BUKU BANDUNG #66: Menilik Dinamika Pemilu 1999 di Bandung
Buku “Pemilu '99 Bandung: pesta rakyat atau pesta partai? : laporan telaah kritis” kiranya pas dibaca untuk memperoleh gambaran sebelum menghadapi pemilu 2024.
Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha30 April 2023
BandungBergerak.id – Ribuan orang berseragam putih-hijau berkumpul depan GOR Pajajaran Bandung. Saat itu jalanan depan GOR masih dua arah. Sahut-sahut ribuan orang jelas terdengar. Mereka meneriakkan slogan pembaharuan. Sesekali nama Tuhan turut dikumandangkan.
Demikian suasana Bandung jelang pemilu 1999. Setidaknya, itu kesan yang ditangkap bocah ingusan yang baru menginjak usia 7 tahun. Sekadar mengikuti arahan apa yang ditunjukkan orang-orang tua: ikut kampanye.
Bahwa bocah ingusan itu tiada lain adalah saya sendiri, yang saat itu mengikuti kegiatan kampanye salah satu partai berasas nasionalis-religius. Tentunya tanpa tendensi apa-apa. Sekadar mengerti saja, tidak. Maklum, bocah.
Seiring bertambahnya usia, dan rampung menyelesaikan berbagai macam soalan hidup, mengerti sudah ihwal apa yang melatarbelakangi peristiwa saat itu. Keran demokrasi baru saja terbuka lebar.
Jutaan rakyat Indonesia sedang larut dalam euforia setelah sebelumnya berhasil menggulingkan rezim yang bercokol kurang lebih tiga dekade di tampuk kekuasaan.
Barangkali inilah yang berupaya dijelaskan Zen RS, bahwa "ingatan bekerja saat kita minta". Ingatan yang bekerja usai membaca buku menyoal Pemilu 1999 di Bandung.
"Sementara kenangan," Zen RS menambahkan. "Ia bekerja kapan saja ia ingin dan mau. Ingatan itu prosais, kenangan itu puitis".
Tepat di situ memang. Semua bermula dari kenangan yang tiba-tiba datang di hari lebaran, lalu kemudian disambut dengan bahan-bahan yang tersedia untuk merajut ingatan, yakni buku dengan judul " Pemilu '99 Bandung : pesta rakyat atau pesta partai? : laporan telaah kritis".
Buku ini merupakan hasil pantauan Civic Forum Bandung mengenai proses dan pelaksanaan Pemilu 1999. Di dalamnya terdapat beberapa catatan penting mengenai dinamika yang terjadi di era itu.
Bab 1 buku ini mengulas dinamika politik lokal (Bandung, tepatnya). Bab 2 berisi berbagai pelanggaran yang terjadi selama Pemilu 1999 di Bandung. Bab 3 berisi Pemantauan dan Proses Pemilu yang Jurdil. Bab 4 berisi ulasan Pemilu dan Proses Demokratisasi.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #65: Mengumpulkan Kenangan Masa Kecil
BUKU BANDUNG #64: Cinta Anak Muda dalam Kehidupan Masyarakat Sunda melalui Cerita Detektif Ahmad Bakri
BUKU BANDUNG #63: Memahami Pendidikan Guru Hari Ini dari Catatan Masa Lalu
BUKU BANDUNG #62: Inggit Garnasih, Kisah yang Tak Lekang Digerus Zaman
Geliat Demokrasi di Bandung Raya
Kita mafhum, bahwa letak Kota Bandung amat dekat dengan pusat kekuasaan, Jakarta. Tentu menjadi hal wajar apabila pergolakan politik di Bandung bakal menyerupai dinamika politik di sana.
Sebab kedekatan itu dapat memicu kecepatan transfer informasi , sebagaimana yang terjadi di Bandung pada era itu. Era sebelum seperti sekarang yang serba gampang, atau yang dikenal dengan era digital.
Selain itu, masyarakat Bandung juga memiliki mobilitas tinggi. Seolah kian mengafirmasi bahwa idealnya, Bandung sensitif terhadap isu-isu nasional. Namun, toh, semua itu tidak terjadi. Paling tidak, temuan buku ini menyatakan demikian. Bahwa Bandung merupakan kota yang relatif tenang terhadap isu-isu nasional.
"Hingga saat ini, tidak pernah terjadi kerusuhan sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar lainnya, seperti Solo dan Jakarta," tulis laporan Civic Forum Bandung tersebut.
Menurut temuan buku ini, semua itu terjadi karena penduduk Bandung memiliki kehidupan yang relatif tenang dan tidak mudah terprovokasi berbagai pihak. Sensibilitas dan kepedulian warga Bandung terhadap isu politik lokal/nasional tidak cukup tinggi.
Hal tersebut kembali dibuktikan tatkala mencuatnya isu RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya) di berbagai daerah. Kota-kota seperti Semarang, Yogya, Lampung diwarnai gejolak amarah massa. Mereka menilai UU ini sangat militeristik dan melanggar HAM.
Bahkan di Medan dan Lampung gejolak yang terjadi menimbulkan banyak korban. Tapi hal ini tidak ditemui di Kota Bandung. Lagi-lagi, iklim kehidupan yang relatif tenang barangkali bisa dijadikan sandaran.
Yang menarik adalah temuan lain Civic Forum Bandung, terutama mengenai pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu 1999 di Bandung. Secara general, pemilu 1999 di Bandung berlangsung jurdil (jujur dan adil) dan memberikan ruang kebebasan serta kontrol yang cukup besar dari masyarakat.
Bentuk pelanggaran paling umum pada pra-pemilu 1999, seperti misalnya: a.) Pawai Massa/pelanggaran lalu lintas; b.) mencuri start kampanye; c.) pelanggaran administratif; d.) pelanggaran HAM; e.) money politics. Sedangkan pelanggaran yang berlangsung saat masa kampanye, di antaranya: a.) pelanggaran lalu lintas; b.) pelanggaran tindak pidana; c.) kekerasan; d.) isu SARA; e.) money politics.
Sebagai tambahan, Civic Forum Bandung mencatat bahwa pelanggaran yang dilakukan tidak sampai menimbulkan pengulangan atau menghentikan proses pelaksanaan Pemilu 1999. Meski begitu, kehidupan di Bandung tidak selamanya tenang.
Terbukti tiga tahun setelah buku ini disebarluaskan. Laporan Tempo pada Rabu (22/10/2003) mencatat, bentrokan pecah antara LMND Bandung dengan Satgas Golkar. Saat itu, ratusan massa LMND yang beraliansi dengan pemuda, pelajar, dan Partai Rakyat Demokratik melakukan aksi demonstrasi.
Mereka mengecam Golkar sebagai reformis gadungan, dan mengingatkan rakyat untuk mewaspadai kebangkitan orba. Mereka mengadakan longmarch dari DPD Golkar menuju Alun-Alun Bandung, Bandung Indah Plaza, dan berakhir di halaman Gedung DPRD Jawa Barat.
Orba dan Hal-hal yang Tak selesai
Alkisah setelah Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden pada 21 Mei 1998, posisinya kemudian digantikan B. J. Habibie, yang kita tahu merupakan Wakil Presiden sebelumnya. Dan ketika diberi amanah untuk menjadi Presiden, B. J. Habibie kemudian merancang reformasi di bidang politik.
Salah satu upayanya ialah merumuskan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, dan UU Nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Sejumlah UU ini dinilai para ilmuwan (liberal) sebagai pencapaian gemilang: babak baru demokrasi di Indonesia. Lahirnya UU itu pula yang memicu situasi dan kondisi politik Indonesia bergerak ke arah perubahan yang cukup signifikan: ABRI kembali ke barak, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus kembali netral dalam berpolitik.
Sebetulnya, tersiar kabar bahwa pemilu direncanakan bakal digelar pada 2002. Namun, karena hasil Pemilu 1997 dianggap kurang memuaskan, maka pemerintah mempercepat penyelenggaraan pemilu. Terutama usai Habibie menetapkan UU Pemilu untuk menjamin terwujudnya pemilihan umum yang jujur, bersih, dan demokratis.
Tepat pada 7 Juni 1999, pemilihan umum (pemilu) pertama setelah reformasi dihelat. Pemilu ini dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II, kecuali bagi daerah-daerah tertentu yang tanpa harus memilih anggota DPRD II.
Tercatat 114.700.785 pemilih terdaftar untuk menggunakan hak suaranya. Saat itu, pemilih diberikan tiga surat suara berbeda, masing-masing untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II. Tiga surat suara itu berbeda warna. Putih untuk DPR, merah jambu untuk DPRD I, dan abu-abu tua untuk DPRD II.
Dalam kondisi sosial-politik seperti itulah buku ini disebarluaskan. Suatu hal yang kini berguna bagi publik, terutama Bandung dan sekitarnya. Kita tahu bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi akan kembali melakukan pemilihan umum (pemilu) eksekutif serta legislatif pada tahun 2024.
Menurut perkiraan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), bahwa dalam pemilu 2024 pemilih muda diprediksi bisa menembus 60 persen. Artinya, Pemilu 2024 akan menjadi tonggak pemilih muda untuk memberikan suara mereka.
Dengan demikian buku “Pemilu '99 Bandung : pesta rakyat atau pesta partai? : laporan telaah kritis” kian menjadi relevan. Buku ini kiranya pas dibaca untuk sekadar memperoleh gambaran sebelum menghadapi pemilu 2024.
Tentu disadari pula bahwa itu saja tidak cukup. Perlu upaya lebih untuk menghadapi keriuhan tahun politik. Pasalnya, watak rezim orba yang dahulu dihantam gelombang rakyat, kini kembali mengemuka dalam berbagai aspeknya.
Seperti yang termaktub dalam rumusan UU Cipta Kerja. Belum lagi pelemahan KPK dan penyalahgunaan UU ITE yang kerap dijadikan instrumen pembungkaman suara kritis. Soal-soal penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu pun masih diabaikan.
Sebetulnya belakangan pemerintah mengakui hal itu. Ironisnya, mereka belum berani berbicara lewat hukum. Seolah menegaskan yang pernah diungkap PAT dalam balasan surat terbuka Goenawan Moehamad: Basa-basi. Hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa?
Informasi Buku
Judul: Pemilu '99 Bandung: pesta rakyat atau pesta partai? : laporan telaah kritis
Penerbit: Jakarta : Solidarity Center, 2000
Deskripsi fisik: xxi, 98 hlm. : 20 cm.
ISBN: 9799622859
Kerja sama PUSKOM CIVIC FORUM dan YIPIKA