• Kolom
  • Motherbank, Sebuah Kisah Keteladanan para Ibu di Jatisura

Motherbank, Sebuah Kisah Keteladanan para Ibu di Jatisura

Motherbank adalah upaya kolektif para ibu Kampung Wates di Jatisura, Majalengka. Perlawanan mereka pada bank keliling lalu bermetamorfosa menjadi kelompok musik.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Para personil Motherbank Band, kolektif musik dari Jatisura, Majalengka. (Foto: Andzar Agung Fauzan)

20 Mei 2023


BandungBergerak.id –  Ada satu pendatang baru di dunia permusikan. Dengan liriknya yang brilian, barangkali ia bisa diajukan sebagai penerang dalam kegelapan. Bukan tanpa alasan jika beranggapan bahwa ia adalah salah satu penerang yang menerjang batas-batas ihwal kesenian itu sendiri. Sebab berbeda dari yang lazim. Ia menjelma serupa yang digambarkan Hannah Arendt dalam Man in The Dark Times: “Seberkas cahaya”. 

Sebetulnya ia warga biasa. Bukan seorang pembesar. Tepatnya, sehimpunan kaum hawa.  Tapi melalui sejumlah karya yang dibidaninya, mereka bisa membuat orang sekitar tercerahkan. Kiranya tidak berlebihan jika menganggap apa yang diperbuatnya serupa bedil dalam genggaman tentara.

Mereka hadir di tengah warga yang sejak lama bergejolak dengan isu agraria. Mereka juga menginisiasi institusi keuangan tandingan. Suatu hal yang ditujukan demi kesejahteraan bersama. Dan yang mengagumkan, mereka bahkan merancang mata uang sendiri. Mpleng namanya.

Serentetan implementasi dari gagasan canggih itulah yang rampung diupayakan satu kolektif para ibu asal Jatisura, Majalengka. Sekarang mari kita sambut kehadirannya di belantika musik tanah air. Inilah, Motherbank.

Baca Juga: Jalan Sunyi Pustaka Bestari
WAHAM yang Lantang Bicara Soal Mental
Lair, Cahaya Penerang Jatisura

Menghantam Lintah Darat

Semua berawal dari pandemi. Saat itu, kita tahu, wabah Covid-19 berdampak pada sejumlah sektor ekonomi. Segelintir pengusaha kolaps. Derita pekerja sudah naik seleher. Hal ini memicu maraknya kehadiran institusi keuangan informal, atau Bank Keliling. Ia dikenal dengan istilah Bank Emok di masyarakat Jawa Barat.

Bukan tanpa alasan jika entitas tersebut dikenal dengan istilah Bank Emok. Sebab aktivitasnya dilakukan dengan duduk. Pada bahasa Sunda, tercatat bahwa Emok memiliki arti cara duduk perempuan, biasanya lesehan, dengan kaki bersimpuh silang ke belakang.

Perlahan tapi pasti. Keberadaan Bank Emok mulai mengganggu ketenteraman ibu-ibu yang berada di perdesaan. Bunga yang dikenakan pada siapa-siapa yang meminjam kian tak masuk akal. Bahkan turut menghantui benak suami dan anak-anak mereka.

Tepat di sinilah eksistensi Motherbank dimulai. Mereka terdiri dari ibu-ibu Kampung Wates, sebuah Desa di Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka. Mereka menggalang perlawanan. Merancang institusi tandingan. Sekilas nyaris serupa dengan Bang Emok sebetulnya, namun perbedaannya tegas: tanpa bunga.

Jika dalam Bank Emok dikenai bunga pinjaman sebesar 20%, maka di Motherbank, sama sekali tidak. Hal ini terutama melihat kenyataan sebagian besar suami mereka adalah buruh harian lepas. Motherbank didirikan sejak awal 2021.

Pada mulanya ia dirumuskan Ismal Muntaha dan Bunga Siagian. Keduanya juga tercatat menggawangi Badan Kajian Pertanahan. Visi yang dicanangkan begitu mantap. Sebagai jaring pengaman ekonomi ibu-ibu di Kampung Wates, Jatisura, Majalengka.

Dalam perjalanannya, Motherbank kemudian dikelola secara bersama-sama. Maka tidak heran jika, alih-alih membayar bunga sebesar 20% seperti Bank Emok, ibu-ibu menyempatkan waktu luang dan tenaga yang apabila dikonversikan setara 20% bunga pinjaman.

Wujud konkretnya adalah menanam singkong dengan metode supranatural farming. Ini merupakan salah satu kegiatan yang telah dilakukan Motherbank terhitung sejak awal tahun 2021. Bisa pula dikatakan sebagai hasil dari investasi waktu dan tenaga ibu-ibu sebagaimana disebut di dalam paragraf sebelumnya.

Mereka memanfaatkan lahan yang terbengkalai. Kemudian mengolah singkong menjadi tepung mocaf. Secara subtansial, itu merupakan tepung bebas gluten yang memiliki tekstur dan fungsi sebagai pengganti tepung terigu.

Semakin terang bahwa upaya pembangkangan yang dilakukan mereka menemukan buahnya: kemaslahatan bersama. Seiring perjalanan, Motherbank kemudian bermetamorfosa. Ia bergerak melampaui apa yang selama ini digeluti. Ia menjadi sebuah kelompok musik, yang liriknya menggaungkan persoalan hidup sehari-hari.

Ia juga menggaungkan kenyataan bagaimana hidup di tengah persoalan sengketa tanah. Hal ini menemukan bentuk cemerlang pada sebuah lagu berjudul Wakare, yang merupakan manifestasi perjuangan para personil Motherbank beserta warga Kampung Wates di kehidupan nyata. Untuk diketahui bahwa tanah yang didiami mereka selama ini masih menjadi sengketa.

Semua bermula pada era Fasis Jepang. Saat itu (1943), pemerintah fasis mendirikan Lapangan Udara yang letaknya tidak jauh dari pemukiman warga. Hal tersebut membuat mereka, selaku penghuni lama, dihantui rasa cemas. Mereka khawatir akan dentuman dahsyat – kemungkinan letusan granat dan senjata lainnya – yang dihasilkan dari Lapangan Udara tersebut.

Kekhawatiran itu membuat pimpinan desa menyerukan mereka untuk “hijrah”. Ia mengajak seluruh warga untuk sementara pindah ke tempat yang relatif aman. Rumah-rumah warga digotong bersama. Hewan ternak dan barang-barang berharga turut pula dibawa.

Semua dialihkan ke suatu wilayah bernama Dukuhpesing. Ironi terjadi ketika pemerintah fasis Nippon kalah perang. Kita tahu bahwa tak lama setelah ini, lalu Republik Indonesia tegak berdiri. Nahasnya, tanah yang sejak mula didiami warga itu malah diklaim oleh TNI AU.

Ini yang mendasari pembuatan lagu Wakare (yang artinya berpindah dalam bahasa Jepang). Ini pula yang kemudian menjadi alasan warga merancang perlawanan kultural. Mereka mendirikan Museum Wakare yang turut menjelma menjadi tajuk pasar kuliner.

Bahkan Peristiwa Wakare ini kerap diperingati warga Kampung Wates setiap tanggal 5 Mei. Begitulah kisah awal perjalanan Motherbank yang sekarang tidak hanya menyemat kategori sosial sebagai ibu rumah tangga dan konsumen simpan-pinjam. Kiwari mereka juga sah memiliki atribusi lain: musisi.

Kebersamaan para personil Motherbank. Mereka sedang bercengkrama dalam proses pembuatan lagu. (Foto: Andzar Agung Fauzan)
Kebersamaan para personil Motherbank. Mereka sedang bercengkrama dalam proses pembuatan lagu. (Foto: Andzar Agung Fauzan)

Meretas Jalan ke Dapur Rekaman

Secara musikal, Motherbank tampak mereplikasi pola kasidahan di setiap penampilan. Alunan musik kasidah dan panturaan kemudian diolah sedemikian rupa. Hingga menjadi dasar dalam menghasilkan keputusan penggunaan kostum di setiap pentas mereka. 

Fakta bahwa mereka mendapat bantuan sejumlah pelaku seni lainnya memang sulit terelakkan. Namun bersamaan dengan itu, Motherbank kian menancapkan pengaruhnya di sekitaran Majalengka. Pasar Kuliner Wakare, yang dirancang kehadirannya sehari dalam seminggu, juga kian ramai dikunjungi masyarakat sekitar.

Sementara kabar teranyar mencuat bahwa Motherbank akan merilis album perdananya dalam waktu dekat. Tercatat nama Aaf dan Pipin dari Kosmik JaF (Konsorsium Musik Keramik, Jatiwangi art Factory) yang sejak awal turut menemani para personil Motherbank.

Dengan semua itu, mereka mampu menjadi ibu-ibu yang tidak hanya berkegiatan di dapur rumah, tapi juga di dapur rekaman. Bersama warga lainnya, mereka terus maju menerjang kerasnya kehidupan. Mereka aktif bergiat di Pasar Kuliner Wakare setiap minggu. Mereka pun tetap menjalani rutinitas latihan yang diselenggarakan pada hari Jumat petang.

Yang menarik, kini ada beberapa asumsi yang dapat dibatalkan dengan melihat kenyataan sebagaimana disebut di muka. Salah satunya, bias yang menghantui kelompok menengah. Mereka yang acap kali menilai masyarakat perdesaan memiliki inisiatif rendah, dan kerap menilik kehidupan di desa dengan perspektif romantik; jauh dari konflik.

Jika mengikuti pandangan bias serupa di atas, maka kehadiran Motherbank akan dianggap sebuah penyimpangan. Dengan demikian, singkat saja untuk menanggapi keantikan mereka itu. Cukup dengan satu larik yang termaktub dalam lagu Motherbank: Sabodo teuing!

Penampilan Motherbank di Zona 1 pintu masuk Perhutana, Sabtu, (6/5/2023). (Foto: Andzar Agung Fauzan)
Penampilan Motherbank di Zona 1 pintu masuk Perhutana, Sabtu, (6/5/2023). (Foto: Andzar Agung Fauzan)

Motherbank kian Berpijar

Sabtu 6 Mei 2023 merupakan hari yang menggembirakan bagi para personil Motherbank. Untuk ke sekian kalinya mereka mendapat kesempatan tampil di hadapan publik luas. Tepat menjelang siang, para personil Motherbank mencurahkan segenap kemampuan di acara”'Deklarasi Majalengka untuk Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan”.

Dalam sebuah agenda yang diinisiasi Perhutana dan Jatiwangi Art Factory, Motherbank tampil di hadapan ratusan warga dan sejumlah otoritas terkait. Terlihat puluhan anak-anak sekolah turut menyaksikan penampilan Motherbank.

Untuk beberapa alasan yang mulanya saya tak tahu persis, acara ini di helat di tengah kebon awi jika dalam frase orang Sunda. Saya berupaya menggali informasi lebih lanjut. Ternyata itu adalah Zona 1 pintu masuk Perhutana. Salah satu personil Motherbank, Aaf, mengkonfirmasi hal ini.

Dalam satu cuplikan video yang disebarluaskan, Motherbank tampil dengan penuh energi. Sejumlah penonton pun tak luput dari rasa ingin berdendang. Disaksikan berbagai kalangan, mereka sungguh mampu menghibur semua yang hadir di sana. Jika penasaran, saya ingatkan kembali, tunggu saja rilisan album perdana mereka.

Dan yang jelas, ini bukanlah panggung perdana Motherbank di depan khalayak luas. Untuk kali pertama, Motherbank mengawali penampilan dalam acara pameran seni di Museum Nasional Jogja, (7/10/2021). Selain itu, mereka sempat pentas di acara pembukaan pameran seni Indonesian Contemporary Art dan Design (ICAD) di Kemang, Jakarta selatan (21/10/2021).

Ada satu hal yang menarik. Ternyata Motherbank juga pernah mendapat kesempatan residensi di Magelang, kawasan Candi Borobudur. Selama dua minggu, mereka berkolaborasi bersama ibu-ibu Dusun Klipoh Desa Karanganyar, suatu wilayah yang dikenal sebagai pengrajin dari tanah liat atau gerabah.

Motherbank lalu merancang berbagai kegiatan. Salah satunya, menghasilkan lagu berjudul “Bubaran Sunrise”. Ada pun sejumlah lagu lainnya yang telah dibuat para personil Motherbank merupakan pengembangan dari hasil jerih payah latihan selama 5 bulan.

Maka jangan heran pula jika ada beberapa lagu yang memang dinilai sangat personal. Hal tersebut tidak luput dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai buruh pabrik keramik, penjual makanan, dan ibu rumah tangga (sialnya, masih ada yang menganggap kerja-kerja rumah tangga sebagai kerja tidak produktif!).

Yang menakjubkan adalah jika menilik kandungan dari karya lain yang dibuatnya. Kita bisa lihat lirik lagu pabrik misalnya. Betapa dahsyatnya lirik tersebut. Ia merekam derap pembangunan dan rutinitas yang teramati.

Ia seolah sedang mencipratkan segayung air pada sekumpulan orang yang meracau. Sebagaimana dapat dilihat dari petikan berikut:

Setiap hari hilir mudik, orang muda pergi ke pabrik

Menyebrang jalan tak mudah lagi, kendaraan makin berisik

Sawah tanah terus menyempit, membangun kontrakan melejit

Pedagang untung sambil meriung, jajanan kampung laku melambung..

La la la la la la la la

Kakek nenek ngasuh incu, ayah ibunya bekerja,

Pergi pagi pulang magrib, untuk beli rocket chicken..

La la la la la la la la…

Demikian salah satu lirik yang menceritakan kisah kehidupan pascakehadiran pabrik. Dipadukan dengan alat musik perkusi yang terbuat dari tanah liat, Motherbank secara jitu mampu menyihir publik. Hal ini diperkuat alunan gitar dan bass yang dikulik Aaf dan Pipin.

Sebagaimana lirik pabrik, kisah-kisah yang termaktub dalam karya yang dibuat Motherbank sebetulnya tak semata-mata merekam kisah harian. Tapi yang mendasar adalah ihwal keresahan. Sebuah keresahan yang nyaris setiap hari menyelimuti mereka.

Saya tak bisa berpikir lebih banyak lagi kecuali meyakini, bahwa melalui karya-karya yang dibuatnya, Motherbank jelas bakal menjadi kolektif penting di negeri ini.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//