• Kolom
  • Yang Senyap di Dago Pakar

Yang Senyap di Dago Pakar

Di Kolam Tando Harian Dago Pagar yang jadi bagian PLTA Bengkok, para pekerja bertahan dalam sunyi. Menghidupi keluarga, mendamba kesejahteraan.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Ery Mubarok dan Wawan Setiawan berupaya menyaring sampah di sekitar Kolam Tando Harian Dago Pakar sebagai salah satu cara menambah penghasilan. (Foto: dokumentasi pribadi Yogi Esa)

18 Juni 2023


BandungBergerak.id - Memasuki kawasan Taman Hutan Raya Dago Pakar, suasana sunyi segera terasa. Senyap. Di sebuah kolam tak jauh dari sana, pohon-pohon berjajar seolah menjadi payungnya. Segerombolan monyet terlihat hinggap di beberapa dahan pohon yang tinggi menjulang.

Letak kawasan kolam kolam Tando Harian Dago Pakar  ini memang tersembunyi. Terlebih jika dibandingkan dengan lokasi di atasnya lagi, seperti Tebing Keraton. Suasananya memang terasa agak lain.

Kolam Tando Harian Dago Pakar memiliki kapasitas 30.000 meter kubik. Dalam berbagai rujukan, tercatat bahwa kolam yang jadi bagian dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok ini menampung air dari Sungai Cikapundung.

Yang tak banyak orang tahu, ada beberapa pekerja yang hidup darinya. Saban hari mereka mengontrol kawasan itu. Mereka mengukur ketinggian level air, lalu secara rutin melaporkan kondisinya kepada operator turbin. Mereka juga bekerja membersihkan saringan dan melakukan pengawasan di area sekeliling kolam.

Apa yang para pekerja lakukan cukup vital. Sebagai operator kolam yang jadi bagian PLTA Bengkok, mereka mengusahakan agar kebutuhan warga akan listrik tetap terlayani.

Ada delapan orang pekerja di Kolam Tandon Harian Dago Pakar. Ery Mubarok dan Wawan Setiawan adalah salah duanya. Ery sudah enam tahun menekuni pekerjaannya, sementara Wawan mengaku bahkan sudah bergelut di kolam itu sejak tahun 1993.

Suasana sunyi di Kolam Tando Harian Dago Pakar, bagian dari PLTA Bengkok. (Foto: dokumentasi pribadi Yogi Esa)
Suasana sunyi di Kolam Tando Harian Dago Pakar, bagian dari PLTA Bengkok. (Foto: dokumentasi pribadi Yogi Esa)

Baca Juga: Mpieth Gomper, Penggila The Rolling Stones di Bandung
Mengais Rezeki di Suryani
Ode untuk Aceng

Hidup di Kolam Tando

Dari Kanayakan, sebuah sepeda motor bergerak pelan menuju Kolam Tando Harian Dago Pakar. Ery Ramdhan Mubarok (28 tahun), pengemudi itu, baru saja selesai sarapan. Ia hendak mulai bekerja. Hari itu, Jumat 16 Juni 2023.

Ery, begitu ia biasa disapa, adalah anak pertama dari dua bersaudara dalam satu keluarga di Bangbayang, Dago, Kota Bandung. Ayahnya meninggal dunia belum lama ini, sementara ibunya memutuskan untuk menetap di kampung halamannya, Sumedang. Tak ada lagi yang hinggap di benak Ery selain menjalani kehidupan seperti biasanya.

Ery telah mengalami berbagai jenis peristiwa selama menjalani rutinitasnya di kolam. Dari yang menyedihkan hingga yang menggembirakan. Hanya saja, kiwari ia sedang dihadapkan pada yang pertama. "Biasalah, pertengahan bulan," katanya.

Setiap bulan Ery memperoleh pendapatan setara Upah Minimum Kabupaten Bandung Barat. Kadang jumlah ini tidak cukup. Ery harus mencari penghasilan sampingan. Menjadi pengemudi ojol (ojek online), misalnya, sudah dilakoni sejak lama sekadar untuk mengupayakan keberlanjutan hidup.

Wawan Setiawan (55 tahun), yang telah puluhan tahun bekerja di Kolam Tando, dengan wajah sumringah menceritakan pengalamannya. Sebelum kolam diambil alih pengelolaannya oleh sebuah perusahaan alih daya, ia bekerja pada sebuah koperasi. Wawan merupakan ayah dari lima orang anak.

"Alhamdulillah tos beres sakola. Kantun hiji deui murangkalih nu bungsu, bade lebet SMA," ujarnya.

Selang berapa lama bercerita, raut wajah Wawan berubah menjadi sedikit muram. Matanya mengejap lebih cepat. Barangkali kenyataan yang begitu keras telah banyak mempengaruhi sikapnya. Bukan hanya hal ihwal yang beririsan dengan materi, tapi juga insting dan perasaan yang dulu mereka miliki. Rasa takut, misalnya.

Ada satu peristiwa mencekam yang terjadi beberapa tahun silam. Sudah lewat tengah malam. Delapan orang menghadang Wawan di tengah perjalanannya pulang dari Kolam Tando Pengendap yang masih berada di wilayah Tahura Djuanda. “Ah, sayah mah pasrah weh bade kumaha oge," kenangnya.

Wawan bersiap untuk melintasi kerumunan orang itu. Semuanya berlangsung serba cepat. Satu dari delapan orang yang diduga begal itu maju ke depan. Ia memberi isyarat pada Wawan untuk segera menghentikan langkahnya.

Satu, dua, tiga, tiba-tiba saja, duuaaarrrrrrrrr…!!!

Orang itu menepuk bahu Wawan seraya meminjam korek api untuk menyalakan sebatang rokok yang terselip di sela-sela jarinya. Ia berbasa-basi menanyakan beberapa hal, seperti "dari mana malam-malam" dan "sudah melakukan apa".

Tubuh Wawan gemetaran. Setelah sebelumnya harus menyaksikan satu sosok perempuan dengan baju putih terbang di dekat Goa Belanda, ia kini menghadapi gerombolan manusia yang bisa saja menghabisi nyawanya dalam waktu dekat.

Wawan panik. Tak bisa tidak. Sungguh kalut perasaannya. Keringat dingin bahkan muncul di sekujur tubuhnya saat itu.

Beruntung nasib baik singgah pada diri Wawan. Ia diloloskan begitu saja oleh ke delapan orang yang diduganya sebagai kelompok pembegal itu. Barangkali karena mereka melihat dirinya yang hanya memakai sendal jepit.

Bukan tanpa sebab Wawan berasumsi bahwa kedelapan orang tersebut adalah begal. Perangai mereka tidak biasa. Kabar yang tersiar esok harinya seolah mengkonfirmasi dugaan Wawan. Salah satu ruamh di dekat tempat penghadangan itu telah dirampok. Dua orang penjaga rumah disekap.

Seperti juga Ery, Wawan juga harus mengupayakan pendapatan sampingan. Peruntungannya ada di Sungai Cikapundung. Pada hari libur, Wawan sering mencari pasir untuk dijual pada siapa-siapa yang membutuhkan. Harganya, tentu saja jauh lebih murah dari yang tersedia di sejumlah toko material. Ongkos pengirimannya bahkan digratiskan.

"Dulu mah masih asri. Sedimentasi, sampah, dan lain-lain gak kayak ayeuna. Malah ada tahi sapi segala kan kalau sekarang," tuturnya Wawan, yang segera mengubah percakapan menggunakan Bahasa Indonesia setelah mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang kerap mencatat. "Itu nambah repot kerjaan."

Pipa besar yang menampung air dari Sungai Cikapundung menjulur menuju PLTA Bengkok, dilihat dari kawasan Kolam Tando Harian Dago Pakar. (Foto: dokumentasi pribadi Yogi Esa)
Pipa besar yang menampung air dari Sungai Cikapundung menjulur menuju PLTA Bengkok, dilihat dari kawasan Kolam Tando Harian Dago Pakar. (Foto: dokumentasi pribadi Yogi Esa)
Mendambakan Kesejahteraan

Sudah mafhum diketahui bahwa listrik merupakan salah satu sumber energi penting bagi kehidupan jutaan umat manusia. Bahkan ada pemeo teranyar yang dilontarkan entah oleh siapa mulanya: sandang, pangan, charger-an (dibaca: casan). Betapa signifikan kehadiran listrik dalam hidup!  

Di Bandung, kita tahu ada PLTA Bengkok yang beroperasi sejak tahun 1923, mengalirkan listrik untuk warga Bandung dan sekitarnya. Merujuk catatan sejarah, pembangkit listrik ini tergabung dengan s’Lands Waterkracht Bedriven (LWB), perusahaan listrik negara yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Memanfaatkan aliran Sungai Cikapundung yang lebih dulu ditampung, PLTA Bengkok memasok listrik ke gardu induk Cikapundung, sebelum disebar untuk memenuhi kebutuhan listrik warga di Bandung dan sekitarnya. Kapasitasnya diketahui sebesar 3,2 megawatt (MW).

Bagi Ery Mubarok, Wawan Setiawan, dan para pekerja lainnya, kolam tando dan PLTA Bengkok bukan sebatas itu. Ia adalah kehidupan, yang telah lama menopang diri dan keluarga mereka. Jauh sebelum sejak lima tahun lalu dipekerjakan oleh pihak ketiga yang menjalin relasi dengan PT. Indonesia Power, anak perusahaan PT. PLN (Persero). Sebagaimana jutaan orang yang menghuni dunia fana ini, mereka mendambakan kesejahteraan.

Wawan menggeser duduknya ke tengah, berharap tempat itu lebih nyaman. Ia melamun sejenak. Bayangannya entah sedang ke mana. Bekerja delapan jam di kolam, tanpa bekal memadai untuk sekadar mengembangkan bakat, menikmati hiburan, atau mengikuti kursus bahasa asing, misalnya, jelas tak menyediakan banyak pilihan. Bagi Wawan, senyum keluarga adalah satu alasan tersisa yang hingga kini membuatnya tetap bertahan.

"Orang kayak Mamang kieu, kan, sama. Punya keluarga," ujar Pak Wawan, dengan raut muka datar. "Dulu pernah bilang ke orang besar, kerja sayah kan di hutan. Inginnya mah lebih diperhatikan."

Solusi praktis yang diambil para pekerja sederhana saja, meski tentu saja tidak mengubah keadaan secara signifikan. Sambil bekerja, semua bahu-membahu untuk menyaring dan memilah sampah. Mereka berinisiatif untuk mengumpulkan aneka bekas kemasan makanan atau barang untuk kemudian dijual ke pengepul rongsokan.

"Untuk mendapat tambahan penghasilan," kata Ery. "Kemudian uangnya dibagi rata ke semua pekerja." 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//