Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #2
Samsir Mohamad berhenti jadi tentara. Ia mendirikan SAKTI, terpilih sebagai wakil rakyat usulan PKI, menjadi anggota MPRS, dan terlibat dalam Majelis Konstituante.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
17 Juli 2023
BandungBergerak.id – “Berabad-abad/tidurnya lelap/berbagai penyerbuan dan perampasan/dan raja berganti-ganti/sampai perang dunia dua kali/belum juga membangunkannya/entah kapan/akan siuman dan bangun/menanggalkan daki ketakhayulan/yang menghampakan/entah kapan/akan mengganti kemenyan/dengan kesadaran/mengiringi doa dan perbuatan//hooooiiiiii..para muda/yang empunya gelora/apakah itu/dibiarkan saja,/jika begitu/bukankah itu segumpal dosa?” (Samsir Mohamad, “Belum Siuman”, dalam Angin Burangrang, Ultimus (2007), hlm. 45-46)
Dalam tulisan yang lalu, telah dipaparkan mengenai perjalanan Samsir Mohamad sedari kecil hingga tumbuh menjadi prajurit. Ia bertahan. Sekurang-kurangnya hingga tanggal 27 Desember 1949, saat Belanda menyerahkan kedaulatan atas Republik Indonesia Serikat (RIS)– yang kelak, hanya mampu bertahan dalam tempo singkat.
Tepat di titik ini, Samsir Mohamad masih tercatat sebagai seorang prajurit TNI dari divisi bambu runcing. Suatu hari menjelang penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949, terjadi satu percakapan serius antara Samsir Mohamad dengan sahabatnya, Chaerul Saleh.
“Aku maunya jadi TNI, bukan tentara RIS,” ucap Samsir kepada Chaerul Saleh, sebagaimana tercatat dalam Petani Tua di Lereng Burangrang (2007).
Kala itu, ia bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam eks-laskar disarankan berfusi dengan tentara RIS . Terutama merujuk pada salah satu putusan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 2 Desember 1949, saat Indonesia menyepakati pembentukan RIS.
“Banyak orang Indonesia menganggap rencana-rencana (KMB) tersebut sebagai pembatasan yang tidak adil terhadap kedaulatan Indonesia,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 487-488).
Samsir Mohamad termasuk di dalamnya. Ia berada di barisan yang menilai bahwa hasil KMB itu merupakan wujud ketidakadilan. Meski pada hakikatnya, tulis Robert Bridson Cribb dalam Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 (1990, hlm. 60), “Kedua pihak yang bertentangan, yang memilih perjuangan bersenjata dan diplomasi, sebetulnya saling melengkapi: diplomasi bergantung pada dukungan perjuangan, sedangkan perjuangan hanya bisa berhasil apabila membuahkan pengakuan diplomatik.”
Tetapi, Samsir betul-betul kecewa atas kenyataan yang ada. Terutama atas berbagai jaminan yang diberikan kepada investasi-investasi Belanda di Indonesia. Dan kelak, disepakati bahwa akan diadakan konsultasi-konsultasi mengenai beberapa masalah keuangan.
“Berkat legitimasi KMB kekuatan modal asing menemukan jalannya kembali,” ucap Samsir, sebagaimana tercatat dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 196). “Tentu saja hal ini mengecewakan saya.”
Baca Juga: Yang Senyap di Dago Pakar
Hikayat Kios Samsudin
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1
Bertemu Mohamad Yamin
Seiring waktu, kekecewaannya kian menumpuk. Berangkat dari situ, ia dan beberapa kawan-kawan seperjuangan berinisiatif pergi ke Jakarta menemui Mohamad Yamin – seorang tokoh yang menjadi penasihat delegasi Indonesia saat KMB di Den Haag Belanda.
Tetapi, kali ini para eks-laskar datang ke rumah Mohamad Yamin tidak berniat untuk menggugat keputusan pemerintah, sebagaimana yang kerap dilakukan mereka di tahun-tahun sebelumnya. Para “oposan” ini mendatangi Yamin hanya sekadar ingin mengetahui situasi politik mutakhir. Dan menimbang pandangan Yamin, selaku pihak yang berada di dalam kekuasaan, terkait bagaimana langkah yang akan diambil.
“Kebetulan juga di rumah Yamin tinggal kawan kami, Johar Nur, yang waktu itu sedang sakit,” kata Samsir. Ia merupakan rekan seperjuangan Samsir Mohamad. Pada 1 September 1945, keduanya berada di dalam barisan yang membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia).
Dan mereka (Samsir, Johar Nur, dan anggota API lainnya) menerbitkan sebuah surat kabar gelap di tanggal 29 September 1945, yang bernama Berita Indonesia. Sebuah upaya yang ditujukan guna memperkuat kesadaran masyarakat akan otonomi kebudayaan beserta intelektualnya.
“Mereka pula yang kelak segera mengeluarkan manifesto untuk menyerukan pemuda merebut senjata, kantor, dan perusahaan milik Jepang. Dan memelopori tindakan sabotase pada sistem kereta api dan trem,” tulis Robert Bridson Cribb dalam Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 (1990, hlm. 47).
Singkat cerita, rupanya Mohamad Yamin menyimpan begitu banyak buku di kediamannya. Dalam ingatan Samsir, jika saja buku-buku itu ditumpuk, barangkali tingginya ada di kisaran satu setengah meter. Buku-buku itu disimpan dalam peti-peti besar.
Konon selama menjadi delegasi di Belanda, Mohamad Yamin menyempatkan diri untuk membeli banyak sekali buku. Ia memberikan penawaran pada Samsir beserta kawan-kawannya yang singgah.
“Kalau mau itu buku, buka, dan baca saja sama kamu,” ujar Yamin, kemudian ditirukan ulang oleh Samsir, yang segera menanggapi tawaran tersebut.
Mayoritas buku-buku yang dibeli oleh Yamin berisi mengenai persoalan petani. Dalam pengamatan Samsir saat itu, terlihat buku Peasant War, perang tani di Jerman, perang tani di Afrika Selatan, dan tentang masalah petani di Tiongkok.
“Pada masa gerilya, buku-buku seperti itu sebenarnya sudah sempat kami baca,” ungkap Samsir. “Tapi baru sekilas.”
Situasi perang pada tahun-tahun sebelumnya sangat tidak memungkinkan Samsir bersama kawan-kawan untuk mengkaji buku-buku menyoal petani itu secara rinci. Lagi pula buku-buku tersebut juga tidak diketahui nasibnya. Baru setelah bertemu dengan Mohamad Yamin, buku-buku yang dulu sempat dibaca sekilas, akhirnya betul-betul bisa dipelajari.
Bersama Sidik Kertapati, Samsir lantas berdiskusi sengit mengenai langkah yang akan dilakukan ke depan. Dan diputuskanlah untuk mendirikan organisasi tani. Dengan pertimbangan bahwa strategi ini penting untuk menegakkan kedaulatan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.
“Dalam kasus Indonesia, menurut saya, titik temu dari semua itu adalah masalah-masalah petani,” tutur Samsir.
Di Indonesia, bukan kebetulan jika petani memang paling banyak jumlahnya, bisa mencapai 80% dari jumlah penduduk. Menurut pandangan Samsir, andai masalah petani dapat dipecahkan dengan baik, maka akan terjawab pula persoalan seluruh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1951, disepakati satu organisasi tani yang bernama Serikat Kaum Tani Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama singkatan SAKTI.
Membangun SAKTI
Dalam analisanya bersama Sidik Kertapati, Samsir menyimpulkan bahwa pada masa gerilya memerangi kolonial, yang paling rentan menjadi korban adalah kelompok petani. Pada saat berlangsung perang kemerdekaan, sawah-ladang berubah menjadi medan pertempuran. Lebih dari itu, para petani juga yang menjadi korban dari perang tersebut. Disadari atau tidak, mereka turut mempertaruhkan nyawa.
“Tapi jangan remehkan,” ucap Samsir, sebagaimana tercatat dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 198-199). “Ini merupakan bentuk kesadaran dari kaum tani Indonesia.”
Menurut penjelasannya lebih lanjut, mayoritas kaum tani Indonesia saat itu menyadari upaya perubahan yang harus dilakukan. Mereka mendukung perlawanan terhadap kolonialisme. Dukungan kaum tani Indonesia saat itu diwujudkan dalam berbagai macam cara. Di antaranya, memberi bekal makanan berupa nasi bungkus dan air minum pada kalangan bersenjata yang melakukan gerilya.
Berdasarkan bahan-bahan bacaan yang didapatnya dari Mohamad Yamin — serta bertolak dari berbagai pengalaman di lapangan, Samsir kian memfokuskan diri di dalam dunia tani. SAKTI pun mulai menyusun anggaran dasar dan rencana-rencana kerja organisasi.
“Program kita berbeda dengan organisasi masyarakat (ormas) taninya PKI , yaitu Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Rukun Tani Indonesia (RTI). Mereka jelas berorientasi ke PKI,” ucap Samsir.
BTI memiliki program nasionalisasi tanah. Ini jelas berbeda dengan SAKTI. Saat itu, mereka memiliki program tanah untuk kaum tani. Ia mengaku banyak belajar dari bahan bacaan yang didapat dari Yamin, menyoal kondisi petani Tiongkok, Afrika Selatan, dan lain-lain bahwa petani tidak boleh dipisahkan dari tanah.
Beberapa kawan seperjuangan pada saat era revolusi kemerdekaan pun kemudian disambangi Samsir. Mereka melakukan konsolidasi, dan mulai berupaya memperluas pengaruh SAKTI. Tak luput pula mereka mendiskusikan permasalahan petani di berbagai daerah Indonesia.
Kesimpulannya, seseorang tidak bisa dikatakan sebagai petani jika ia tidak menggarap sebidang tanah. Sementara sejak era feodal, tanah petani Indonesia sudah terkonsentrasi pada segelintir orang. Mereka itulah yang dikenal dengan kaum bangsawan.
Situasi ini sudah dicanangkan sejak era kolonial melalui regulasi agrarische wet tahun 1870, yang menjadi asas dari domein verklaring. Kala itu, tanah yang tak bisa dibuktikan kepemilikannya dianggap milik negara. Dan mereka mempunyai hak menjadikannya sebagai objek transaksi dengan para pemodal yang membutuhkan tanah untuk investasi.
Maka itu program SAKTI dari sejak berdiri adalah tanah untuk kaum tani. Sebab, ada sejumlah orang yang memiliki hak istimewa dari sistem kolonial: hak erfpacht (yang sekarang menjadi Hak Guna Usaha) atas nama perusahaan perkebunan milik Belanda. Padahal tanah-tanah tersebut sudah ditinggalkan pemiliknya dan terlantar sejak era fasisme (Jepang), bahkan sebagian rusak akibat perang.
Tepat di sini, menurut Samsir, diperlukan upaya agar tanah-tanah itu dikonversi menjadi tanah milik dan digarap oleh kaum tani Indonesia. Terlebih lagi, pada waktu ini, yang harus digarisbawahi adalah kenyataan bahwa Indonesia sudah merdeka sehingga warga negaranya berhak memiliki dan mengelola tanahnya sendiri.
Jika sebelumnya pemerintah kolonial – dengan merekayasa peraturan-peraturan yang ada – kerap berupaya melakukan perampasan tanah-tanah rakyat. Pada titik ini, tentu saja sudah tidak bisa lagi. Ini pula yang kelak membedakan program SAKTI dengan organisasi tani lainnya seperti BTI, yang sebagaimana disebut di muka, dari awal merupakan organisasi yang berafiliasi ke PKI.
SAKTI ini juga berbeda dengan RTI yang seperti juga BTI, memiliki afiliasi ke PKI. Saat itu program politik dari kedua organisasi tersebut cenderung mengarah pada nasionalisasi tanah dengan tujuan memberikan hak kepemilikan pada tangan organisasi atau negara dengan sistem pengolahan tanah yang terpusat.
“Dan tentu saja, ini berbeda dengan penataan struktur agraria yang berangkat dari petani itu sendiri,” ungkap Samsir, sebagaimana tercatat dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 203).
Menumpang di Tempat Walikota
Dalam perjalanannya, para penggagas organisasi mulai menghadapi permasalahan yang sifatnya teknis. Misalnya, diperlukannya tempat berhimpun untuk merumuskan pikiran, kurangnya alat-alat, mesin ketik, dan lain-lainnya. Suatu hal yang, tentu saja penting untuk menopang pekerjaan mereka.
“Mengingat banyaknya keterbatasan kami, kami berpikir untuk mendatangi seorang senior yang bernama Tabrani Notosudirjo,” ucap Samsir, sebagaimana tercatat dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 199).
Tabrani dari Partai Murba. Baginya, Tabrani adalah salah satu tokoh pergerakan yang memiliki pandangan serupa dengan cita-cita kalangan laskar. Dan kebetulan saja saat itu Tabrani menjabat Wakil Wali Kota di Jakarta. Sebagai seorang wakil wali kota, tentu rumahnya mumpuni, dan fasilitas yang dimilikinya cukup memadai.
“Kami pun nebeng berkantor di sana,” imbuh Samsir.
Sementara untuk melancarkan proses pendirian dan perlengkapan organisasi, disusunlah pimpinan pengurus SAKTI. Dalam rangka memberi penghormatan, Tabrani Notosudirjo diangkat menjadi Ketua Umum. Sidik Kertapati didapuk sebagai Wakil Ketua, dan Samsir Mohamad sebagai Sekretaris Umum.
Ada pun Pengurus Pusat lainnya, tercatat nama-nama seperti Burhan, Sasongko, Salam, dan Zainal Simbangan. Dengan menggunakan fasilitas yang diperoleh dari Tabrani, pengurus inti SAKTI mulai membangun organisasi hingga di tingkat daerah. Tentu saja, pembangunan organisasi di daerah tidak bisa dilakukan dalam tempo singkat mengingat keterbatasan yang dihadapi organisasi SAKTI.
Namun berbagai cara telah ditempuh Samsir beserta para punggawa SAKTI lainnya. Mereka rutin melakukan serangkaian diskusi untuk memecahkan soal dan kebutuhan-kebutuhan yang ada di daerah. “Dan kemampuan yang kami miliki ‘dikawinkan’ dengan apa yang dikehendaki masyarakat,” ungkap Samsir.
Untuk menopang keterbatasan itu pula, Samsir mengetengahkan perlunya bertindak dengan menggunakan logika. Berpikir “lurus dan benar”. Ini merupakan dua buah kata yang kerap digunakannya. Dan ia juga acapkali menggaungkan aturan berpikir secara dialektika.
“Kita perlu berpikir dengan bertolak dari pembacaan kita atas proses dan dinamika, dan bagaimana semua itu didialogkan,” pungkasnya. “Kalau kita tidak memakai cara berpikir yang demikian, maka dalam proses berpikir, kita bisa ke mana-mana.”
Kian Aktif Bersama SAKTI
Melalui berbagai kegiatan, Samsir kian sibuk dalam upaya memperjuangkan kepentingan kaum tani. Ia merancang strategi untuk mencegah kemungkinan terjadinya kesalahan dalam berorganisasi. Ia enggan mendapati situasi yang merugikan kelompok tani. Dalam hal ini, ia tidak mau secara sosial-ekonomi para pengurus organisasi SAKTI naik ke atas, sementara petaninya malah tetap berada di bawah.
“Mencegah kemungkinan demikian, yang kita harapkan saat itu adalah bahwa gerakan-gerakan itu datangnya dari kaum tani sendiri, dan dikerjakan bersama-sama dengan petani,” ucap Samsir. “Ini konsep dasar kami dalam membangun SAKTI.”
Ada beberapa daerah yang kemudian menjadi sasaran untuk pengembangan organisasi SAKTI. Sebagian kawan-kawannya bergerak ke wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Utara. Samsir sendiri lebih banyak mengembangkan eksistensi SAKTI di wilayah Priangan. Sebuah daerah yang sangat ia pahami betul. Sebab, di wilayah inilah Samsir melakukan gerilya saat menjadi tentara.
Dalam amatannya, pengembangan organisasi saat itu dilakukan dengan proses kesadaran yang tinggi. Uniknya tidak ada pembicaraan khusus mengenai pendanaan bagi mereka yang harus pergi ke daerah-daerah. Tapi, toh, semuanya bisa berjalan dengan lancar.
“Malah Tom Anwar dan Sakti Alamsyah bisa naik KPM, kapal Belanda, ke Medan. Ternyata kapal itu melancong dulu ke Singapura, baru melanjutkan perjalanan ke Jakarta,” aku Samsir.
Perlahan namun pasti, SAKTI mulai berkembang hingga ke Sumatera Utara, Lampung, dan sebagian Sulawesi. Pelaksanaan program tanah untuk kaum tani semakin gencar dilakukan hingga meletusnya peristiwa Tanjung Morawa pada 16 Maret 1953. Sebuah peristiwa yang direkam dengan baik oleh Agam Wispi dalam puisi berjudul “Matinja Seorang Petani”.
“Depan kantor tuan bupati/tersungkur seorang petani/karena tanah/karena tanah,/ Dalam kantor barisan tani/silapar marah/karena darah/karena darah,/ Tanah dan darah/memutar sedjarah/dari sini njala api/dari sini njala abadi,” demikian penggalan bait puisi Agam Wispi (1954).
Pada saat itu, Deli Planters Vereeniging (DPV), sebuah perhimpunan pengusaha perkebunan tembakau yang dibentuk 1879, hendak menguasai kembali sesuai hasil keputusan yang dihasilkan dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, upaya mereka kemudian dihadang para petani menggarap. Dan tindakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik lahan di Sinembah Tanjung Morawa ini sulit mencapai kemajuan.
Serikat-serikat tani yang ada mendesak untuk segera dilakukannya upaya penyelesaian. Ini merupakan konflik perebutan penguasaan sumber agraria. Sebagai pantulan dari busuknya sistem kolonial.
“PKI bergerak aktif di kalangan petani tersebut. Dan mereka bersekutu dengan PNI di dalam parlemen guna menuntut agar kabinet (Wilopo) mengundurkan diri,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 512). “Buntut dari peristiwa ini adalah jatuhnya banyak korban, baik dari pihak petani maupun dari pihak aparat kepolisian.”
Awalnya petani yang tewas ini diklaim sebagai anggota BTI. Tetapi belakangan diketahui –sebagaimana koreksi dari Samsir dan kelak diakui oleh PKI – bahwa petani itu adalah anggota SAKTI bernama Soedarmo.
“Sebagai Sekretaris Umum SAKTI, saya mendapat mandat dari organisasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” kata Samsir.
Pada akhirnya program “tanah untuk penggarap” ini kemudian mendorong SAKTI kian berkembang ke berbagai daerah di Indonesia. Tahun 1953, SAKTI mengadakan suatu konferensi nasional petani. Dalam konferensi tersebut Tabrani sebagai Ketua Umum diganti, terlebih karena ia telah menginjak usia senja sehingga dirasa perlu ada regenerasi dalam organisasi.
Maka diangkatlah Sidik Kertapati menjadi Ketua Umum SAKTI.
Menjadi Anggota MPRS
Menjelang pertengahan tahun 50an, eksistensi sejumlah organisasi rakyat kian mendapat tempat dalam dinamika kehidupan sosial-politik di Indonesia. Bersama Armunanto, Astra, dan sejumlah eks-API lainnya, Samsir melangkahkan kakinya untuk maju sebagai wakil rakyat. Ia diusung PKI sebagai calon non-partai pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955.
Di luar dugaan, Samsir ternyata terpilih. Ia lantas menjadi wakil rakyat dari PKI. Berangkat dari sini aktivitas politik Samsir terus berkembang. Ia merasa semakin memiliki peran di pemerintahan, sehingga akhirnya terpilih menjadi salah satu anggota MUPENAS (Musyawarah Perancangan Pembangunan Nasional).
Selain itu Samsir Mohamad juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia didorong oleh Chaerul Saleh. Kelak, saat pelantikan MUPENAS, Sukarno memberi ucapan selamat kepada para peserta, termasuk Samsir.
“Dia tidak bilang apa-apa pada saya, wong dia Presiden,” ucapnya. “Saya juga hanya bilang ‘ya’. Subandrio juga memberi ucapan selamat. Selanjutnya Dr. Johannes Leimena memberi ucapan selamat. Terakhir datang Chaerul Saleh. Dia tidak memberi ucapan selamat, tetapi mengatakan, “Terima kasih, ya, atas bergabungnya.”
Tentu saja ucapan “terkesan formal padahal bukan” dari seorang sahabat itu dibalas dengan ungkapan khas mereka: “Taik lu!”
Ucapan ini membuat kaget sejumlah orang yang ada di sekitar, bahkan Presiden Sukarno pun turut mendengar. Ia menengok pada Samsir Mohamad.
Didapuk jadi Sekretaris Umum BTI
Saat itu serikat tani kian berkembang secara meluas. Terlebih usai Pemilu 1955. Sebuah kontestasi politik yang turut melahirkan kader-kader dari kaum tani. Dalam pengakuan Samsir, sebetulnya ada beberapa upaya untuk menyatukan berbagai kekuatan tani nasional. Hanya saja, proses menuju ke arah sana kerap kali mengalami kegagalan.
“Memang tidak mudah menyatukan organisasi tani yang besar, yang sama-sama memiliki basis pendukung yang kuat,” tandas Samsir, sebagaimana disitat dari Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 206).
Sementara perkembangan PKI turut mencapai kemajuan pesat. Jumlah organisasi Pemuda Rakyat –kelompok pengganti Pesindo yang juga berafiliasi dengan PKI meningkat tiga kali lipat, dari 202.605 pada bulan Juli 1954 menjadi 616.605 orang pada akhir tahun 1955. Menurut MC Ricklefs (2009, hlm. 517), sebanyak 80% anggotanya adalah para pemuda tani dan sebagian besar berada di Jawa.
Oplah surat kabar Harian Rakyat, yang dimiliki PKI, juga kian meningkat. Nyaris serupa dengan Pemuda Rakyat, meningkat lebih dari tiga kali lipat. Antara bulan Februari 1954 (15.000 eksemplar) dan Januari 1956 (55.000 eksemplar). Dan pada kurun waktu ini, oplahnya menjadi yang terbesar di antara surat kabar mana pun yang berafiliasi pada partai.
BTI sendiri, setelah melakukan fusi dengan RTI tahun 1953, kian gencar melakukan pendekatan pada pimpinan eksekutif SAKTI. BTI bersikukuh agar SAKTI bersedia untuk fusi dengan mereka. Kelak, diketahui bahwa hal ini merupakan kehendak partai.
Tetapi, penolakan dari mayoritas anggota SAKTI menjadi halangan. Upaya fusi itu tidak segera terlaksana. Persoalan utamanya adalah perbedaan pandangan soal penguasaan hak atas tanah dan pemanfaatannya. Apa dan bagaimana nanti setelahnya. Rupanya pihak BTI tidak putus asa untuk terus mendorong terjadinya proses fusi antar kekuatan kaum tani nasional.
“Ada yang mengatakan bahwa BTI terus melakukan infiltrasi kepada kekuatan SAKTI,” ucap Samsir.
Bersamaan, pada Desember 1955, dibentuk Majelis Konstituante. Sebagai upaya merumuskan Undang-undang Dasar. Tetapi, inilah yang kemudian, sebagaimana dicatat MC Ricklefs (2009, hlm. 521), “dibubarkan setelah hampir tiga tahun kemudian tanpa melahirkan rancangan undang-undang dasar yang baru.”
Sementara serangkaian pembicaraan antara pengurus BTI dengan Sidik Kertapati selaku Ketua Umum SAKTI pun terus dilaksanakan. Pada akhirnya Sidik Kertapati mulai goyah. Ia mulai mempertimbangkan ajakan BTI untuk melakukan fusi.
Hal tersebut diperkuat adanya pidato politik Ketua PKI Aidit tentang masa depan kaum tani Indonesia. Dalam pidato tersebut, Aidit menegaskan bahwa “tanah untuk kaum tani”. Demikianlah, pada titik ini gagasan yang diusung BTI dan SAKTI menjadi senada. Suatu hal yang kemudian menjadi titik awal untuk dilakukannya fusi. Kini jurang pemisah antara BTI dan SAKTI sudah tidak ada lagi.
Pada tahun 1955, Sidik Kertapati, sebagai Ketua Umum , mulai mempercakapkan gagasan fusi dengan pengurus inti SAKTI yang lain. Dan mereka mulai membicarakan hal tersebut secara lebih serius. Para pengurus inti SAKTI pun berkumpul. Yang menjadi tuan rumah adalah Sidik Kertapati, Burhan, Sasongko, dan Samsir sendiri.
“Kami berempat mendiskusikan tawaran fusi dari BTI,” ucap Samsir. Sementara Burhan menolak gagasan fusi. Dalam hipotesa Samsir, sepertinya Burhan tidak bisa melupakan masa-masa selama perang gerilya. Dalam tulisan yang lalu, kita tahu, bahwa Amir Syarifuddin (sebagai orang PKI) menandatangani Perjanjian Renville. Bagi Burhan, tindakan PKI saat itu menyakitkan.
“Itulah sebabnya, dia tidak lagi mau ikut SAKTI karena mau berfusi dengan BTI. Maka demikian, Burhan mengambil keputusan untuk keluar dari lingkaran kaum tani,” ungkap Samsir. Hal serupa juga terjadi dengan Sasongko. Ia turut melakukan penolakan. Namun demikian, cara yang ia tempuh lebih halus daripada yang ditempuh Burhan.
“Sudahlah aku mau jadi guru kembali,” katanya. Sasongko sendiri sebelumnya memang menyambi sebagai guru melukis di sekolah Taman Dewasa, Yogyakarta.
Sebenarnya Samsir sempat memiliki kehendak untuk turut menolak tawaran fusi tersebut. Hanya karena desakan dari Sidik Kertapati yang merupakan sahabatnya sejak lama, pada akhirnya ia menyetujuinya. Nama yang dipilih setelah fusi tetaplah BTI.
Dan yang pasti, fusi ini menjadikan posisi PKI kian kuat. MC Ricklefs (2009, hlm. 517) mengafirmasi hal ini. Ia mengatakan bahwa “PKI melakukan usaha serius untuk menerima para petani sebagai anggota. Barisan Tani Indonesia (BTI), menyatakan mempunyai anggota 360.000 anggota pada September 1953, tetapi jumlah tersebut mencapai lebih dari Sembilan kali lipat (3,3 juta) pada akhir tahun 1955.”
Dinamika Internal
Meski SAKTI dan BTI sudah terintegrasi, hal itu bukan berarti tidak ada dinamika usai diputuskan fusi. Ada sejumlah perbedaan pendapat dan pandangan politik secara internal. Namun demikian, hal itu justru menjadikan organisasi kaum tani semakin besar.
Hal ini diperkeruh ketegangan politik di tanah air. Pada akhir bulan November 1957, PBB tidak berhasil mengesahkan suatu resolusi yang menghimbau agar Belanda merundingkan penyelesaian mengenai masalah Papua. Sukarno geram. Ia memperingatkan bahwa Indonesia akan mengambil langkah yang mengguncangkan dunia apabila resolusi tersebut gagal.
“Gagalnya resolusi PBB tersebut secara langsung mengakibatkan terjadinya ledakan radikalisme anti-Belanda yang dikobarkan Sukarno,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 541). PKI, tentu saja berada di barisan ini. Seolah turut pula memberi angin segar pada cita-cita membebaskan kaum tani dari warisan feodal dan sistem kolonial.
Ini pula yang selaras dengan analisa para pimpinan PKI yang merumuskan bahwa Indonesia merupakan negeri setengah-jajahan, setengah-feodal. Suatu hal yang mengarah pada cita-cita bersama (Front Persatuan Nasional, yang dipelopori buruh dan tani). Dan PKI memanfaatkan kampanye Papua untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak jumlah anggotanya.
“Pada Juli 1962, jumlah anggota front kaum tani PKI (BTI) mencapai 5,7 juta orang, yang konon merupakan seperempat dari jumlah keseluruhan petani dewasa,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 561).
Tentu saja jumlah ini dipengaruhi hasil fusi antara SAKTI dan BTI. Hanya pasca fusi diberlakukan, posisi Samsir tidak lebih dari seorang staf penerangan dari organisasi.
“Padahal semasa di SAKTI saya adalah Sekretaris Umum,” ungkap Samsir. “Sekarang saya merasa hanya sekadar menjalankan tugas teknis seperti mengetik surat atau menyiapkan kebutuhan administrasi dari Ketua BTI saat itu, yaitu Sardjono.”
Kenyataan inilah yang harus diterima sebagai konsekuensi logis dari proses fusi, dan membantu pilihan karib sejak masa gerilya, Sidik Kertapati. Pada suatu kesempatan, Samsir mengeluhkan kenyataan ini pada rekannya itu. Namun jawaban yang dilontarkan Sidik Kertapati sederhana saja.
Ia hanya menjawab: “Ya sementaralah. Tunggu kongres.” Dan akhirnya pada kongres BTI tahun 1962, Samsir dipilih menjadi Sekretaris Umum BTI. Di titik ini, Samsir tidak lagi sekadar menjadi tukang ketik. Dan yang menjadi Ketua Umum, kelak kita tahu, adalah Asmoe Tjiptodarsono.
Tetapi, di balik konflik internal yang dialami, ada pula sejumlah pengalaman menarik yang didapatnya. Pada tahun 1962, ia sempat diundang organisasi tani Kuba ke Havana. Ia mewakili BTI. Bertemu tokoh revolusioner, Che Guevarra. Bahkan sebelumnya sempat pula hadir di dalam Konferensi Perdamaian Asia-Pasifik di Tiongkok, dan, ya, tentu saja, bertemu Mao Zedong.
Yang mengesankan, pernah pula Samsir menghadiri perayaan revolusi Oktober di Moskow. Ia memenuhi undangan Joseph Stalin, yang merupakan pimpinan Uni Soviet pada saat itu.
Aksi Sepihak
Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan kampanye “aksi sepihak” guna memberlakukan Undang-undang Land Reform yang disahkan tahun 1959-1960. Selaku orang yang ada di barisan pucuk pimpinan BTI, tentu Samsir terlibat dalam upaya ini. Bahkan ia turut terlibat dalam kepanitiaan penyusunan rencana Undang-undang Land Reform.
“Rujukan UUPA adalah UUD 1945 pasal 33, di mana amat jelas bahwa negara itu bukan pemilik tanah, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, tapi negara menguasai untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat,” ungkap Samsir, seperti dikutip dari Petani Tua di Lereng Burangrang (2007).
Tetapi, tatkala para penduduk desa anggota PKI mulai menjalankan mandat reformasi agraria, di berbagai daerah mereka terlibat pertentangan yang sengit dengan para tuan tanah (yang mayoritas pendukung PNI) dan para birokrat, yang kelak dirumuskan sebagai kapbir (kapitalis birokrat) yang juga menjadi sasaran kalangan kiri sebagai “7 Setan Desa”.
“Khususnya di Jawa Timur, pertentangan terjadi dengan para santri pendukung NU,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 569). “Keributan-keributan, pembakaran-pembakaran, penculikan-penculikan, dan pembunuhan-pembunuhan, banyak terjadi.”
Semua bermula dari hasil konferensi tani di Puncak, Jawa Barat. Saat itu, rumusan aksi sepihak dibentuk. Aksi sepihak ini dimaksudkan untuk melaksanakan mandat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, Undang-undang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPRP) No. 56/1960, dan Undang-undang Bagi Hasil (UUBH) yang juga secara sah diketuk pada tahun 1960.
Namun kenyataan berkata lain. Pelaksanaannya mandek. Seolah birokrasi pemerintah enggan menindaklanjuti peraturan yang telah disahkannya. Dalam amatan Samsir, birokrat saat itu masih merupakan kelanjutan dari kalangan feodal. Mereka lebih memilih bersekongkol dengan para tuan tanah daripada membela kepentingan petani.
“Melihat keengganan tersebut, kami pun melakukan aksi sepihak dalam rangka mendesak agar UUPA dan UUBH segera dilaksanakan secepatnya,” tulis Samsir.
Sementara Presiden Sukarno, dalam rangka mengupayakan penyelesaian kasus ini, menanggapi dengan membentuk Pengadilan Land Reform. Samsir mengingat secara rinci upaya ini. Ia menerangkan bahwa Pengadilan Land Reform diisi berbagai kader ormas tani yang ada. Mayoritas berasal dari BTI, PETANI (organisasi kaum tani yang berafiliasi dengan PNI), dan lain-lain.
Mereka semua direkrut untuk menjadi anggota Majelis Hakim Pengadilan Land Reform. Hal ini dilakukan demi memenuhi pelaksanaan Undang-undang Land Reform. Nahas, gerakan aksi sepihak semakin meluas.
“Hampir di setiap desa yang merupakan basis PKI dijalankan gerakan tersebut. Kalangan tuan tanah ‘ramai’ sekali menanggapi gerakan tersebut,” demikian Samsir menerangkan.
Ia kemudian mulai mempertanyakan kebijakan pemerintah mengenai soal agraria ini. Menurutnya, sulit untuk mengorbankan kepentingan kaum tani dan kaum buruh atas nama persatuan nasional. Seharusnya persoalan kaum tani dan kaum buruh justru merupakan persoalan yang harus ditangani secara bersama sebagai bangsa.
“Tetapi kenyataannya tidak begitu,” ucap Samsir, sebagaimana tercatat dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 208). Di Subang, Jawa Barat, tatkala Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) dan BTI mengambil-alih suatu perusahaan perkebunan, Chaerul Saleh justru memerintahkan kepada pemerintah daerah melalui radiogram untuk melakukan penangkapan terhadap para petani yang menurutnya anarkis. Atas peristiwa tersebut, beberapa anggota BTI bahkan ditangkap oleh polisi setempat.
Sebagai salah satu pimpinan BTI, Samsir bersama beberapa pengurus harian BTI berinisiatif untuk mendatangi Chaerul Saleh yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri III (Waperdam).
”Kamu itu apa-apaan? Kamu pakai perintah untuk menangkap petani-petani,” bentak Samsir, yang mengungkapkan kemarahan kepada sahabatnya, Chaerul Saleh.
”Yang benar aja, gak ada gua kirim itu,” jawab Chaerul Saleh. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Chaerul Saleh mencabut radiogram tersebut, dan memerintahkan untuk membebaskan para petani. Tak lama kemudian, meski para petani telah dibebaskan, Samsir kembali datang menghadap Chaerul Saleh.
”Ada apa lagi, Sir?” tanya Chaerul Saleh. ”Kamu harus ganti itu kerugian petani yang telah ditangkap. Berapa lama mereka ditahan? Anak dan bini mereka makan apa itu, kalau gak ngutang kesana-kemari?” Samsir mengajukan pertanyaan retoris.
”Ah, kamu ini ada-ada aja. Di Republik ini apa bisa ada kejadian seperti ini?” jawab Chaerul Saleh.
Seolah tidak mau kalah, Samsir langsung menyergah, ”Kamu, kan, Waperdam (wakil Perdana Menteri). Makanya harus bisa, dan sekaranglah saatnya.” Sebagai kawan seperjuangan, Chaerul Saleh hanya bisa mengumpat Samsir: “Sialan lu.”
Chaerul saleh kemudian segera mengeluarkan sejumlah uang untuk memberikan ganti rugi kepada petani yang sempat ditahan.
Situasi Kian Tak Terkendali
Memasuki tahun 1964, situasi politik di tingkat elite kian hangat. Pada bulan Maret 1964, Bung Karno menyatakan “Amerika silahkan go to hell” (pergi ke neraka) bersama bantuannya. Dua bulan berikutnya, beliau juga menugaskan Marsekal Udara Omar Dhani memimpin Komando Siaga (Koga) untuk melanjutkan konfrontasi dengan Malaysia.
Bersamaan dengan itu, Aidit, selaku pimpinan PKI, sedang melakukan penelitian di wilayah pegunungan Jawa Barat. Ia berupaya memadukan “kerja politik berdasarkan hasil riset”. Selama tujuh Minggu, dari tanggal 2 Februari hingga 23 Maret 1964, ia memimpin petugas-petugas riset yang terdiri dari 40 kader kaum tani.
“Ketika menulis, saya berhadapan dengan Gunung Pangrango yang menjulang tinggi, di sebelah kiri saya tampak Gunung Gede dan di sebelah kanan Gunung Salak. Tempat yang tenang dan sejuk ini sungguh baik untuk menulis risalah atau pekerjaan yang menghendaki ketenangan,” tulis Aidit, dalam pendahuluan risetnya yang berjudul Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa (1964).
Berkebalikan dengan yang sedang dirasakan Aidit, beberapa bulan setelahnya – tepat pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1965, Sukarno memberikan pidato bertajuk Tahun Vivere Pericoloso (kelak dikenal Tavip) yang diartikan sebagai “hidup penuh mara bahaya”. Ia menguraikan proses revolusi yang seharusnya berjalan lebih baik. Namun terdapat berbagai “ranjau subversif”.
Menjelang bulan September 1964, sekelompok wartawan anti-PKI yang dipimpin Adam Malik membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Chaerul Saleh, selaku sahabat Samsir, mendukung badan ini dalam upaya menjauhkan Sukarno dari PKI. Dan saat memasuki Desember 1964, PKI mulai berupaya meredakan “aksi sepihak”-nya.
“Suatu hal yang menunjukkan bahwa jumlah anggotanya sangat besar tidak dapat dikendalikan secara baik, dan juga tidak dapat digunakan sebagai landasan melakukan aksi revolusioner secara positif,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 575-576).
Memasuki bulan Januari 1965, posisi PKI terlihat semakin kuat, terutama usai Sukarno melarang Partai Murba – seteru PKI dalam hal berebut kalangan kiri. Bersamaan dengan ini, ekspresi rakyat dalam kampanye anti-Amerika kian memuncak. Terutama usai pengeboman yang terjadi di Vietnam Utara.
Pada bulan Agustus 1965, Sukarno menarik Indonesia dari hubungan-hubungan yang masih tersisa dengan dunia kapitalis (Dana Moneter Internasional/IMF, Interpol, dan Bank Dunia). Dalam pidatonya pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sukarno mengumumkan poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang antiimperialis.
Akhirnya, ketegangan meletus di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965. Sebuah kudeta yang perencanaannya kacau sekali terjadi di Jakarta. Saat itu, Samsir sedang menjenguk mertuanya yang sedang sakit di Bandung.
“Semuanya terasa membingungkan bagi saya,” ungkap Samsir. Ia sambangi gedung MPRS. Tapi tak menemukan jawaban pasti. Segera ia pergi ke markas BTI yang terletak di Jalan Pasirkaliki.
Hasilnya persis sama. Ia sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi. Hingga kehilangan kontak dengan orang-orang partai yang, tak lama setelah upaya kudeta gagal, turut pula dihancurkan.