WAHAM yang Lantang Bicara Soal Mental
WAHAM digawangi tiga personil. Sena Muzak (Vokal dan Gitar), Kristaldi Klaudiawan (Bass) dan Muh. Siddik (Gitar). Sebagai band medical-rock, mengusung tema kegilaan.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
6 Mei 2023
BandungBergerak.id – Suasana libur lebaran masih terasa sedap. Hari itu, Rabu (26/4/2023), saya tiba di rumah Kristaldi Klaudiawan di bilangan Margahayu Raya, Kota Bandung. Ia tampak sedang khusyuk depan laptop, dengan headset yang menempel di telinga.
Di hadapannya, terlihat segelas kopi yang masih terisi. Tenang dan temaram. Begitulah ruang kerja Kristaldi Klaudiawan yang terletak di lantai dua. Dia mempersilakan masuk untuk kemudian bercakap-cakap mengenai musik yang sedang digelutinya.
Kristaldi tercatat sebagai bassist sekaligus produser salah satu band asal Kota Bandung. Ia lalu menceritakan awal mula kegiatan bermusiknya yang -siapa sangka- di luar kelaziman. Sebab band yang didirikannya lahir dari unsur ketidaksengajaan.
Berbeda dengan band pada umumnya yang dirancang sedemikian rupa. Kristaldi pada awalnya hanya iseng-iseng saja mencari penebusan di tengah rutinitas harian. Bersama rekan-rekannya, ia kemudian memutuskan untuk serius menekuni kegiatan bermusiknya itu.
Bermula pada saat pageblug menyerang. Kala itu seluruh warga terpaksa mendekam di rumah masing-masing. Berangkat dari sana, sekelompok pemuda asal Margahayu Bandung merealisasikan idenya: bikin band.
Kristaldi merupakan salah satu penggagas awal. Dengan nama WAHAM, mereka memproklamirkan diri sebagai sebuah band medical-rock.
“Niatnya mah hanya rekaman. Bikin album. Gak pengen manggung sebetulnya,” ungkap Kristaldi, saat ditemui di kediamannya pada hari Rabu, (26/4/2023).
Seorang lainnya, yakni Muh. Siddik, turut mengiyakan pernyataan itu. “Awalnya mah memang diskografi doang. Tapi, ya sudah, lanjut weh,” ungkapnya.
Suatu hal yang juga diafirmasi Roadman WAHAM, yang akrab disapa Wildan Enjeh.
“Ya, gitu, Alhamdulillah, hehehe,” ucap Wildan sembari terkekeh, seraya menambahkan bahwa sebetulnya ia sempat ditawari untuk memainkan synthesizer di WAHAM, lalu diiringi gelak tawa seluruh kawan yang berada di sekitar.
WAHAM digawangi oleh tiga orang personil. Mereka adalah Sena Muzak (Vokal dan Gitar), Kristaldi Klaudiawan (Bass) dan Muh. Siddik (Gitar). Ketiganya memiliki frekuensi musik serupa, dan bukan kebetulan jika mereka sama-sama pula merasa bosan di era pandemi.
Mereka mengusung tema “kegilaan”. Dan terkadang mengklaim sebagai “Band Rock Keluar Kamar”. Sebab pada awalnya masing-masing dari mereka hanya aktif memproduksi karya di kamar. Bayangkan saja. Kegilaan macam apa yang dibuat mereka.
Demikian adanya bahwa para personil WAHAM sebelumnya hanya melakukan kegiatan bermusik secara mandiri. Tentu mayoritas karya lagu tersebut sekadar menjadi sebuah arsip pribadi, yang diproduksi dan dinikmati sendiri. Tepat di sinilah perjalanan mereka dimulai.
Suara-suara yang telah mereka produksi itu kemudian bermetamorfosa menjadi single pertama yang dirilis pada awal bulan Juli lalu. Single itu diberi judul Circus. Sebagian pendengar beranggapan bahwa single dari WAHAM terdapat unsur brit-pop.
Secara musikal, sebagian menilai Circus serupa perpaduan Manic Street Preachers, Mansun, dan James. Jika penasaran, silakan diuji kebenarannya. Meski hal ini kemudian ditepis oleh Kristaldi, yang lalu melanjutkan bahwa Sena Muzak sendiri mulanya banyak dipengaruhi Incubus.
Muh. Siddik juga menerangkan bahwa ia sebetulnya tidak ingin terpaku pada satu genre musik. “Tidak ingin terkotak-kotakan,” ungkapnya. Yang jelas, bukan kebetulan jika lirik dalam Circus ditulis dengan penuh ironi. Ada pula sentuhan ciamik pada melodi gitar di sepanjang lagu.
Dan ini yang menarik, dalam penampilan live, WAHAM kerap menyertakan gimik. Mereka sering memakai pakaian medis serupa pasien rumah sakit. Selain itu, lantunan serta pengucapan lirik mereka juga terdengar sangat kental dalam aksen British.
Usut punya usut, ternyata sang vokalis (Sena Muzak) memang memiliki darah campuran British. Lagi-lagi bukan kebetulan jika keseluruhan lirik untuk single ini pun ditulis dalam bahasa Inggris. “Semua lirik digarap Sena, dia mah memang Englishman in Bandung,” ungkap Kristaldi, diiringi tawa.
Dalam satu kesempatan bercakap-cakapan dengan Sena, ia turut mengafirmasi hal ini. Menurutnya, dalam meramu lirik WAHAM, lima lagu pertama kebanyakan didasarkan pada pengalaman empiris. Namun dirinya tak menampik bahwa bahan-bahan bacaan juga cukup mempengaruhi dalam proses pembuatan lirik.
“Topik-topik filosofis, psikologi, dan sosiologi, saya suka. Beberapa seniman juga, sih, kadang jadi patokan,” ungkap Sena, seraya memberi gambaran saat Freddie Mercury atau Iwan Fals meramu suatu karya. “Mereka kerap mengolah kata-kata yang gak lazim dipakai, tapi bisa enak didengar”.
Kiwari, Circus telah tayang melalui kanal YouTube WAHAM terhitung sejak tanggal 23 Juli 2022. Dalam video Circus tersebut, WAHAM menyuguhkan sebuah visual yang selaras dengan manifestasi yang ingin disampaikan, yakni rangkaian isolasi dan pengalaman kesendirian saat pandemi; dialog serta suara-suara yang berkutat di dalam kepala masing-masing dari mereka.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #66: Menilik Dinamika Pemilu 1999 di Bandung
Lair, Cahaya Penerang Jatisura
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #11: Khatimah
“Self-Diagnose”
Tepat pada tanggal 5 Mei 2023, WAHAM merilis single kelima dan terakhir dari EP "self-diagnose". Single baru berjudul Void merupakan trek yang membahas perasaan terputus dari realitas dan terjebak dalam kehampaan.
“Lagu ini menggambarkan sound khas WAHAM yang memadukan chord gitar atmosferik yang unik, vokal yang menghantui, lirik yang introspektif,” demikian penjelasan Kristaldi. Ia seolah mengingatkan pada salah satu corak pandangan yang menekankan keabsurdan dan ketidakbermaknaan.
Hal serupa juga diungkap Sena Muzak dalam satu kesempatan. Sebagai vokalis utama WAHAM, ia mengatakan bahwa lagu ini bercerita perihal kekosongan dalam kehidupan. Ada pun Muh. Siddik, Gitaris Band, menambahkan jika Void sebetulnya ingin mengingatkan bahwa semua memiliki momen ketidakpastian dalam hidup ini.
Secara keseluruhan, EP "Self-Diagnose" memang memiliki kecenderungan dalam mengeksplorasi tema-tema kesehatan mental. Hal itu mereka lakukan tanpa keraguan –jika tidak bisa dinilai cukup tajam. Dengan lantang mereka menyoroti fenomena aktual di tengah masyarakat. Bahwa ada sebagian yang dengan gampangan memvonis atau mengklaim diri memiliki gangguan atau penyakit psikis tertentu.
Ironisnya, klaim yang diungkap kerap kali dibeberkan sebelum didiagnosa oleh para ahli (self-diagnose). Atas dasar itulah WAHAM menyuarakan pesan yang, menurutnya, begitu riskan jika dengan mudahnya orang mengklaim diri memiliki penyakit kejiwaan. Secara jitu WAHAM mampu meledakkan dinamit ke sekumpulan orang-orang yang dikasihaninya itu.
Yang menarik adalah saat Kristaldi menjelaskan proses rekaman "Self-Diagnose”. Bahwa ia secara sengaja menggunakan software DAW lawas yang pernah menjadi primadona studio musik digital pada 2004 silam. Namun sesuai dengan spesifikasi yang sangat ringan untuk perangkat keras jaman sekarang.
“Hal itu ditujukan untuk menghasilkan suara yang kasar dan kotor. Serta menciptakan suara ‘white-noise’ yang menghantui pada setiap bitrate-nya,” ungkap Kristaldi, seraya menambahkan bahwa hasilnya membuat ia puas.
“Seperti raungan distorsi ala Mudhoney era akhir 80an dipadu dengan delay ala U2,” pungkasnya. Dalam waktu yang akan datang, Void bakal tersedia di semua platform streaming utama. WAHAM pun tengah merencanakan serangkaian pertunjukan live untuk mendukung perilisan EP mereka.
Klaim Terbantahkan
Beberapa tahun lalu, entah kelakar atau bukan, terdengar gaung berisi muatan soal skena musik Bandung yang kian redup. Seturut penelusuran, ternyata pada mulanya soal tersebut diulas di kanal YouTube Noise Land, dan diberi tajuk “Ada Apa Dengan Bandung?”.
Dalam acara yang dipandu Oomleo dan Ardhito Pramono itu, lahir pernyataan soal Musik Bandung yang konon telah kehilangan pesonanya. Sebetulnya hal ini sudah jauh hari ditanggapi banyak orang. Kita tahu bahwa salah satu yang turun gelanggang saat itu adalah Acin The Panturas.
Dengan mudah persoalan tersebut dijawab dengan hadirnya Festival Kampung Kota yang dirancang sebagai tanggapan atas penggusuran yang dialami warga Bandung. Bahwa rumah tidak hanya memiliki dimensi tunggal. Tentu ini disadari betul. Ia bukan hanya bukan tempat untuk berlindung dari panas, atau semata hujan.
Namun juga eksistensi seseorang sebagai makhluk sosial, dan simbol kemapanan dalam periode sejarah masyarakat tertentu. Bagi yang pernah kehilangan rumah, hidup terasa lebih melelahkan. Percayalah. Atau barangkali penggusuran tidak (atau belum?!) dialami mereka. Kemungkinan, sih, iya.
Tepat pada konteks permasalahan ruang itulah Festival Kampung Kota merangsek ke relung kehidupan warga yang tergusur. Serupa nuklir yang mempunyai hulu ledak tinggi. Betapa dahsyatnya pesona musik Bandung dalam kasus ini. Dan itu pula yang dikedepankan Iman Herdiana dalam artikel yang tayang 9 April 2022.
Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai minimnya ruang pertunjukkan untuk mengadakan pagelaran besar. Belum lagi soal pemangku kebijakan yang terkesan kurang memberi dukungan pada kegiatan musik di Bandung. Secara parsial, sebetulnya kehadiran WAHAM pun turut mampu menjawab isu yang diresahkan sebagian kalangan itu.
Dengan demikian, rasanya kurang tepat jika musik Bandung dibilang redup. Namun untuk menembus permukaan, sebagaimana dikatakan Acin, memang sulitnya bukan main. Dalam pengertian, yang diperlukan bukan hanya skill, tapi butuh jaringan luas untuk merengkuh orang banyak.
Jika memang kesenangan personal yang diutamakan, apa boleh bikin. Terlebih saya sendiri berharap semoga ke depannya WAHAM terlibat ke dalam pergolakan sosial, yang tentunya memiliki tendensi politik kental. Wabilkhusus pada persoalan ruang sebagaimana diresahkan banyak orang.
Meski pada mulanya saya mengungkap hal tersebut dengan sedikit kelakar. Beruntung, gayung bersambut. Harapan demikian ternyata telah diupayakan WAHAM. Suatu hal yang diungkap Sena Muzak dalam satu obrolan.
“Ada, sih. Lagi menyiapkan materi soal climate change,” ungkapnya, seraya mengelaborasi materi yang rencananya akan dirilis di Hari Bumi tahun depan.
Bahkan Sena juga tidak mengelak jika nantinya WAHAM mungkin saja bergerak ke arah yang lebih curam. Dalam pengertian, tidak melulu berkutat pada soal abstrak. Tapi melibatkan diri pada keresahan yang dirasa banyak orang. Bersandar pada kenyataan. Serupa suri tauladan yang menggenggam bara api di hadapan otoritas macam Margareth Thatcher.
“Ini memang udah waktunya untuk bergerak. Kebetulan saya pernah gabung yayasan yang concern di isu iklim. Dan saya sadar bukan yang pertama, isu iklim udah banyak dibicarakan banyak orang. Tapi pesannya harus terus disampaikan. Saya pengennya lagu ini nanti jadi anthem,” ungkap Sena.