SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #11: Khatimah
Instruksi pelarangan seluruh surat kabar yang dianggap kiri mengaramkan Warta Bandung. Pemimpin redaksi koran ini dipenjara tanpa proses pengadilan.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
14 April 2023
BandungBergerak.id - Sejak 6 Oktober 1965, terdapat instruksi pelarangan seluruh surat kabar yang dianggap kiri. Harian Rakjat, Suluh Indonesia, Bintang Timur, dan Warta Bhakti, termasuk dalam kategori surat kabar yang dilarang itu. Lalu, bagaimana dengan Surat Kabar Warta Bandung?
Bersamaan dengan pelarangan itu, surat kabar Warta Bandung turut karam. Suatu hal yang diafirmasi secara lisan oleh Rusman Saleh, salah satu punggawa Warta Bandung. Syarif Sulaeman dan Suparman Amirsyah (keduanya pimpinan redaksi) ditangkap sejak pertengahan Oktober 1965. Mereka ditahan tanpa pengadilan.
Selama 12 tahun, Syarif Sulaeman harus mendekam di Lembaga Permasyarakatan Kebon Waru. Sementara Suparman, diasingkan ke belantara Pulau Buru. Dengan demikian tepat di dalam kurun waktu tersebut, perjalanan Warta Bandung sebagai surat kabar yang eksis di Jawa barat, harus tamat. Mahkamah sejarah seolah memberi keputusan mutlak: vonis mati bagi surat kabar Warta Bandung.
“Sebab manusia hidup sama dengan ini nyanyian: siapa punya permulaan, punya penghabisan” (S. Rukiah, 2017: 40). Kira-kira larik puisi ini cukup untuk menggambarkan karier Syarif Sulaeman dan Suparman Amirsyah sebagai juru warta. Jalan yang ditempuh untuk berpihak kepada organisasi-organisasi yang memiliki komitmen sosial tinggi, membuatnya turut diberangus.
Upaya memantik kesadaran publik ihwal dampak nekolim yang tidak demokratis dan eksploitatif, harus terhenti. Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam “Seabad Pers Kebangsaan” (hlm. 745) turut mengafirmasi hal ini: “kedekatannya dengan Bintang Timur dan Harian Rakjat, akhirnya menahbiskan Koran ini sebagai pengikut barisan kiri”.
Memang ulasannya mengenai aktivitas SOBSI, BTI, Lekra, dan sejumlah organisasi kiri lainnya di sekitaran Jawa Barat, dapat pula menjadikan bukti kedekatan para punggawa Warta Bandung dengan isu-isu kerakyatan. Bahkan bukan hanya dekat, Warta Bandung juga tercatat menjalin relasi bisnis dengan koran Bintang Minggu –uplemen Bintang Timur, cikal bakal ‘Lentera’– yang nantinya menyulut ‘kobaran api’ saat dipimpin Pramoedya Ananta Toer yang baru keluar dari Penjara Cipinang.
Bagi yang hendak berlangganan Warta Bandung saat itu, bisa satu paket dengan Koran Bintang Minggu. Hal ini sebagaimana diungkap bagian tata usaha: “Kini dapat berlangganan Mingguan Bintang Minggu terbitan Djakarta, harga langganan Rp. 6,- sebulan. Disatukan dengan Warta Bandung Rp. 25,- sebulan tambah materai Rp. 0,50,-. Permintaan mendjadi langganan dapat dilakukan melalui agen Warta Bandung setempat” (Warta Bandung, 24 Januari 1958).
Begitulah secuplik informasi mengenai surat kabar Warta Bandung. Tentu masih banyak yang belum tercatat, atau barangkali luput dikisahkan. Yang pasti, Warta Bandung lahir di tengah gejolak perubahan sedang pasang. Sebagaimana yang telah diulas, bahwa geliat perlawanan buruh tani, wabah influenza, dan polemik kebudayaan, cukup mewarnai perjalanan mereka. Sebelum pada akhirnya badai kontrarevolusi menerjang seluruh tiang pancang yang dibangun sejak 1955.
Nasional Demokratis
“NASIONAL-DEMOKRATIS ! Dibawah sembojan itu kami bernafas, kami hidup, bekerdja, berusaha, bergiat, dan berdjuang. Kami adjak pembatja2 supaya bersama dengan kami bernafas, hidup, bekerdja, berusaha, bergiat, dan berdjuang dibawah sembojan itu. Dan dengan melalui pembatja2 adjakan ini kami sampaikan kepada seluruh bangsa!”
Dalam tulisan pertama mengenai Surat Kabar Warta Bandung, sekilas telah disinggung mengenai perbedaan terbitan edisi 1956 dan setelahnya. Perbedaan yang ada terdapat di dalam slogan yang diusung mereka. Jika di tahun 1956 Warta Bandung mengusung slogan Nasional Demokratis, maka di tahun-tahun setelahnya, mereka menambahkan kata persatuan di depan. Singkatnya, menjadi: Persatuan Nasional Demokratis.
Mengenai hal ini kiranya iklim politik saat itu cukup determinan dalam perubahan slogan yang dikehendaki redaksi. Kita tahu, bahwa di tahun-tahun itu, gagasan Front Nasional mengemuka. Dan Warta Bandung terlihat memberi dukungan sepenuhnya. Bahkan mereka memberi akronim khusus bagi sejumlah pemimpin partai yang tergabung dalam Front Nasional: 3A (Ali, Aidit, Arudji).
Dan hal tersebut juga turut berpengaruh pada perjalanan yang mereka tempuh. Terdapat perbedaan signifikan yang bisa dilihat dari konten mereka yang semula kalem-kalem saja, lalu setelah tahun 1956, tampak tiba-tiba menginjak gas sekencang-kencangnya. Sebagaimana disebut di muka bahwa mereka turut menjalin ikatan bisnis dengan Bintang Minggu.
Bukan suatu kemustahilan jika hal itu kemudian mempengaruhi corak pemberitaan Warta Bandung. Suatu hal yang juga diafirmasi secara lisan oleh Untung Maulana. “Yang saya ingat dalam perbincangan santai dengan bapak, memang sesudah 1957 itu mulai masuk ‘orang-orang kiri’ di jajaran redaksi,” katanya.
Sementara mengenai slogan Nasional Demokratis yang mereka gaungkan, penjelasan lengkapnya bisa dilihat di tajuk rencana Warta Bandung edisi 31 Januari 1956. Bukan kebetulan jika banyak pula pertanyaan yang keluar dari publik untuk kemudian dijawab redaksi mengenai slogan yang dipilihnya.
“Tanja harus berdjawab, itulah pendapat kami, itulah sembojan jang paling baik. Padat berisi ! Jiwa semua sembojan lain jang ada terpantjang pada harian2 lain, ada pun dalam sembojan Nasional-Demokratis itu,” demikian kalimat pertama di tajuk rencana yang dibuat.
Dalam tajuk rencana itu, kemudian diuraikan soal istilah-istilah yang memuat harapan dan nilai yang diyakini mereka: Progresif, Untuk Rakyat, Mengajak Berfikir Kritis. Ketiga visi ini kemudian diperas kembali, dan dirumuskan dalam dua kata yang, menurut redaksi Warta Bandung, cukup padat dan berisi: Nasional Demokratis.
“Ambillah misalnya semboyan “progresif”, yang berarti maju. Bisakah orang dalam zaman perjuangan melawan imperialism dan peruntuhan fasisme ini berpikir dan bertindak progresif, zonder berwatak nasional-demokratis?”
Penjelasan selanjutnya, adalah ihwal penekanan “nasional-demokratis” yang digaungkan. Nasional, dalam pengertian mereka, kurang lebihnya senapas dengan apa yang digaungkan Bung Karno: seluruh tanah air dan seluruh bangsa. Mereka memberi penekanan: S E L U R U H bangsa.
Seluruh bangsa dalam pengertiannya, bukan hanya sebagian kecil yang dapat menikmati kemerdekaan, seperti kelas dominan, misal. Tapi juga rakyat pekerja yang merupakan penghuni mayoritas, yang –bahkan hingga sekarang – masih berada dalam rantai belenggu kemiskinan dan kemelaratan.
“Jadi dasar nasionalisme kami bukanlah nasionalisme burdjuis atau kapitalis, tapi adalah nasionalisme jang bermaksud mengangkat massa, mengangkat bagian terbesar dari pada bangsa kita, bagian terbesar tapi djuga adalah bagian jang miskin dan melarat, tapi djustru adalah itu bagian jang menghasilkan jang produktif, jang dengan tangannja jang kasar belulangan melahirkan kekajaan buat orang lain.”
Begitu pula dengan konsep demokrasi yang diusung. Mereka menyebutnya “demokrasi marhaen, demokrasi proletar, demokrasi murba”. Demokrasi untuk mengangkat massa miskin-melarat yang produktif. “Demokrasi sejadti memang tidak bisa lain dari itu ! Sebab bukankah demokrasi berasal dari kata ‘demos’? Dan bukankah demos itu berarti massa rakyat jang sengsara?”
Menurut mereka pula bahwa demokrasi merupakan kesepakatan untuk kemaslahatan rakyat pekerja, yang kerapkali diperas nilai-kerjanya. “Dan bukankah jang tertindas dalam waktu ini adalah bagian dari terbesar daripada bangsa kita itu massa terbesar jang miskin-melarat, tapi produktif dan melahirkan kekajaan buat orang lain?!”
Demikianlah penjelasan mengenai slogan Warta Bandung menurut pengakuan redaksi. Jika ada pendapat yang kurang-lebihnya turut mempengaruhi redaksi Warta Bandung, saya menduga bahwa analisa yang menguraikan ihwal kontradiksi yang mengemuka antara imperialisme dan nasion Indonesia juga berpengaruh di sini. Atau yang dalam istilah penuturnya –yakni, Aidit – disebut sebagai “kontradiksi pokok”.
Dengan itu kemudian mereka (dan kelompok kiri umumnya) meletakkan kepentingan kelas di bawah kepentingan nasion, dan mengusung tripanji; demokrasi, persatuan, mobilisasi, yang dipelopori kelas buruh dan tani. Dapat pula dipahami bahwa dari sana kemudian lahir keputusan untuk menggaungkan nasional demokratis vis a vis sisa-sisa feodalisme dan imperialisme. Atau yang dalam terminologi Bung Karno disebut The New emerging Forces melawan The Old Established Forces.
Namun ada satu hal lainnya yang masih mengganggu isi kepala, terutama oleh karena edisi 60an –hingga artikel ini dipublikasikan– belum juga diketemukan. Adalah soal bagaimana sikap redaksi (atau dimana posisi) Warta Bandung saat terjadi “perang pena” antara Njoto (HR) dan Sayuti Melik (BPS)?
Seperti kita tahu bahwa keduanya terlibat polemik panjang dalam esai bersambung “Beladjar Memahami Sukarnoisme” di tahun 1964. Jika ke depannya soal ini berhasil dijawab, maka akan berimplikasi pada sejumlah hal yang terkait dengannya. Dan yang jelas, juga dapat mengetahui strategi-taktik macam apa yang kemudian diambil redaksi Warta Bandung.
Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #8: Selayang Pandang
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #9: Mereka yang Pernah Ada (2)
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #10: Menyambut Pembukaan Unpad
Khatimah
Kita tentu saja tidak bisa menjiplak segala rencana dan tindakan hari ini pada kisah sejarah. Ia terikat pada ruang-waktu yang sulit kiranya untuk diduplikasi sepenuhnya. Sekurang-kurangnya, kisah sejarah hanya dapat dijadikan sumber inspirasi mengambil pelajaran, tapi tidak untuk resep siap pakai.
Begitu pula dari surat kabar Warta Bandung. Paling tidak terdapat beberapa hal yang dapat diambil hikmahnya. Seperti misal, apa saja informasi yang disiarkan mengenai fenomena yang terjadi di Indonesia, Bandung khususnya, dari sudut pandang mereka yang hadir di tahun 50an.
Bagi sejarawan, Warta Bandung juga dapat menjadi sumber utama, khususnya yang hendak melakukan penelitian lebih mendalam tentang gerakan kiri di Jawa Barat era 50an. Atau menyoal kebudayaan yang diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum tertindas.
Selain itu, dari sana dapat diambil hikmah ihwal bagaimana jurnalisme yang terang benderang menggaungkan pemihakan pada kaum papa, dan mempreteli secara terbuka pandangan yang meracuni kebudayaan masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa konten di rubrik kebudayaan Warta Bandung:
Ihwal bagaimana pengembangan dari apa yang Lekra sebut "tiga baik" dalam proses mencipta: 1). bekerja baik; 2) belajar baik; 3) bermoral baik. Atau juga terkait rumusan yang disebut "tiga sama": bekerja bersama, makan sama, dan tidur sama.
Dan tampaknya mereka juga cukup sadar dalam memberikan panggung seluas-luasnya bagi segala macam wujud kesenian seperti Wayang Bandung, Tari, Reog, Genjring Sulap Rakyat, pentas Wiralodra -pahlawan tani yang melawan fasis Jepang di Indramayu, atau drama Lutung Kasarung.
Terlepas dari soal bahwa kemudian pandangan yang diyakini mereka dihinakan penguasa selanjutnya –bahkan hingga sekarang, dari Warta Bandung kita bisa melihat bagaimana upaya rakyat Indonesia menggali potensi luar biasa dalam praktik berdikari. Untuk kemudian dapatlah dimengerti bahwa “kekayaan masyarakat di mana moda produksi kapitalis tegak berdiri, nampak sebagai suatu unggun-timbun komoditi”.