak sesigap budak-budak lain, Walhasil de Mezy hanya menugaskannya sebagai penggembala ternak. Pekerjaan barunya itu membuat Macandal banyak merenungkan nasib –budak-budak negro  yang diperlakukan tanpa keadilan, layaknya hewan oleh para tuan kulit putih– sesamanya. Dari sinilah awal kisah pemberontak bermula, Macandal mulai melarikan diri ke sebuah hutan dan bertemu dengan seorang wanita penyihir yang membantunya mendapatkan kesaktian. Dalam pelariannya itu Macandal meracik sebuah racun dahsyat dari tanaman jamur, sementara  Ti Noël yang ditinggal pergi Macandal mulai merasa kehilangan sosok tokoh yang ia puja.

Suatu hari Cap Francais  digegerkan oleh wabah yang tiba-tiba melanda kota, virus mengerikan membuat binatang-binatang ternak mati,  perkebunan gagal panen, bahkan penduduk kota mulai terjangkiti. Orang-orang kulit putih berkesimpulan bahwa wabah dahsyat ini adalah ulah si iblis Macandal. Berkat peristiwa tersebut Macandal pun menjadi buronan para tuan tanah dan pejabat orang kulit putih. Perburuan Macandal tak semudah yang mereka bayangkan, karena setelah pertemuan Macandal dengan Maman Loi si penyihir, ia menjadi sakti mandraguna, diceritakan si Negro tua sebelah tangan itu bisa mengubah wujud menjadi makhluk apa saja, meski akhirnya ia tertangkap dan dibakar hidup-hidup.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Panduan Praktis Para Iblis Politik
RESENSI BUKU: Para Perempuan tak Bersalah di Balik Kisah Kembang-Kembang Genjer
RESENSI BUKU: Merahnya Merah yang Menjengkelkan

Realisme Magis

Cerita memikat yang disuguhkan Sastrawan Kuba ini tak lepas dari karakter sastra Amerika Latin yang kental akan Realisme Magis, di mana mistisisme menjadi realitas kehidupan sehari-hari. Animisme dan dinamisme tak ubahnya seperti penganan wajib dalam budaya mereka. Menurut saya  –jika ingin menjejaki sastra bercorak serupa– novel tipis ini bisa menjadi langkah awal sebelum menikmati tulisan-tulisan Gabo (Gabriel Garcia Marquez) dan penulis-penulis bergenre realisme magis lainnya.

Novel ini membawa pembaca ke dalam perjalanan ambisius dengan perasaan campur aduk melalui tokoh-tokoh kunci yang terlibat dalam setiap pemberontakan. Contohnya ketika Ti Noël tua berhasil melarikan diri dari Santiago de Cuba dan kembali ke tanah lamanya Plaine du Nord, ia terlibat pemberontakan melawan tiran baru bernama  Henri Christophe, yang tak lain adalah raja sesama Negro yang sama-sama berkulit hitam, berbibir tebal, berhidung pesek. Siapa yang tak kecewa jika penindasan serupa yang dilakukan orang-orang kulit putih terhadap bangsa Negro justru dilakukan oleh orang dari bangsanya sendiri. Akhirnya pemberontakan berbuah hasil, si Raja Henri dan para pengikutnya pun bunuh diri.

Di penghujung cerita, dikisahkan Ti Noël mampu berubah-ubah wujud seperti Macandal, ia menjelma menjadi seekor angsa, namun meski dalam perwujudan hewannya itu Ti Noël tetap memikul derita penindasan baru dari bangsa angsa lainnya.

Revolusi Haiti

Secara keseluruhan cerita dalam novel ini adalah mimesis dari sejarah nyata revolusi besar-besaran budak-budak Haiti pada rentang tahun 1791-1804. Revolusi ini melibatkan konflik antara kubu Napoleon Bonaparte dengan Toussaint Louverture. Toussaint adalah pemimpin pertama dari kulit hitam, berasal dari kelompok budak dan menjadi pemimpin revolusi budak di San Domingo. Ia sangat dielu-elukan, karena negeri yang kemudian merdeka secara de facto dan menjadi Negara Haiti tak bisa terlepas dari peran Toussaint. Meski demikian, ia pun sempat mencederai kedudukannya sendiri di mata rakyat Haiti. Sejarah mencatat kisah Tossaint berakhir sebagai pahlawan yang tragis (Tragic Hero) karena patriotismenya sedikit cacat oleh ulahnya sendiri.

Sekitar Tahun 1803 Revolusi Haiti pun akhirnya mencapai masa pencerahan di bawah pimpinan Jean-Jacques Dessalines.

Carpentier sangat piawai menggambarkan sejarah besar ini dengan gaya satire, ia berhasil menunjukkan bagaimana peristiwa-peristiwa monumental membentuk pola sejarah dunia baru. Melalui narasi yang kaya dan detail, Carpentier membawa kita untuk memahami kompleksitas sejarah bukan hanya sebagai rangkaian peristiwa belaka, tetapi sebagai pengalaman yang terus hidup di kepala dan mampu mempengaruhi ingatan kolektif kita.

 

 

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Resensi Buku  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//