• Buku
  • BUKU BANDUNG #65: Mengumpulkan Kenangan Masa Kecil

BUKU BANDUNG #65: Mengumpulkan Kenangan Masa Kecil

Buku Memento mengajak pembaca untuk menziarahi pengalaman masa kecil. Ada tempat atau peristiwa yang mungkin akan dialami pula oleh pembaca.

Buku Memento: Sekumpulan Cerita Masa Kecil ditulis Komunitas Aleut! dan diterbitkan Ultimus (Cetakan kedua Oktober 2017). (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana23 April 2023


BandungBergerak.idBuku berjudul “Memento: Sekumpulan Cerita Masa Kecil” yang ditulis Komunitas Aleut! (jangan lupa ditulis memakai tanda seru), adalah sekumpulan kenangan di masa kecil para penulisnya. Buku ini diharapkan menjadi pengingat pada seseorang, benda, tempat, atau hal lainnya yang kini telah berubah atau bahkan hilang.

Ada 56 esai yang terangkum dalam buku setebal 236 halaman ini. Artinya, ada 56 penulis yang pernah dan masih aktif di komunitas Aleut! yang berbagi cerita masa kecil mereka. Mereka tentu tidak menuliskan semua kenangan masa kecilnya, tidak mungkin menghimpun semua kenangan seseorang hanya dalam satu esai saja.

Penyunting buku Memento Ridwan Hutagalung menjelaskan, para penulis harus “memilah cepat bagian-bagian masa lalu yang paling mengesankan”. Hasilnya, kita akan menemukan penggalan-penggalan hidup para penulis. Mereka bercerita soal tempat tinggal, teman-teman masa kecil, permainan, tradisi, keluarga.

Umumnya kenangan ini ditulis ketika penulisnya masih duduk di bangku taman kanak-kanak atau SD. Ada jarak yang cukup jauh antara peristiwa masa lalu yang mereka tulis dan waktu ketika penulisan.

Para penulis memiliki latar belakang beragam, jadi tidak hanya warga Bandung saja, meski kebanyakan memiliki ikatan masa lalu dengan Kota Bandung dan Jawa Barat pada umumnya. Ridwan Hutagalung sebagai pengasuh komunitas Aleut!, misalnya, menceritakan masa kecilnya di Sumatera. Ada pula Atria Dewi Sartika, orang Mandar yang masa kecilnya banyak dihabiskan di Makassar dan beberapa daerah lain.

Latar belakang tersebut jelas berpengaruh pada masing-masing esai di buku Memento. Di antara beragam latar belakang dan pengalaman itu, ada benang merah yang saling menghubungkan, yaitu masa lalu yang kini sudah banyak berubah atau hilang sama sekali. Ada kerinduan dari para penulis Aleut! terhadap masa-masa kecil yang mereka alami. Sayangnya kenangan-kenangan tersebut mustahil kembali.

Benang merah lain yang terjalin di antara pengalaman para penulis Aleut! umumnya berupa permainan tradisional, seperti ucing sumput (petak umpet), ucing-ucingan, sapintrong (permainan tali karet gelang. Karet-karet ini biasanya didapat dari memungut di jalan dan di rumah masing-masing), engklek, congkak, boyboyan, sepak bola, main lumpur, hujan-hujanan, sepedahan, main di pematang sawah dengan jerami kering, mandi di kali, benteng-bentengan menggunakan pecahan keramik atau genting, boneka kertas, monopoli, dan lain-lain.

Sebagian dari permainan-permainan itu kini jarang dimainkan generasi sekarang yang serba digital. Bisa jadi sebagian permainan-permainan tersebut sudah punah atau tinggal kenangan, tersimpan pada benak-benak generasi terdahulu yang merindukan masa-masa kecil mereka.

Chairil Anwar dalam puisi Kenangan menunjukkan bahwa masa lalu lebih dari sekadar kerinduan. “Halus rapuh ini jalinan kenang,” demikian tulis Chairil Anwar. Ada perasaan getir, penyesalan, dan kehilangan dalam baris puisi ini. Sang penyair tak bisa memutar waktu ke belakang, tak bisa mengerjakan apa yang harus dikerjakan atau melakukan apa yang mestinya dulu dilakukan, seperti tercermin pada lanjutan sajaknya: “hancur hilang belum dipegang”.

Perasaan-perasaan pahit dan kehilangan itu terlintas pula pada beberapa esai yang dirangkum buku Memento, walaupun tak semengenaskan pada sajak Chairil Anwar. Misalnya pada esai “Kesenangan Masa Kecil di Surapati” yang ditulis Rizka Fadhilla yang melukiskan masa lalu di sekitar Jalan Surapati, Kota Bandung, tepatnya di kawasan Pusat Dawah Islam (Pusdai).

Sebelum Pusdai menjadi masjid seperti sekarang, tulis Rizki, di sana banyak berdiri rumah-rumah warga. Rizki kerap bermain dengan anak-anak yang tinggal di rumah-rumah tersebut. Mereka memainkan beragam permainan tradisional yang sudah dituliskan di muka. “Kami biasanya main dari siang hingga sore hari sampai terasa lelah,” kata Rizki.

Suatu waktu, setelah sekian lama Rizki tak main di kawasan tersebut, ia mampir untuk mengajak teman-temannya bermain. Namun ia tak menemukan teman-teman yang dicarinya. Ia justru melihat rumah-rumah di sana sudah rata dengan tanah. “Ternyata di sana dibagun Masjid Pusdai. Hmm lalu teman-temanku itu pindah ke mana?”

Kehilangan tak lepas dari perubahan zaman. Momen ini juga dirasakan dalam esai Dinni Kusciptasusanti. Dinni menghabiskan masa kecilnya di Sumur Bandung. Ia terlahir dengan nama Maradini. Nama ini diambil ibunya Dinni dari bintang sepak bola Maradona yang naik daun tahun 1980an.

“Nama saya terselamatkan oleh nenek yang menggantinya menjadi Dinni dengan harapan agar senang menulis seperti N.H. Dini,” cerita Dinni. Tanpa peran neneknya, mungkin Dinni lebih akrab dipanggil Mara daripada Dinni.

Dinni dan keluarganya tinggal di rumah yang cukup besar dan memiliki sumur sebagai sumber mata air keluarga. Suatu hari, air di sumurnya kering. Ia dan keluarga kemudian berbondong-bondong turun ke Sungai Cikapundung di dekat Jalan Siliwangi.

Dahulu di masa Dinni kecil, Sungai Cikapundung masih biasa dipakai warga untuk kepentingan sanitasi. Peristiwa ini sulit dibayangkan pada hari ini ketika kualitas air Sungai Cikapundung tidak mungkin dipakai memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Sayang, sekarang sungainya selain sudah kotor, bagian atasnya sudah tertutup beton,” tulis Dinni (halaman 77).

Baca Juga: BUKU BANDUNG #62: Inggit Garnasih, Kisah yang Tak Lekang Digerus Zaman
BUKU BANDUNG #63: Memahami Pendidikan Guru Hari Ini dari Catatan Masa Lalu
BUKU BANDUNG #64: Cinta Anak Muda dalam Kehidupan Masyarakat Sunda melalui Cerita Detektif Ahmad Bakri

Sawah dan Lapangan

Perubahan yang terjadi di Kota Bandung melanda ke daerah di sekitarnya, seperti di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Dahulu Rancaekek adalah kawasan agraris yang penuh dengan persawahan, seperti diceritakan Fitria Qodriani, penulis esai berikutnya dalam Memento.

Fitria masih mengalami sawah Rancaekek yang berkabut. Kini persawahan di Rancaekek masih ada, tetapi sesemerbak agrarisnya sudah lama hilang. Yang tertinggal hanya sawah-sawah yang dikepung pabrik-pabrik atau industri.

Fitria sekolah di taman kanak-kanak yang beralamat di Jalan Radio. Ia biasa diantar jemput oleh becak langganan. Sekolahnya tidak jauh dengan bangunan Belanda yang disebut warga sekitar sebagai rumah hantu. Dari tukang becak Fitria mengetahui bahwa bangunan tersebut dulunya adalah Stasiun Pemancar Radio Malabar yang dibangun pada masa Belanda.

“Bangunannya unik dan besar dengan keramik-keramik warna kuning. Namun sekarang bangunan ini telah tiada karena lapuk dan dihancurkan,” tutur Fitria.

Bukan hanya Rancaekek yang memiliki sawah. Bagi anak-anak yang lahir ketika Bandung sudah heurin ku tangtung (padat) mungkin tak mengira bahwa kota ini pernah memiliki banyak sawah, seperti diceritakan Anggi Aldila. Anggi tumbuh di Kampung Cikapayang, Jalan Gagak. Kawasan yang kini rapat dengan permukiman penduduk itu dahulu masih memiliki lapangan sepak bola gawang kecil di tengah jalan RW. Di lapangan inilah Anggi biasa bermain sepuas-puasnya setiap harinya sampai azan magrib menjadi tanda permainan harus berakhir.

Tempat bermain lainnya yang kerap disambangi Anggi adalah kawasan Cikapayang. Menurut neneknya Anggi, Cikapayang dahulu dikelilingi oleh sawah yang sewaktu-waktu berubah menjadi lapangan. Setiap musim penghujan, lapangan itu menjadi kubangan tempat anak-anak bermain cileuncang sambil membuat jebakan-jebakan dari rumput-rumput yang ditalikan (halaman 26).

Pada masa Anggi kecil, kompleks Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat belum dibangun. Monumen yang searah dengan Gunung Tangkuban Parahu di utara dan Gedung Sate di selatan ini waktu itu masih dalam proses pembebasan lahan. Anggi pernah tersesat di kawasan tersebut. Sehabis main ke rumah teman setelah pulang sekolah, ia kehilangan arah. Ia nyasar ke daerah Haurpancuh. “Saat tersesat itu saya terus berjalan kaki sambil menangis,” katanya.

Kenangan-kenangan masa lalu yang diungkapkan para penulis Aleut! tentu tak segetir puisi Kenangan Chairil Anwar. Mereka menceritakannya dalam beragam nuansa yang tidak murung. Ada yang tetap ceria, tak jarang mereka membumbuinya dengan pengalaman-pengalaman kekanak-kanakan yang menggelikan, konyol, dan lugu.

Arniz Yulia Imansari, misalnya, dalam esai “Neng Lanlan, Pecinta Tari dari Lodaya” mengenang masa-masa suka mengompol di celana. Kebiasaan ini diperparah karena ia tidak berani bilang atau izin ke kamar kecil. Ia pernah mengompol saat main ke rumah teman atau pergi mengaji (halaman 52).

Ada pula Dewi Nuriani melalui esai “Masa Kecil di Benteng, Sukabumi” yang bercerita tentang ketakutannya pada anjing tetangga. Setiap kali lewat ke halaman rumah si tetangga, anjing itu selalu menyalak gaduh. Suatu waktu ia terpaksa harus lewat rumah itu seorang diri. Ia sudah berusaha berjalan pelan untuk tidak memancing keributan dengan sang anjing. Namun toh anjing itu tetap menyalak.

Dewi pun lari diiringi gonggongan anjing. Ia berhasil bersembunyi ke dalam beduk masjid sampai orang-orang menemukannya. Dari orang-orang itu ia sadar bahwa sebenarnya si anjing tak mengejarnya (halaman 75). Dewi lari hanya karena ketakutannya sendiri.

Kenangan-kenangan yang tadinya sangat individual karena hanya hidup di benak masing-masing pelaku, melalui buku Memento dikolektifkan dan bisa dibaca siapa pun. Harapannya, seperti judul bukunya, buku ini menjadi semacam pengingat alias memento. Menurut Ridwan Hutagalung, kata memento berasal dari bahasa Latin, meminisse, mengingat, yang merupakan turunan dari kata ment atau mens, yang bermakna pikiran. Kata memento digunakan untuk menyebut benda atau sesuatu yang mengingatkan (pada seseorang, suatu tempat, atau sesuatu lainnya).

Dengan begitu, kami berharap agar buku ini juga dapat menjadi sebuah memento bagi proses-proses berkegiatan bersama, belajar bersama, bercita-cita dan bekerja bersama, yang selama ini sudah berjalan di komunitas Aleut!,” tulis Ridwan Hutagalung, dinukil dari kata pengantar.

Komunitas Aleut! resmi hadir pada tahun 2006. Buku ini pertama kali terbit bertepatan dengan sewindu komunitas dan diterbitkan ulang pada saat Aleut genap berusia satu dasawarsa.

Informasi Buku

Judul Buku: Memento: Sekumpulan Cerita Masa Kecil

Penulis: Komunitas Aleut!

Penyunting: Ridwan Hutagalung

Penerbit: Ultimus, cetakan kedua Oktober 2017

Halaman: 236 halaman.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//