RESENSI BUKU: Sepertinya Selama Ini Saya Keliru Memandang Duka
Buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring karya Andreas Kurniawan menyibak duka dari perspektif seorang psikiater dengan bahasa sederhana.
Penulis Awla Rajul13 Juli 2025
BandungBergerak.id - Saya akui, selama ini saya sudah keliru menilai kedukaan dan kerap kali memberi tanggapan yang keliru pula kepada teman yang tengah berduka. Hingga akhirnya saya sendiri yang mengalami kehilangan, melaluinya seorang diri, “dipaksa” menerima, dan harus memaknainya – sebab dengan cara inilah kita mengambil hikmah dari satu kejadian, bukan? Saya harap tulisan ini benar-benar menjadi ulasan buku, alih-alih curhat terpendam yang sulit disampaikan.
Dulu saya kira duka selalu erat kaitannya dengan kematian. Orang berduka adalah yang baru saja ditinggalkan selamanya oleh anggota keluarga ataupun kerabat dekat. Ternyata, kedukaan tidak sesempit itu. Kita juga akan berduka ketika barang favorit hilang, ketika sahabat memutuskan pindah ke kota besar, atau bahkan saat ditinggalkan oleh kekasih. Merujuk KBBI, duka adalah susah hati, sedih hati.
Andreas Kurniawan, seorang psikiater yang suka bercanda dalam bukunya “Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring” menuliskan, definisi KBBI terhadap duka terlalu sederhana untuk suatu hal yang sangat kompleks. Sayangnya, duka memang sekompleks itu sehingga sulit untuk didefinisikan.
“…sebaiknya kita membatasi makna duka dalam hal kehilangan seseorang yang bermakna dalam hidup kita. Kehilangan ini biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan kematian,” tulis Andreas pada bab “Dua Puluh Empat Jam Pertama”, halaman 11.
Dengan definisi itu, saya tervalidasi atas alasan utama meminang buku ini, yaitu kehilangan seseorang yang bermakna, ekhm! Selepas menyelesaikan buku ini, saya pun setuju dengan analogi menjalani duka seperti mencuci piring. Yang paling utama adalah perasaan kehilangan dan segala kenangannya tidak harus buru-buru dilupakan, bahkan saya sepakat untuk tidak dilupakan. Perasaan kehilangan itu mestinya dipindahkan ke suatu tempat.
Kalau kita analogikan hati sebagai piring dan sisa makanan adalah duka, maka, sisa makanan itu perlu dipindahkan ke suatu tempat. Dengan begitu barulah kita bisa mencuci piring agar benda itu bisa digunakan kembali. Kembali pada analogi tadi, maka jika kesedihan, sisa kenangan itu sudah siap kita pindahkan ke suatu tempat, maka mulailah untuk membersihkan hati setelahnya, agar kita bisa “menggunakannya” lagi dan menjalani hidup yang baru. Yup, hidup baru.
“…aku menemukan definisi duka yang cukup mudah dipahami: sebuah periode kita menyadari bahwa sesuatu akan berubah. Dalam periode tersebut, kita akan mengalami banyak perubahan dalam diri… Orang di sekeliling kita berubah, rutinitas berubah, bahkan penghasilan berubah,” tulis Andreas (halaman 11).
Dari buku ini pula saya disadarkan bahwa kita bisa mengalami duka hanya karena kita menaruh cinta yang mendalam. Cinta dan duka adalah dua sisi dari satu koin. Semakin mendalam cinta yang kita taruh, begitu banyak kenangan yang kita goreskan, maka akan semakin dalam dan berat pula duka yang kita alami setelah ditinggalkan. Artinya, jika duka yang dijalani begitu berat, bukankah cintanya juga begitu dalam? Ekhm!
“Duka adalah wajah lain dari cinta, maka kita sadar bahwa tidak mungkin kita berduka tanpa cinta, dan sebaliknya, tidak mungkin kita diberikan cinta tanpa berani menanggung risiko duka,” tulis Andreas dalam bab “Sampai Kapan Kamu Mau Berduka?” (halaman 57-58).
Menghadapi kedukaan akhirnya harus berujung pada penerimaan. Penerimaan yang sayangnya tidak cepat didapatkan, sering kali sulit dan tertatih-tatih ketika dijalani. Dari buku ini saya juga disadarkan lagi bahwa tak perlu menyuruh seseorang untuk buru-buru menerima kedukaan, lantas bisa mengambil hikmahnya.
Sering kali kita menghadapi teman yang tengah berduka dengan menyuruhnya bersabar, terutama menyuruhnya menerima. Tidak ada orang yang senang dipaksa menerima, kalau memang belum siap menerima. Tidak apa-apa meminta bersabar, namun sepertinya akan lebih baik kalau kita juga mau mendengar ceritanya, berempati atas perasaannya. Terkadang, tumpukan cucian piring memang perlu dibiarkan dulu sebelum siap dibersihkan.
Benar, waktu memang akan menyembuhkan. Tapi, tak perlu segera, kan? Toh, tak ada masalah juga jika harus menjalani kesedihan atas duka itu selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sebab, kenangan bersama seseorang yang telah meninggalkan kita akan selalu ada. Orangnya telah pergi dan hanya kenangan itu yang kita miliki. Bukankah kita perlu merayakan kenangan itu, baik dengan kesedihan, tangisan, senyuman, candaan, atau bahkan dengan ritual mengunjungi tempat-tempat yang bermakna?
Pada akhirnya hanya kenangan itu yang kita miliki, itu pula yang menjadi rantai terakhir untuk mengingat bahwa kita pernah hidup bersama, menjalani jatuh-bangun hidup yang sementara ini. Kenangan itu pula yang mestinya menjadi pengingat bahwa kita sudah diberikan waktu untuk terhubung dengan seseorang dan adakala waktunya sudah usai.
Sebab, “suatu hal menjadi indah justru karena keterbatasannya,” tulis Andreas.
Ulasan dan Penilaian Buku
Buku karya Andreas Kurniawan setebal 192 halaman berisi 16 bab ini sepertinya memang pantas laku keras di pasaran dan menjadi rujukan bagi siapa saja, terutama bagi yang tengah mengalami kedukaan. Selain karena bahasanya yang ringan dibaca dan mudah dipahami – ada bagian yang rasanya seperti mendengar cerita secara langsung dan ada bagian yang secara bersamaan seperti diberi ruang untuk bercerita – buku ini memberi pencerahan, memberi perspektif baru, sekaligus sukses membuat saya menangis.
Andreas memberi dua cerita kedukaan yang ia alami, ditinggalkan oleh ayahnya dan putranya. Ajaibnya, Andreas mampu bercerita sekaligus memberikan pelajaran tentang bagaimana baiknya – kalau tidak boleh menyebut mestinya atau idealnya – memaknai kisah-kisahnya itu. Meski konteks dan situasi yang dihadapi setiap orang berbeda, sepertinya buku ini mampu menjangkau siapa saja.
Andreas juga memberikan informasi teknis serta praktis dan istilah di dunia kesehatan dan psikiatri, dilengkapi penjelasan yang mudah dipahami oleh seluruh kalangan. Sayangnya, buku ini juga tak lepas dari kekurangan, seperti, meski sudah dicetak ulang 11 kali, masih ada beberapa kesalahan penulisan (typo).
Saya sangat merekomendasikan buku ini dibaca oleh setiap orang. Setiap orang pada gilirannya akan merasakan duka, bukan? Buku ini boleh diibaratkan sebagai panduan yang bisa kita rujuk untuk menjalani kedukaan.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Perjalanan Spiritual Sang Peziarah dalam Menemukan Jati Diri
RESENSI BUKU: Surga yang Tak Dirindukan 1, Potret Seorang Istri yang Dimadu

Melapangkan Hati dan Merayakan Kenangan dengan Ritual
Tentu ada banyak sekali yang menjadi pelajaran dari buku ini dan memberi perubahan, terutama bagi saya, dalam memandang kedukaan dan menjalaninya. Namun dua hal ini, yaitu terkait melapangkan hati dan merayakan kenangan dengan ritual tertentu agaknya bisa menjadi intisari dari ulasan ini. Setidaknya, semoga dengan menuliskan bagian ini di ulasan bisa membantu saya menjalani proses kesedihan. Dan semoga kalian bisa mengambil manfaatnya.
Saya disadarkan, perasaan kesedihan atas kedukaan – baik ditinggalkan selamanya atau putus cinta - tidak akan pernah berkurang atau bahkan hilang. Jika sebelumnya perasaan sedih itu sebesar bola kasti, maka ia akan selamanya sebesar itu, seiring berjalannya waktu tidak akan mengecil menjadi kelereng.
“Karena duka tidak akan mengecil sepanjang waktu, menurut Acceptance and Commitment Therapy (ACT), yang perlu kita lakukan justru memberi ruang untuk duka tersebut dan memperluas wadah diri kita,” tulis Andreas pada bab Tutorial Menyusun Puzzle (halaman 145).
Artinya, kita perlu menyediakan ruang khusus untuk duka itu dengan segala kenangannya, baik di dalam diri kita maupun di medium lain – kenangan foto atau video misalnya. Kita perlu melanjutkan hidup sambil membawa duka yang sudah ada tempat khususnya di hati kita. Lalu kita perlu memperluas wadah diri kita, melapangkan jiwa dan hati agar tidak sesak “hanya dipenuhi” oleh duka itu.
Itulah mengapa, setelah mengalami kehilangan, sebagian orang, termasuk saya, jadi ingin menjelajah, mengunjungi kota-kota baru, mencoba hobi baru, menghabiskan lebih banyak buku dan film. Itu adalah upaya melapangkan hati. Sayangnya, meski sudah mencoba melapangkan hati dan jiwa, ada pula sebagian orang yang masih terperangkap dengan kesedihannya, dukanya lebih mendominasi. Nah bagian ini, ada baiknya jika kalian baca lebih lanjut langsung dari bukunya, wkwk.
Terakhir adalah merayakan kenangan dengan ritual tertentu. Jika ditinggalkan selamanya oleh orang yang kita cintai, kita pasti punya ritual mengunjungi makam pada waktu-waktu tertentu. Ritual mengunjungi makam ini sudah ada sejak zaman dulu, yang artinya, setiap zaman dan kebudayaan memiliki seperangkat caranya tersendiri untuk merespons dan “merayakan” kedukaan.
Ada dua hal terkait ini yang menggugah saya dan lagi-lagi menyadarkan, bahwa selain mengunjungi makam, ternyata ada ritual yang bisa dilakukan bagi penyintas duka bukan karena ditinggalkan selamanya oleh sosok dicintai, yaitu dengan mengunjungi lagi tempat bermakna dan membuat ritual bermakna yang sebelumnya sering dilakukan bersama.
Awalnya memang sulit untuk mengunjungi tempat-tempat berkesan yang pernah dikunjungi bersama. Tetapi, jika proses penerimaannya sudah selesai, kenapa tidak untuk mengunjungi lagi tempat-tempat itu? Menurut saya ini adalah ide bagus yang sebelum membaca buku ini, jika saya lakukan, rasanya akan aneh, seperti ada yang mengganjal.
“Kita bisa mengunjungi tempat itu dengan tujuan untuk kembali merasa dekat dan mengingat kembali kenangan yang pernah ada. Izinkan dirimu untuk menangis bila perlu,” begitu tulis Andreas. Setelah membaca penggalan ini, saya langsung terbersit merencanakan wisata kenangan suatu saat nanti.
Ritual bermakna, misalnya, bisa dilakukan sesederhana mendengarkan lagu favorit berdua di setiap tanggal hubungan berakhir. Tanggal hubungan berakhir itu, jika merujuk pada Andreas bisa disebut sebagai deathiversary. Sesederhana atau sekompleks apa ritual itu dilakukan, tidak menjadi masalah. Sebab, setiap orang tentu punya ceritanya dan caranya masing-masing.
Awalnya saya kira ini ide yang berlebihan. Tapi setelah saya renungkan, benar kata Andreas, bahwa ketika melakukan ritual bermakna, tujuannya adalah untuk meresapi bahwa “kenangan indah itu pernah ada dan kenangan itu tidak perlu hilang walau orangnya sudah pergi.”
Saya akui, selama ini saya keliru menilai duka. Kini saya melihat duka sebagai fase perubahan dalam hidup – yang mengantarkan pada kehidupan terbaik. Saya perlu menjalani ini sebaik-baiknya.
Informasi Buku
Judul Buku : Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring
Penulis : dr. Andreas Kurniawan, SP. KJ
Genre : Motivation & Self Help
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan ke-11: Maret 2025
Tebal Buku : 192 halaman
ISBN : 978-602-06-7467-4.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB