Lair, Cahaya Penerang Jatisura
Lair secara tekun menggali tradisi tarling klasik Pantura untuk menyuarakan isu-isu sosial di tengah masyarakat akar rumput. Karya-karya lahir bukan dari bualan.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
22 April 2023
BandungBergerak.id - Jalanan di desa Jatisura, Majalengka, masih tampak lengang. Pukul satu menjelang dini hari, Minggu, (2/4/2023). Hanya sesekali pengendara sepeda motor melintas.
Beberapa warung makan terlihat sudah buka. Barangkali karena bulan suci Ramadan. Warung-warung itu melayani mereka yang tidak sempat memasak untuk sahur.
Tidak jauh dari sana, ada kerumunan puluhan orang. Sebagian memakai sarung layaknya orang meronda. Seperangkat alat musik yang mereka bawa menjadi penanda untuk apa mereka berhimpun: battle obrog-obrog.
Ada yang membawa alat musik serupa kendang. Sebagian yang lain menenteng gitar. Sebuah toa disimpan di atas sepeda.
Setelah kord pertama A Minor digenjreng, tanpa ada komando, beberapa orang langsung bersuara. Seorang perempuan mulai berlenggak-lenggok ala sinden. Dia bersahut-sahutan dengan seorang perempuan lainnya. Mengikuti alunan musik, keduanya mulai menyanyikan sebuah gending Banyumasan.
"Waru doyong, kangmas, pinggir jalan
Ngeluyur mas, Kangmas, cari kenalan
Kenal sama orang eretan
Orangnya gagah dendi pisan."
Kerumunan orang di dekatnya, dengan gestur yang sama, ikut bergoyang sembari menabuh alat-alat musik yang lain. Simbal, beserta gong, sesekali mengiringi alunan musik mereka.
Obrog-obrog merupakan 'alarm' sahur bagi warga Majalengka dan sekitarnya. Tradisi ini telah berlangsung sejak lama. Obrog-obrog biasanya digelar mulai pukul 00.30-03.30 WIB. Nama obrog-obrog sendiri konon digali dari suara alat musik tradisional zaman dulu, yakni rebana dan gembyung.
Bebunyian yang dihasilkan dari alat-alat ini kemudian melekat kuat di dalam benak masyarakat. Sejumlah budayawan kemudian menyodorkan pendapat bahwa puluhan orang yang rutin membangunkan sahur di Majalengka dan sekitarnya, hingga sekarang, dikenal dengan nama obrog-obrog.
"Gelombang Pemecah Malam. Perhelatan battle obrog sangatlah enerjik. Hatur nuhun semua yang hadir dan terlibat. Asik," demikian keterangan yang diunggah akun Instagram Lair Musik, kolektif musik asal Jatisura, Majalengka.
Saya menyaksikan sehimpun orang yang tergabung dalam kolektif musik Lair, via Instagram live, dengan perasaan takjub, bercampur rasa heran. Takjub melihat betapa totalitas yang dilakoni mereka sungguh menghasilkan karya yang begitu indah.
Nyaris setiap tahun, secara rutin Lair melakukan battle obrog. Tak hanya untuk membangunkan orang sahur di bulan suci Ramadan, namun juga saat terlibat di berbagai kegiatan lokal lain yang sering pula diinisiasi mereka, yang terhimpun dalam satu wadah bernama Jatiwangi Art Factory.
Mengenai hal ini, kawan bisa juga menilik informasi terkait Festival Musik Keramik, atau Festival Rampak Genteng yang bertajuk Gerakan Masyarakat Tanah Berbunyi. Sebuah gagasan brilian yang secara organik tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat setempat.
Lalu rasa heran hadir saat obrolan via daring dengan admin Instagram Lair beberapa hari setelah mereka merilis single anyar yang menyingkap fenomena unik di tengah pemukiman warga. Begitu sederhana, pikir saya. Sekelompok musisi yang telah malang melintang ke berbagai penjuru dunia, masih bersedia untuk bersentuhan dengan kolektif akar rumput yang sehaluan dengannya. Dan mereka melakukannya dengan gegap gempita!
Menggali Akar Tradisi
Lair merupakan kolektif musik asal Jatisura, sebuah desa di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Kawasan ini dikenal sebagai desa kreatif yang digawangi organisasi nirlaba Jatiwangi Art Factory. Bukan kebetulan jika punggawa Lair merupakan bagian di dalamnya.
“Kalau diumpamakan, mungkin Jatiwangi Art Factory (JAF) ini rumah kita, ya,” ucap salah satu personil Lair, saat dihubungi via daring, Sabtu, (15/4/2023).
Pada tahun 2018, Lair didirikan. Secara musikal, mereka mengusung (atau memaknai) apa yang disebutnya sebagai Pantura-Soul. Dalam proses berkarya, mereka menggali persoalan yang dialami orang-orang terdekat dengan melakukan pengamatan keseharian masyarakat.
Arti penamaan Lair sendiri digali dari bahasa tarling klasik, yang berarti “lahir”. Konon, Lair dimaknai sebagai upaya untuk terus melahirkan sesuatu karya, entah musik, pemikiran, eksperimen seni budaya, atau yang lain.
Kita bisa melihat upaya mereka menggali inspirasi dari bentuk kesenian lainnya. Misalnya, mengadopsi gaya penari sintren Cirebonan. Gaya penari ini dinilai berkharisma, genit, dan bernuansa mistis. Suatu hal yang direplikasi Ika, vokalis Lair.
Yang menarik, Lair juga berperan sebagai wadah riset intensif. Mereka terlibat aktif dalam upaya menggali budaya Pantura: tarling klasik. Bukan suatu kebetulan jika pagelaran battle obrog-obrog saat bulan suci Ramadan juga bersumber dari hasil riset yang mereka lakukan.
“Di luar kegiatan bermusik, anak-anak mengerjakan kegiatan sesuai ketertarikannya masing-masing. Ada yang merancang perpustakaan (Ika sendiri tercatat sebagai pengelola @pembacapantura), ada pula yang membuat riset dan jurnal,” ungkap salah satu dari mereka.
Bahkan bukan hanya tulisan, Lair juga sempat membuat jurnal audio dengan merekam satu bulan penuh kegiatan obrog-obrog di jalur Pantura. Mereka kemudian membuat filmnya.
Lair mampu menangkap dengan tajam gejala-gejala di sekitar. Dan mereka, saya kira, kerapkali menyodorkan perspektif yang mungkin jarang dipikirkan banyak orang. Saya beranggapan bahwa setiap karya yang mereka buat bukanlah terlahir dari bualan kosong di kamar sembari menenggak alkohol. Tapi dari kenyataan.
Sebagai bukti, Lair memiliki instrumen rakitan sendiri. Seperti gitar bass yang dibuat dari genteng Jatiwangi. Dalam obrog-obrog juga demikian. Mereka menggunakan pengeras suara toa sebagai wahana amplifikasi gitar. Seolah menjadi penegasan bahwa karya yang dibuat bukanlah berdasar khayalan-khayalan yang hanya didapat dari lamunan.
Lair terjun ke tengah kehidupan masyarakat. Berupaya untuk mendapatkan informasi faktual, memahami realitas, dan memecahkan persoalannya sebelum dilepas ke publik luas. Lagu-lagu mereka juga turut membuktikannya.
Pengalaman hidup seorang sopir truk, nelayan yang berlayar di Laut Jawa, friksi elite politik lokal, hingga keluh kesah pekerja upah, bisa dikemas sedemikian rupa menjadi suatu karya. Visualisasi, yang kerap hilir mudik dalam berbagai penampilan Lair, menjadikan cerita kian kuat.
Kita bisa menengoknya dalam beberapa konten Instagram Lair. Misalnya, beberapa orang lelaki kekar bertelanjang dada, yang berpose layaknya binaragawan profesional. Semua diajak tampil di Synchronize Festival. Tubuh mereka (yang mayoritasnya merupakan buruh genteng) dibaluri minyak. Ini membuatnya jadi kilau gemerlap, seperti peluh keringat.
Selain menangkap dan menggaungkan nilai kerja yang dicurahkan buruh genteng di Majalengka, Lair juga merekam kehidupan sopir truk Pantura. Suatu hal yang termaktub dalam lirik lagu Roda Gila. Berikut petikannya:
"Meraba jalanan gila menggila
Panas debu dan serapah
Di roda-roda yang lelah."
Bagi warga Bandung dan sekitarnya, mungkin saja kisah sopir truk ini terasa memiliki jarak. Tapi, tidak bagi warga Pantura. Semuanya merupakan sesuatu hal yang bisa dijangkau secara kasat mata. Begitu banyak ulasan yang secara khusus membahas hal tersebut.
Dalam bentuk lain, mungkin novel Eka Kurniawan yang berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” turut menggambarkan ihwal bagaimana kehidupan sopir truk. Namun, secara singkat, kita bakal menemukan hal-ihwal yang begitu presisi di dalam karya Lair ini.
Satu hal lain yang menarik, Lair mampu menangkap gejala, juga rutinitas yang biasa dialami nelayan yang berlayar di sekitaran Laut Jawa. Kita bisa menemukannya dalam lagu Biru Beriak.
“Berlayar di tengah
Hamparan biru beriak
Selalu bergerak
Selalu bergerak
Selalu berdetak
Selalu berderu.”
Saat ditanya, dengan sedikit kelakar, mengenai kesamaan mereka dengan apa yang diusung Lekra, jawaban mereka justru di luar dugaan. Tanpa keraguan, mereka menegaskan bahwa anggapan itu sebetulnya tidak keliru.
“Mungkin karena kita bekerja bersama orang banyak, orang sekitar. Bagaimana seni ini berfungsi? Ya, kita kerjakan soal itu untuk mengatasi sesuatu. Jelasnya, karya seni yang kita lakukan pasti bersinggungan dengan situasi sosial,” ungkapnya.
Bukan kebetulan pula jika ada personil mereka yang terlibat dalam beragam platform gerakan sosial. Aaf dan Pipin, misal, juga bergiat dengan grup Mother Bank. Sebuah kolektif ibu-ibu di Kampung Wates, Majalengka.
Kampung Wates memiliki sejarah yang panjang dengan perlawanan agraria. Hingga kini, warga Wates tidak memiliki legalitas soal tanah yang didiaminya, sebab sejak era Jepang, mereka telah terlibat konflik tanah dengan Angkatan Udara.
Aaf, Pipin, bersama Mother Bank membuat sebuah lagu Wakare (yang artinya berpindah, dalam bahasa Jepang). Lagu ini menceritakan soal fasis Jepang yang membuat lapangan udara begitu banyak, namun membuat kehidupan desa menjadi rusak.
Warga setempat dipaksa pindah, padahal sudah terlanjur betah. Itu yang akhirnya membuat Mother Bank, sebagaimana Lair, mengungkap apa yang dialami warga dalam sebuah karya seni, visual, dan sebagainya.
Dan inilah yang paling penting dari karya-karya Lair. Saya pikir, nyaris musykil untuk kehilangan relevansi.
Ambil contoh lagu berjudul Nalar. Kita tahu bahwa sebentar lagi publik bakal dihadapkan pada tahun politik. Dan kita juga tahu, bagaimana pengalaman negatif beberapa tahun silam mengajarkan bahwa tahun politik punya andil buruk dalam hubungan masyarakat. Yang terparah, kisruh juga terbawa pada tingkatan keluarga.
Secara jitu, Lair menangkap kekisruhan yang memuncak pada tahun 2019 itu dan mengolahnya dengan bentuk yang pas. Lagu Nalar menjadi ekspresi keresahan dalam melihat pertarungan politik elite.
“Fokus kita di lagu ini, jangan sampai nalar kita semua hilang di musim politik. Bukan berarti berbeda pandangan mengharuskan permusuhan, kan? Ya, siapa saja berhak dipilih dan memilih. Atau golput juga, kan, sebuah hak. Yang penting nalar kita tetap terjaga, sing eling! Hahaha,” ungkapnya, diiringi gelak tawa.
Menurut mereka, apa yang termaktub dalam lagu Nalar begitu relate dengan gambaran situasi politik pada saat itu di Majalengka. Terlebih, saat itu bersamaan dengan adanya pemilihan desa. Walhasil suasana kian runyam, sebagaimana yang terekam dalam petikan lagu Nalar.
"Menerka, Menerkam, Menghantam
Menyamarkan Suara yang Menyala
Menjalar, menular
Melemahkan setiap nalar."
Baca Juga: Rampak Genteng Jatiwangi dan Kedaulatan Warga atas Tanahnya
Pabrik Genting Jatiwangi Bertahan dalam Ancaman Industrialisasi
Para Idola
Lair begitu mengagumi, dan sekilas tampak berusaha, meneladani Wa Lulut Casmaya. Ia adalah seniman tunanetra asal Bantarwaru, Majalengka yang menjadi maestro musik tarling klasik. Suatu hal yang diungkap Lair dengan begitu romantik.
“Wa Lulut Casmaya, maestro musik tarling klasik, salah satu panutan kami yang masih cadas meskipun sudah lanjut usia. Mari kita doakan Wa Lulut sehat selalu di usianya yang makin menua,” katanya.
Sesama asal Majalengka, Lair juga sangat menghormati budayawan Ajip Rosidi. Kita bisa melihat bagaimana Ajip Rosidi menjadi inspirasi bagi Lair untuk menghasilkan sebuah karya seni. Kita bisa mendengarkan lagu berjudul Nama dan Makna, yang merupakan musikalisasi sajak Ajip Rosidi.
Namun, sosok terpenting yang begitu menginspirasi Lair adalah pria bernama Sudjana Partanian. Ia merupakan maestro tarling asal Cirebon. Pria yang akrab disapa Mama Jana ini lahir dan tumbuh saat tarling mulai berkembang di era kolonial.
“Mama Sujana atau yang akrab dipanggil Mama Jana ini adalah legenda tarling klasik asli Cirebon yang jadi alasan kami lahir, gaes,” begitu pernyataan Lair dalam unggahan Instagram mereka pada 29 Juli 2018.
Mama Jana inilah yang sejak 1936 menaruh perhatian seluas-luasnya pada tarling. Ia mendirikan sanggar tarling klasik setiap minggunya, tanpa berharap imbalan apa-apa. Alias dihelat secara cuma-cuma. Semua dilakukannya hanya demi kelestarian tarling.
“Sehat selalu, Mama Jana,” demikian doa yang disampaikan para personil Lair.
Kolaborasi dengan Monica Hapsari
Belum lama ini, tepatnya Kamis (14/4/2023), Lair merilis single baru berjudul “Setan Dolbon” di bawah label Orange Cliff. Momentumnya, disadari penuh oleh para punggawa Lair, memang bertepatan dengan bulan Ramadan.
“Kita tertarik membuat lagu ini. Seperti lagu religi, kan, karena liriknya ‘Oh, tunjukan arah dari segala serangan setan’. Ya, walaupun cerita lagu ini sedikit lucu dan konyol, tapi ya itulah peristiwa yang terjadi di tempat kami,” katanya.
Seperti lagu religi pada umumnya, Setan Dolbon membuat saya merasakan sensasi tertentu. Kiranya dosis spiritualitasmya hanya ada sedikit di bawah Putih-nya ERK.
Dalam Setan Dolbon, Lair menggandeng vokalis Pandai Besi, Monica Hapsari. Nama yang tak asing dalam belantara musik Tanah Air. Sebagai seorang seniman, ia tercatat pernah terlibat dalam proyek kolaborasi dengan White Shoes and The Couple Company, Goodnight Electric, The Upstair, Sore, dan yang lain. Jika masa remaja kawan-kawan ditemani lagu-lagu dari band asal Bandung yang seluruh personilnya perempuan yang dikenal dengan nama Boys Are Toys, Monica Hapsari inilah salah satu yang terlibat di dalamnya.
Bersama Monica Hapsari, Lair merancang Setan Dolbon, sebuah legenda urban yang pada 2013 pernah viral di sekitaran Jatiwangi, Majalengka. Tepatnya di desa Brujul Wetan, Brujul Kulon, dan sekitarnya.
Semua kegemparan bermula saat sejumlah warga mendapati temuan aneh, yakni banyaknya feses atau tinja manusia di area pemukiman. Bukan kebetulan jika ‘dolbon’ merupakan akronim dalam Bahasa Sunda, yang merupakan modol di kebon. Atau, berak di kebun.
Berbagai kabar tak sedap menjalar serupa akar. Sebagian menganggap ini ulah binatang ternak, perilaku pasien orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), atau bagian dari ritual ilmu hitam atau pesugihan. Muncul rasa saling curiga di antara warga. Suatu hal yang membuat aparat kepolisian terpaksa ikut turun tangan menyelidiki persoalan.
Sejumlah tenaga medis dari Puskesmas Jatiwangi juga turut dilibatkan. Mereka melakukan observasi kandungan tinja yang dicurigai warga. Hasilnya cukup mengejutkan. Feses atau tinja yang bertebaran ini memiliki kandungan hewan, dan juga bayi manusia.
Situasi makin rumit tak terkendali tatkala muncul isu bahwa tanaman atau semak Ruyuk Bambu Kuning tiba-tiba hilang secara serentak. Ruyuk Bambu Kuning konon dipercaya warga sebagai tanaman penangkal ilmu hitam.
Yang terparah, situasi genting kian menghasilkan beragam masalah turunan. Timbul keresahan warga desa yang berujung perpecahan: merebaknya fitnah antar sesama warga. Terutama pada orang yang tiba-tiba memiliki harta.
Hingga kini, persoalan ‘Setan Dolbon’ itu tidak pernah terpecahkan. Sederet jawaban yang disodorkan belum cukup memuaskan. Barangkali, warga setempat bersandar pada satu narasi klise: tak semua hal di dunia membutuhkan jawaban. Banyak fenomena yang seringkali berada di luar jangkauan logika, begitu kira-kira asumsi mereka. Padahal, jika boleh saya menduga, bisa saja kan orang yang tiba-tiba kaya raya itu adalah mereka yang mendapat ‘kue’ dari program MP3EI-nya Hatta Rajasa.
Ironisnya, alih-alih memberikan penjelasan, atau membantu warga untuk memecahkan persoalan serius ini, polisi beserta aparatur desa setempat malah menawarkan solusi yang seharusnya menjadi ranah pemuka agama: anjuran berdoa.
Berangkat dari sanalah, Lair dan Monica Hapsari kemudian merancang dan melepas single “Setan Dolbon” ke khalayak luas. Barangkali juga untuk mengingatkan siapa-siapa yang khilaf untuk selalu mawas diri dan berhati-hati supaya tidak terpancing hoaks dan tidak mudah terseret ke dalam bujuk rayu godaan setan (dan pembangunan?!).
“Oooo tunjukkan arah..
Dari segala rayuan Setan..
Awas bahaya….Awas tergoda..
......Setan Dolbon!”