Sidik Kertapati, Satu dari Sekian Nama yang Dihilangkan
Sidik Kertapati, anggota gerakan bawah tanah Menteng Raya 31 menjadi penggerak rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta 19 September 1945 selepas Proklamasi.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
5 Agustus 2023
BandungBergerak.id – Menjelang kedatangan Jepang, pemerintah kolonial menangkap sejumlah pemuda. Mereka yang terhimpun dalam front anti-fasis di Hindia Belanda. Mereka lantas diseret ke kamp konsentrasi yang terletak di Garut. Di antara nama-nama yang terciduk, Sidik Kertapati merupakan salah satunya. Ia berada di tengah nama-nama lain seperti S.K. Trimurti, Wikana, dll.
Sidik Kertapati lahir 19 April 1920 di Klungkung Selatan, Bali. Jauh sebelum pendudukan Jepang, ia sudah turut merasakan penderitaan kaum papa di bawah penjajahan Hindia Belanda. Barangkali hal itulah yang kelak mendorongnya untuk terjun ke wilayah pergerakan. Ia menentang segala macam bentuk penjajahan.
Seiring perkembangan, Sidik Kertapati kian eksis di ranah pergolakan. Ia muncul lagi ketika berbagai gerakan bawah tanah bersemi di masa pendudukan Jepang. Ia bergabung dalam salah satu dari tiga gerakan bawah tanah yang berkembang di Jakarta. Mereka biasa berkumpul di Jalan Menteng Raya 31.
Di antara mereka terdapat nama-nama seperti Supeno, Aidit, Lukman, Djohar Nur, Asmara Hadi, dan tokoh yang lebih tua, seperti Ir. Sakirman dan Sukardjo Wirjopranoto. Bahkan pemuda lain seperti misalnya B.M. Diah, Adam Malik, dan Anwar Tjokroaminoto – yang saat itu bekerja di kantor berita Jepang Domei, atau pada surat kabar metropolitan Asia Raya – secara intensif menjalin komunikasi dengan para penghuni Menteng Raya 31 ini.
Menurut Benedict Anderson, dalam Revoloesi Pemoeda (2018, hlm. 47), gerakan bawah tanah di sini bukan berarti "pasukan gerilya", atau kelompok sabotase, tetapi lebih kepada jaringan komunikasi yang dijalin sejak awal masa pendudukan Jepang. Dalam relasi dengan orang-orang itulah, Sidik Kertapati tumbuh menjadi pemuda yang tangguh.
Pada 16-18 Mei 1945, ia terlibat dalam Kongres Pemuda di Villa Isola, Bandung. Salah satu resolusi yang disepakati adalah, menuntut Jepang agar Angkatan Muda diberi ruang untuk mengembangkan sayap dan memunculkan diri di semua lapangan, baik sosial, maupun politik.
"Sebab, mereka itoelah jang nanti akan mendjadi pembangoen dan pembela Negara Indonesia Merdeka," demikian keterangan dari Soeara Moeslimin Indonesia, 15 Juni 1945. (2018, hlm. 55)
Sidik Kertapati berada di barisan pemuda yang pada saat ini mulai sering melancarkan oposisi terhadap golongan tua, terutama usai pembentukan "kelompok penghubung politik tak resmi" bernama Angkatan Baru. Kelak, ia juga memainkan peran penting bersama pemuda lain menjelang proklamasi 17 Agustus 1945.
Baca Juga: Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #2
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #3
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #4
Terhimpun di API (Angkatan Pemuda Indonesia)
Selepas Bung Karno dan Bung Hatta membacakan naskah proklamasi 17 Agustus 1945, pekikan “Merdeka!” menggema di jalanan. Nyaris setiap hari. Pada 1 September 1945, sejumlah pemuda di Jakarta mengambil inisiatif. Sidik Kertapati termasuk di dalam barisan itu.
Seiring waktu, mereka mendirikan API (Angkatan Pemuda Indonesia). Markas besarnya, terletak di Asrama Menteng Raya 31. Tujuannya adalah untuk mengoordinasi usaha-usaha dari semua kelompok Pemuda di Ibukota.
Nama-nama seperti Wikana, Chaerul Saleh, Darwis, Aidit, Pardjono, Hanafi, Djohar Nur, dan Chalid Rasjidi, juga terhimpun di dalam kelompok ini.
Sementara pembentukan API diikuti sub-sub organisasi secara simultan. Sidik Kertapati membantu pendirian Barisan Rakyat (BARA). Sebuah organisasi petani. Ia tergabung bersama pemuda seperti Lukman, Naruto Nitimihardjo, dan Sjamsuddin Tjan. Selain itu, Barisan Buruh terbentuk. Kelompok aksi Buruh ini dipimpin Njono dan Pandu Kartawiguna.
"Ketiganya merupakan organisasi resmi yang berada di bawah naungan markas besar Komite van Aksi di Menteng Raya 31," tulis Benedict Anderson (2018, hlm. 133).
Komite Aksi ini kemudian menyiarkan manifesto yang berisi seruan untuk merebut senjata dari pihak Jepang. Dan merebut seluruh perusahaan dari tangan Jepang. Tepat pada 3 September 1945, transportasi seluruh Jakarta berhasil dikuasai.
Pada 19 September 1945, Sidik Kertapati menggerakkan rapat raksasa Ikada bersama Pemuda lainnya. Kelak, mereka menyebar cepat ke kabupaten-kabupaten di sekitar Jakarta. Ia turut mengupayakan agar rapat dihadiri banyak orang. Di sini perbedaan pandangan antara kaum muda dan tua kian terasa. Golongan tua menentang keras. Akan tetapi, Sidik Kertapati bersama Pemuda lain pantang menyerah. Mereka kemudian berhasil meyakinkan golongan tua.
Ketegangan memuncak. Sejak siang, Kenpetai menjaga seluruh jalan masuk ke Ikada. Tank-tank dan senapan mesin disiapkan. Dengan perasaan ragu-ragu bercampur takut, tulis Benedict Anderson (2018, hlm. 139), Sukarno dan Hatta tiba di Ikada. Bersama-sama dengan para anggota kabinet, dan pemuda terkemuka, ia berbicara singkat.
Bung Karno memberi perintah kepada rakyat Indonesia yang berkumpul (diperkirakan Tan Malaka berjumlah 200.000 orang) untuk bubar dengan tenang dan tenteram. Ia memberi jaminan pada seluruh rakyat Indonesia.
"Proklamasi itoe, tetap kita pertahankan, sepatah poen tak kami tjaboet. Tetapi dalam pada itoe, kami soedah menjoesoen rantjangan. Karena itoe, toendoeklah kepada rantjangan kami," demikian penggalan pidato Bung Karno (Antara-Domei, 20 September 1945; 2018, hlm. 139-140).
"Saudara-saudara, perintah kami marilah kita sekarang poelang semoea dengan tenang dan tenteram, tapi tetap dengan siap sedia. Saja toetoep rapat ini dengan salam nasional, Merdeka!"
Namun Jepang tentu tidak tinggal diam. Mereka segera membalas tindakan yang diinisiasi para pemuda. Pada hari berikutnya, 20 September 1945, Menteng Raya 31 digerebek. Pasukan Kenpetai menangkap para penghuninya. Sidik Kertapati salah satunya.
Ia ditahan bersama Darwis, Aidit, Lukman, dan Hanafi. Adam Malik, menyusul tertangkap dua hari kemudian. Semua diseret ke markas Kempetai (di gedung Mako POM Guntur sekarang), lalu dipindahkan ke penjara Bukit Duri.
Meski begitu, keberhasilan menggelar rapat raksasa itu sungguh meningkatkan kepercayaan diri. Harapan juga kian membumbung tinggi. Sidik Kertapati pun berhasil melarikan diri, dan kembali ke barisan bersama tokoh-tokoh API lainnya yang terus menggalang perlawanan.
Memilih Angkat Senjata
Paska kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sidik Kertapati bersama barisan pemuda Indonesia lainnya kian bergerak maju. Mereka berupaya menyelamatkan revolusi serta membela republik dengan membentuk Laskar Rakjat Djakarta Raja (LRDR).
"Mereka tumbuh dari berbagai kelompok Pemuda Bersenjata yang dipaksa keluar dari Jakarta oleh kekuatan Sekutu, dan yang untuk sementara menguasai dataran rendah di pesisir antara Bekasi hingga Cirebon," tulis Benedict Anderson (2018, hlm. 311).
Para pemuda yang tergabung dalam Laskar Rakjat Djakarta Raja (LRDR) ini kemudian memusatkan aktivitas mereka di sekitaran Karawang. Robert Bridson Cribb dalam Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 (1990, hlm. 78) menyebutkan, LRDR menonjol dalam kesadaran akan orientasi politik.
Meskipun dipimpin Sutan Akbar dan R.F. Ma'riful, namun kebijakan organisasi ini sebetulnya berada di tangan dewan politik. Sidik Kertapati salah satunya. Bersama Chaerul Shaleh, Armunanto, Djohar Nur, Achmad Astrawinata, Samsir Mohamad, ia terlibat dalam upaya perumusan garis tanpa kompromi melawan pemerintah kolonial.
LRDR juga memanfaatkan teknologi untuk keperluan organisasi. Pemancar RRI (Radio Republik Indonesia) di Purwakarta, digunakan untuk menyiarkan program-program mereka. LRDR kemudian menerbitkan surat kabar Godam Djelata. Sidik Kertapati sendiri yang menjadi editornya. Kelak, beberapa tulisan sastrawan Siti Rukiah yang di kemudian hari menjadi istrinya, juga kerap muncul di Godam Djelata.
Bersama Sjamsuddin Tjan, Sidik Kertapati kemudian menjalankan tugas dalam bidang pendidikan politik. Sebagai upaya lanjutan mereka berdua sejak dalam Barisan Rakyat (BARA). Tugas lain yang diemban Sidik Kertapati adalah menjalankan koordinasi antar pasukan (1990, hlm. 79).
Sembari memeluk teguh garis politiknya, Sidik Kertapati bersama kelompok LRDR lain juga kian memandang upaya diplomatik dengan nada penuh kecaman. Pada tanggal 26 September 1946, ketika Indonesia-Belanda sedang merundingkan gencatan senjata, LRDR menyerang tangsi Belanda di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, yang terletak di garis demarkasi.
Pada 22-24 November 1946, seminggu setelah persetujuan Linggarjati ditandatangani, LRDR menggelar Kongres di Karawang. Sejumlah organisasi Laskar lain di Jawa Barat ikut terlibat. Kongres itu mengutuk sekeras-kerasnya hasil persetujuan Linggarjati.
Dan putusan kongres itu juga menghasilkan kesepakatan terbentuknya Laskar Rakjat Djawa Barat (LRDB). Sebagai suatu federasi dari satuan-satuan Laskar di Cirebon, Sukabumi, Banten, Karawang, Purwokerto, Tegal, dan Bogor.
Sidik Kertapati terpilih memimpin Laskar Rakjat Djawa Barat ini. Sebagai wakilnya, dipilih Achmad Astrawinata – mantan pemimpin API Bandung. Maulana dan Armunanto, masing-masing ditunjuk sebagai sekretaris dan kepala bagian politik.
"Federasi baru itu bermarkas di Cirebon, dan mencatat sukses besar dalam mempererat kerja sama antara satuan-satuan yang dominan dari Karawang dan Cirebon," tulis Robert Bridson Cribb (1990, hlm. 128). "Mereka berakar kuat di daerah perdesaan setempat. Antara lain, akibat ditunjang sistem pertahanan desa."
Selain itu, Sidik Kertapati juga merumuskan strategi publikasi yang cemerlang. LRDB menerbitkan surat kabar Genderang. Menurut Robert Bridson Cribb (1990, hlm. 129), pada akhirnya sikap oposan mereka tak bisa mengelakkan dari sejumlah konflik terbuka dengan tentara. Dan benar saja. Kelak, mereka terlibat pertempuran.
Benedict Anderson (2018, hlm. 311) mencatat, bahwa dalam kurun waktu 1946-1947, Nasution berhasil melucuti dan melikuidasi sebagian besar dari apa yang dinamakan Laskar Rakjat Djawa Barat.
Demikian perjalanan Sidik Kertapati. Ia memilih bergabung di barisan bersenjata. Buntut dari penentangan terhadap hasil persetujuan Linggarjati, dan kelak mereka menolak hijrah ke Yogyakarta, Sidik Kertapati harus rela terkena peluru saat gerilya. Peluru itulah yang hingga akhir hayat tetap bermukim di tubuhnya.
Pengalaman Sidik Kertapati di fase ini kelak dibukukan dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebuah karya yang sudah tiga kali dicetak. Ironisnya, selama masa rezim Orba (1967-1998) buku penting ini dilarang terbit. Banyak pihak menyesalkan tragedi pelarangan ini. Padahal, Benedict Anderson (2018, hlm. 53) sempat berkata:
“Secara umum uraian Sidik mengenai gerakan bawah tanah itu adalah yang terlengkap dan memuaskan di antara buku-buku berbahasa Indonesia lainnya.”
Mendirikan SAKTI
”Apa yang mau dikerjakan sekarang? Kita, kan, sudah tersisih. Sepertinya tidak ada lagi tempat untuk kita di Republik ini.” Sebuah tanya bernada pesimistis itu meluncur dari Samsir Mohamad pada Sidik Kertapati.
Mereka berdua merupakan pemuda penentang diplomasi. Kelak, sebagian dari mereka memutuskan untuk bersekolah ke luar negeri. Sidik Kertapati, dan kawan lainnya – termasuk Samsir Mohamad – memilih untuk bergiat di organisasi tani. Hal ini terutama usai mereka menerima bahan bacaan dari Muhamad Yamin.
Semua tak lama selepas pengakuan kedaulatan Indonesia. Ia mendirikan Serikat Organisasi Tani Indonesia (kelak dikenal dengan nama SAKTI). Berbeda dengan BTI yang mengupayakan nasionalisasi tanah, SAKTI memiliki program tanah untuk petani.
Pada 1952, Sidik Kertapati menikah dengan Siti Rukiah. Dari pernikahannya, mereka memiliki enam anak. Pada fase ini, aktivitas yang ditekuni Sidik Kertapati kian menunjukkan hasil. Ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Independen.
Memasuki 1953, terjadi satu peristiwa berdarah di Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Putusan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang sebelumnya ditentang Sidik Kertapati dan kawan-kawannya, kini terbukti menelan korban.
Deli Planters Veereniging, sebuah perhimpunan pemodal tembakau, hendak kembali menguasai lahan yang dulu bisa dinikmatinya. Namun upaya mereka dihadang para petani penggarap. Petani melakukan pembangkangan. Mereka melawan.
Sebanyak 21 orang menjadi korban. Sebagian petani penggarap tertembak. Bahkan enam di antaranya tewas. Peristiwa itu mendapat sorotan dari media maupun parlemen. PKI, selaku oposisi, mencela Mohamad Roem.
Pada saat itu Mohamad Roem menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia disentil PKI dengan sindiran “Mohamad Roem Traktor Maut”. Agam Wispi, seorang penyair kiri, secara jitu menggambarkan peristiwa ini dalam sebuah sajak berjudul "Matinja Seorang Petani".
Sementara Sidik Kertapati, selaku pimpinan Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) mengajukan mosi tidak percaya. Ia mendapat dukungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Dan akhirnya kabinet Wilopo ambruk. Ia lantas menyerahkan mandat pada Bung Karno.
Pada bulan Maret 1954, Aidit memberi laporan Comite Central bertajuk Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia. Di dalamnya tercatat PKI memberi penekanan pada upaya melakukan perluasan keanggotaan.
Mereka berupaya menarik lebih banyak kaum tani ke dalam barisan Partai -terutama kaum tani miskin dan tani tak bertanah. Inilah yang menurutnya, garis politik yang tepat. Dan tak lama setelahnya, fusi antara SAKTI dan BTI pun segera terealisasi. Namanya tetap BTI. Dan Sidik Kertapati mengisi posisi Wakil Ketua.
Petaka 1965
Petaka datang usai peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Peristiwa ini telah merenggut segala yang ada padanya. Kehidupan yang dialami Sidik Kertapati menjadi tragis. Seketika nasib keluarganya pun berubah drastis.
Ia dianggap berdosa lantaran aktivitas politiknya saat memperjuangkan kepentingan kaum tani. Ia terpaksa meninggalkan anak dan istrinya, Siti Rukiah – yang juga turut merasakan penderitaan kekejaman rezim fasis.
Sidik Kertapati terpaksa harus menjalani kehidupan sebagai seorang eksil. Pada mulanya, keberadaan Sidik Kertapati tidak diketahui keluarga. Sementara Siti Rukiah, dipenjara selama dua tahun di Kompleks Corps Polisi Militer (CPM) Purwakarta.
“Yang dipikirkan Ibu saya hanya urusan survival, karena kami sudah tak punya apa-apa lagi,” ucap Windu Pratama, anak kelima Sidik Kertapati dan Siti Rukiah (Majalah Tempo 19 Mei 2021, hlm. 41). “Kami tak pernah bertanya apa yang terjadi. Kami lalui saja.”
Keluarga ini pun terus dipantau oleh aparat setempat. Hingga akhirnya kabar baik itu tiba di tahun 1985. Sidik Kertapati diam-diam menghubungi keluarganya. Dan ia meminta Windu Pratama untuk menemuinya di Cina. Keduanya lalu bertemu usai melewati serangkaian prosedur yang rumit.
Nahas, kesempatan untuk bertemu Sidik Kertapati tak datang pada istrinya, Siti Rukiah. Ia tak pernah menemui suaminya kembali. Siti Rukiah meninggal pada tahun 1996. Sementara Sidik Kertapati baru bisa pulang kembali ke tanah air di tahun 2002, saat Abdurrahman Wahid (Gusdur) menjadi Pemimpin Negeri ini.
Sidik Kertapati meninggalkan dunia di usia 87. Tepat pada tanggal 12 Agustus 2007. Ia dimakamkan di Jakarta, dengan status Warga Negara Belanda. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi rekan seperjuangan yang masih tersisa.
Umar Said (Jurnalis Eksil di Prancis), Francisca Casparina Panggidaej (Jurnalis, yang juga nenek aktor kenamaan Reza Rahadian), Trikoyo Ramidjo (pengelola majalah Bintang Merah – eks tapol), dan Ibrahim Isa (Eksil) turut memberikan semacam “obituari” atas meninggalnya Sidik Kertapati.
Sementara Samsir Mohamad, selaku sahabat, menuliskan sajak berjudul "Untuk Sidik Kertapati: Sahabat Seperjuangan", yang ditulis pada 2 Juli 2007:
Akhirnya sampai juga/di ujung perjalanan ini/dan usailah segala beban/kenyerian di tubuh dan di hati/yang berpuluh tahun mendera.
peluru negerimu sendiri/negeri yang kaubela dan hormati/begitu lama,/ begitu lama,/bersarang di pinggangmu/nyaris membuatmu layu.
tetapi walau di kursi roda/sesekali kaubangkit/berdiri tegak dan melangkah/kukuh bagai nyiur yang tak kenal tumbang/lembut bagai semilir angin pagi/yang tebarkan kehidupan.
di jantungku/kau hadir dan terukir/kutangiskan air mata duka dan suka cita/dilambari rasa hormat/untuk apa yang telah kau lakukan/bagi bangsa dan tanah air/serta/untuk sebuah kehendak yang mulia/bagi kehidupan umat manusia.