• Kolom
  • Mengais Rezeki di Suryani

Mengais Rezeki di Suryani

Sejak booming batu akik, Pasar Loak Suryani jadi tumpuan hidup semakin banyak orang. Dadi (61) belum lama mencoba peruntungan, Abah Udin bertahan berjualan.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Pak Dadi (61), asal Cililin, sedang menanti pembeli mampir di lapaknya yang beralas terpal di Jalan Suryani, Kota Bandung, Selasa (30/5/2023). (Foto: Yogi Esa)

3 Juni 2023


BandungBergerak.id - Seorang lelaki tua bersandar di bawah pohon, duduk menghadap jalan. Tubuhnya yang kurus dan ringkih dibalut kemeja dan celana katun hitam yang sudah lusuh. Kumisnya tipis, rapi, dengan rambut lepek.

Di hadapan lelaki itu, berderet barang dagangan yang ia jajakan. Secangkir kopi tampak di dekatnya.

Dadi (61 tahun), nama lelaki tua tersebut Selasa, 30 Mei 2023, siang itu, ia tampak sendiri. Berbeda dengan sejumlah orang lainnya yang beraktivitas di sekitar kawasan Jalan Suryani.

Saya berinisiatif menghampiri Pak Dadi. Mulanya sekadar menyapa. Lalu bersama dua orang kawan yang akrab dengannya, kami duduk melingkar dan berbincang panjang lebar ihwal pendapatan masing-masing. Di sebuah jongko, dekat pertigaan, seberang pangkalan ojol (ojek online).

"Nuju tiiseun, Cep," kata Pak Dadi, dengan suara lirih.

Pak Dadi, kelahiran tahun 1962, sejatinya merupakan warga Ciroyom. Di kemudian hari, ia memutuskan untuk mempersunting perempuan asal Cililin dan menetap di sana dalam kurun waktu yang cukup lama.

Tak lama setelah menikah, Pak Dadi dan sang istri dikaruniai seorang anak laki-laki. Beberapa tahun setelahnya, lahir anak perempuan untuk menggenapi keluarga kecil mereka di Cililin. Barangkali mengikuti program KB (Keluarga Berencana) pemerintah.

Sebetulnya Pak Dadi belum terlalu lama mencoba peruntungan di Pasar Loak Suryani. Ia sebelumnya berjualan kerupuk di kampung istrinya, Cililin. Malangnya, usaha itu menemui jalan buntu.

"Panginten memang sadayana nuju tiiseun," ujarnya.

Ketika bersilaturahmi dengan rekan-rekannya di sekitar kawasan Suryani, Pak Dadi mendapatkan gagasan untuk untuk mencoba peruntungannya. Modal awal diperoleh dengan meminjam dari bank keliling. Ia lantas memutarkan sejumlah uang pinjamannya itu dengan mencari barang-barang yang sekiranya punya potensi untuk dijual.

"Ah, da, tambah teuing teu damel, Cep,” tuturnya. “Da, upami aya damelan mah, bapak mending damel." (Daripada tidak ada pekerjaan sama sekali. Andai saja ada pekerjaan, Bapak lebih baik memilih kerja.)

Jika dunia sedang berpihak, penghasilan yang didapat Pak Dadi lebih dari cukup untuk sekadar membiayai kebutuhan keluarga di kampung halaman. Hanya saja keberuntungan semacam itu sudah lama tidak menjumpainya.

"Kumaha aya barang. Upami barang nuju aya, alhamdulillah. Tapi upami henteu, kadang 0," katanya.

Saat ini jualan Pak Dadi sedang sepi. Padahal ia diwajibkan mencicil uang pinjaman setiap hari. Situasi ini jelas bakal membuat nafkah untuk keluarga terhambat. Pak Dadi mengaku tak tahu mesti berkata apa pada sang istri jika kelak pulang tanpa membawa uang.

Sejak mengadu peruntungan di kawasan Suryani, Pak Dadi tinggal di rumah kerabatnya di bilangan Maleber Utara, sekitar 2 kilometer dari Pasar Loak Suryani. Setiap hari ia tempuh jarak itu dengan berjalan kaki.

"Duka bade teras, duka bade kumaha. Da rada sesah ieu oge," ucapnya. "Ayeuna misal, pajeung hiji. Ku kopi sareng rokok oge atuh seep."

Belakangan situasi bertambah buruk. Pak Dadi sering menemui hari tanpa sepeser pun rupiah didapat. Ia dibuat merasa bersalah.

Waktu berlari cepat sekali. Saat ini dua anak Pak Dadi telah rampung menyelesaikan kegiatan pembelajaran di sekolah menengah. Nahas, hingga sekarang keduanya masih kesulitan mencari pekerjaan.

Kemuraman memantul dari raut wajah Pak Dadi. Namun semua ia bawa santai. Lelaki yang telah memasuki usia senja itu terlihat sabar menghadapi kenyataan yang sebetulnya berantakan.

Selama berbincang, dengan posisi duduk nyaris tak berubah, sesekali tuturan Pak Dadi terdengar sangat pelan. Kadang tiba-tiba berhenti. Sepasang matanya seolah hendak mencegah keharuan. Berbatang-batang rokok silih berganti terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.

Sesekali wajah Pak Dadi lepas, berseri, lalu terhenti lagi. Barangkali ia sedang terkenang keluarganya di Cililin, sebab merekalah yang kerap hadir di ingatan dan hatinya.

Meski belum berhasil, Pak Dadi semacam kisah lain ihwal Daud yang sedang melawan Goliat.

Abah Udin (60), penjual kopi dan cemilan di sekitar kawasan Suryani, Kota Bandung. (Foto: Yogi Esa)
Abah Udin (60), penjual kopi dan cemilan di sekitar kawasan Suryani, Kota Bandung. (Foto: Yogi Esa)

Bermula dari Batu Akik

Pasar Loak Suryani belum lama hadir di Kota Bandung. Semua bermula pada saat fenomena batu akik sedang booming. Sejumlah 'pemain' batu akik menjadikan kawasan ini menjadi semakin ramai. Ketika itu sekitar tahun 2012.

"Batu akik mah ngetop di dieu. Memang di Ijan rame [batu akik] lebih awal. Tapi, pas sesudah eta, banyak pedagang [Ijan] nu datang kadieu," kata Anwar Tajudin (60 tahun), seorang pedagang di sekitar Pasar Loak Suryani yang akrab disapa Abah Udin.

Migrasi pedagang Ijan ini seolah memberi pancingan bagi para pedagang wilayah lain. Terutama usai peristiwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadiahkan Batu bacan untuk Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Kian banyak orang mulai melapak usahanya di kawasan Suryani. Mereka singgah dengan asumsi yang sama: kawasan ini memiliki potensi ekonomi yang cukup menjanjikan.

"Bahkan aya tah, tukang sate, si Didin, pas booming batu akik, tiba-tiba manehna tertarik,” kenang Abah Udin, diiringi tawa. “Ereun si eta jualan sate-na, pindah ka batu akik."

Kemonceran Pasar Loak Suryani turut didorong oleh kemudahan aksesnya. Pasar ini berada di antara Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Situ Aksan. Dari pertigaan., sudah bisa dilihat puluhan lapak orang berjualan.

Sebagian pedagang menggunakan lapak kios atau roda, seperti Abah Udin. Ada pula yang menjual barang mereka sekadar menggunakan terpal, sebagaimana Pak Dadi.

Barang-barang yang dijual di Pasar Loak Suryani sangat beragam. Sebagian menjual barang-barang langka. Ada pula yang menjajakan berbagai kebutuhan sekunder, seperti sepatu, handphone, helm, onderdil motor, barang-barang elektronik, kaset, komputer, speaker, dan radio. Ada juga barang-barang antik di sini.

Menurut pengakuan Abah Udin, tidak sedikit kolektor barang antik yang sengaja datang dari jauh. Mereka biasa mencari barang dengan harga yang relatif murah namun berkualitas. Bagi para pedagang, mereka inilah sumber rezeki.  

"Sayah pernah boga pangalaman meunang bati lumayan. Harita aya wadah paranti nyeupah. Ditawar ku kolektor ti Bogor. Terus dibeuli harga jutaan," ungkapnya, diiringi senyum merekah, penuh kemenangan.

Meski usahanya kini sedang sepi, sama seperti apa yang dialami Pak Dadi, Abah Udin tak kehilangan syukur. Ia tetap meyakini bahwa kehadiran pasar loak ini adalah sebuah berkah.

Baca Juga: Ode untuk Aceng
Motherbank, Sebuah Kisah Keteladanan para Ibu di Jatisura

Dari Rongsokan ke Makanan

Abah Udin telah lama menjadi pedagang di sekitar kawasan Suryani. Pengalaman pahit dan manis pernah ia rasakan selama masa-masa berjualan.

"Mimiti mah sepi. Sainget sayah nu awal ngaramekeun mah [Hamzah], jualan komputer," ungkap pria kelahiran 1963 itu.

Pada mulanya, Abah Udin berjualan sepatu. Pendapatan hariannya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tak jarang lima pasang sepatu berhasil dijualnya.

"Keuntungan mah bisa saratus rebu sahari," kenangnya. "Tapi, nya, kadang teu ngaladangan pisan."

Orang bilang bahwa hari sial tidak ada di kalender. Abah Udin pun meyakininya. Suatu hari ia melayani seorang anak laki-laki yang menjual sebuah sepeda. Sama sekali tak ada yang ganjil dalam proses jual-beli itu.

Di luar dugaan, selang beberapa waktu aparat kepolisian menghampiri tempat jualan Abah. Usut punya usut, ternyata barang yang telah ia beli merupakan hasil curian. Alih-alih untung, malah buntung ia dapatkan. Abah Udin harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menyelesaikan urusannya dengan korban yang didampingi pihak keamanan.

Kini, di hari tuanya, Anwar Tajudin masih bertahan berjualan di sekitar kawasan Suryani. Bukan lagi sepatu atau sepeda bekas, tapi makanan dan minuman seperti gorengan dan kopi.

Reyhan Bahari (27), seorang sopir ojol, sedang menanti penumpang di Jalan Suryani, Kota Bandung. (Foto: Yogi Esa)
Reyhan Bahari (27), seorang sopir ojol, sedang menanti penumpang di Jalan Suryani, Kota Bandung. (Foto: Yogi Esa)

Tempat Ojol Singgah

Bukan hanya pedagang barang antik yang berupaya mengais rezeki di bilangan Suryani. Seorang pengemudi ojol, Reyhan Rizky Bahari (27), juga kerap menanti pelanggan di sekitar itu.

Sejak pagi, Reyhan mengaku telah menarik tiga orang penumpang. Lebih sepi dibandingkan biasanya. Dan memang belakangan ini pendapatannya sedikit berkurang. Ia semakin kesulitan memperoleh pesanan penumpang. Tak mampu lagi ia membeli sejumlah barang kebutuhan sekunder.

"Mungkin, ya, karena semakin banyak kompetitor," ujar pria kelahiran 1995 itu, Kamis (1/6/2023).

Berdasarkan amatan di sekitar lokasi, kini memang agak jarang terlihat pengemudi ojol nangkring. Kebanyakan dari mereka menjemput 'bola' ke tempat yang lebih ramai. Malahan, tempat para pengemudi ojol biasa singgah pun telah ambruk dilahap si jago merah.

Sejumlah kalangan beranggapan bahwa ini merupakan keniscayaan yang harus dihadapi para pengemudi ojol. Semakin banyak jumlah mereka, semakin sengit perebutan mendapat pelanggan.

Dilema Sektor Informal

Apa yang digeluti Pak Dadi, Abah Udin, dan Reyhan bisa dikategorikan sebagai pekerjaan informal, karena mereka Bukan Penerima Upah (BPU). Ketiganya serupa dengan petani, tukang bangunan, dan para pekerja lepas di industri kreatif lain.

Kenyataan yang mereka alami selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal per Februari 2016 sebanyak 70,30 juta orang. Mereka umumnya sekadar punya harapan memperoleh pendapatan yang cukup untuk mempertahankan hidup (survival). Apa saja bakal mereka lakukan demi senyum keluarga mengembang, meski harus dihantui ketidakpastian.

Dan itulah yang menjadi konsekuensi dari usaha yang digeluti para pekerja di sektor informal. Pekerjaan mereka tidak dijamin kerangka legal dan regulasi yang berlaku di negeri ini. Kehidupan mereka juga cenderung mengalami tingkat kerentanan yang tinggi. Baik Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tidak mampu melindungi pekerjaan informal.

"Mereka adalah pekerja yang paling gampang terpapar berbagai risiko. Sayangnya, mereka juga merupakan kelompok yang paling tidak terlindungi," tulis Terry Muthahhari, dalam artikel bertajuk 'Nasib Malang Para Pekerja Informal', disitat Kamis, (1/6/2023).

Sebagian dari para pekerja informal kadang harus rela hidup tanpa pelayanan publik seperti listrik, air bersih, transportasi, kesehatan, dan pendidikan. Bukan tanpa alasan tentu saja. Mereka terpaksa bekerja dalam kondisi rentan sebab tidak ada opsi memilih pekerjaan atau sumber pendapatan yang lebih layak.

Muchtar Habibi dalam Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran (2016), mempersoalkan klaim para ekonom neoklasik yang meyakini jika pasar diizinkan berfungsi dengan baik, pekerja informal akan menjadi pengusaha mikro yang nantinya diharapkan bisa membantu perekonomian. Alih-alih menjadi pengusaha mikro, mayoritas pekerja informal cenderung menjadi proletariat informal yang tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai pekerja.

Muchtar Habibi juga menjelaskan dua alasan mengapa sektor informal begitu subur. Pertama, pola pembangunan ekonomi sejak Orde Baru tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal dan layak dengan jumlah memadai. Walhasil hanya sebagian masyarakat saja yang mampu terserap sebagai buruh formal. Sisanya, terpaksa bekerja sebagai pekerja mandiri informal yang membangun usaha sendiri, atau jadi buruh informal yang dipekerjakan oleh majikan informal pula. Bahkan dengan kondisi kerja yang jauh lebih rentan.

Kedua, proses transformasi struktural ekonomi yang terjadi di Indonesia cenderung terhambat. Pada satu sisi, pola pembangunan ekonomi cenderung berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar dunia, sehingga sulit membangun ekonomi domestik.Di sisi lainnya, sejak krisis keuangan 1997, Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur yang membuat industri manufaktur semakin terpuruk, dan terbuai pada ekspor komoditas dengan nilai tambah rendah.

Pendapat serupa diungkap Jafar Suryomenggolo. Ia menegaskan bahwa banyaknya pekerja sektor informal merupakan konsekuensi dari pola pembangunan ekonomi yang ditempuh negara ini. Hingga akhir dasawarsa 1990-an, pembangunan ekonomi Indonesia ditopang oleh sejumlah industri yang berorientasi ekspor. Terutama pabrik garmen, tekstil, dan sepatu.

"Upah murah, buruh yang patuh, dan pasar kerja yang lentur adalah andalan pertumbuhan ekonomi Orde Ba(r)u, yang sesuai ciri utama ‘negara pembangunan’ (developmental state)," tulis Jafar.

Yang memilukan, kenyataan pasokan pekerja informal yang melimpah secara tidak langsung memperlemah daya tawar buruh-buruh formal akibat terbatasnya lapangan kerja. Konsekuensinya pekerja formal di Indonesia cenderung diupah rendah dan berada dalam kondisi yang juga cukup rentan.

Sementara itu pekerjaan informal, yang jelas berada dalam hierarki paling bawah dalam soal kerentanan, kian diperebutkan mereka-mereka yang tidak punya opsi pekerjaan lain. Itulah kenyataan yang sedang dihadapi oleh Pak Dadi, Pak Anwar Tajudin, dan banyak lagi orang senasib.

Mungkin memang nyaris tidak ada kemungkinan yang bisa dipilih dalam waktu dekat. Toh mereka tetap berikhtiar, memutuskan untuk terus bergerak (atau mungkin berserikat). Mereka juga sama seperti kebanyakan dari kita yang enggan menghadapi situasi terburuk seperti yang dilukiskan Sang Satria Bergitar, Rhoma Irama: Hidup tiada pegangan / Pengangguran, ya Allah / Tiap hari susah makan / Anak istri bertangisan / Jadi korban, ya Allah… 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//